Kamis, 21 Mei 2015

NASIHRUDDIN ATH THUSI



Pemikiran Filsafat Nasihruddin Ath Thusi


Jika Aristoteles membagi filsafat menjadi tiga bagian; filsafat spekulatif atau teoritis, praktis, dan produktif. Maka Thusi membagi filsafat menjadi dua bagian; teoritis dan praktis. Menurut Thusi filsafat adalah mengetahui sesuatu sebagaimana adanya dan bertindak sebagaimana mestinya[1]. Menggambarkan sesuatu sebagaimana adanya merupakan filsafat teoritis, sedangkan menggambarkan perilaku manusia sebagaimana mestinya adalah filsafat praktis[2]. Filsafat teoritis dan praktis pada endingnya terbagi menjadi pengetahuan dan tindakan. Pengetahuan yang berarti kemampuan untuk memahami (tashawwur) sesuatu sebagamana adanya dan kemudian membenarkan (tasdhiq) sesuai dengan prnsip-prinsip keberadaannya. Sedangkan tindakan adalah perwujudan gerak dan penguasaan ilmu sehingga yang potensial menjadi aktual[3].
Penguasaan pengetahuan teoritis (ilmi) dan praktis (amali) ditempatkan pada kemampuan fisik manusia. Manusia yang mencapai kesempurnaan dalam pengetahuan dan perbuatan, maka akan mencapai karakter yang mulia. Ini mengindikasikan filsafat bukanlah ansich pergulatan dalam dunia pemikiran, melainkan juga bergelut pada tataran praktis. Kombinasi antara pengetahuan dan praktek adalah manusia yang sempurna dalam berfilsafat. Ia tidak hanya mengisi pikiran, tidak hanya tercaplok diangan-angan dengan segala pengetahuannya, tapi juga melakukan terobosan-terobosan gerakan dengan berbekal pengetahuan, memungkinkan temanifestasinya pengetahuan (konsep) dalam kehidupan sehari-hari.
Segala persoalan hidup sehari-hari yang menyangkut tentang ada dan mungkin akan ada bagian dari telaah filsafat. Begitu juga dalam pandangan filsafat Thusi. Baginya objek filsafat terdiri dari pengetahuan mengenai segala sesuatu yang ada. Ia dibagi menjadi dua kategori yang didasarlkan pada sifat dasar sesuatu sebagaimana adanya. Hal-hal yang maujud (eksisten) terdiri dari dua jenis: pertama hal-hal yang eksistensinya tidak bergantung pada tindakan kita, dan kedua hal-hal yang eksistensinya bergantung pada tindakan kita. Filsafat teoritis (hikmah i nazhari) menjadikan kategori maujud yang pertama sebagai objeknya, dan filsafat praktis (Hikmah i ‘amali) menjadkan kategori maujud yang kedua sebagai objeknya[4].
Selanjutnya filsafat teoritis dibagi menjadi dua kategori; pertama pengetahuan tentang sesuatu yang eksistensinya - dan konsepsi tentangnya - tak terkait dengan dan tak bergantung pada materi, dan kedua, pengetahuan tentang sesuatu yang eksistensinya bergantung pada materi. Kategori yang terakhir ini dibagi lagi menjadi dua bagian; pertama pengetahuan tentag sesuatu yang kebergantungannya pada materi tidak bersifat esensial bagi konsepsinya, dan kedua, pengetahuan tentang sesuatu yang kebergantungannya pada materi bersifat esensial. Akibatnya filsafat teoritis dibagi menjadi tiga kategori: metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu alam[5].
Metafisika terdiri dari; pertama pengetahuan tentang Tuhan, wujud yang karena kedekatannya dengan hadiratnya menyebabjkan wujud lain ada, seperti intelek-intelek/akal-akal, jiwa-jiwa, dan perinsip yang mengatur perbuatan-perbuatan mereka, pengetahuan ini disebut teologi. Kedua pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum yang mengatur wujud-wujud yang ada sebagaimana adanya seperti ke esa-an (wahdah), kemajmukan, keniscayaan, kemungkinan, keterciptaan, keazalian dan sebagainya. Metafisika selanjutnya dibagi dalam beberapa sub bagian terkecil seperti kenabian, hukum ilahi, hari kahir dan masalah terkait lainnya. Matematika dibagi menjadi empa bagian; geometri, aritmatika, astronomi, dan musik. Ilmu-ilmu alam dibagi menjadi delapan, pengetahuan tentang waktu, ruang, gerak, ketakberhinggaan dan keberhinggaan; pengetahuan tentang objek-objek sedarhana/tunggal dan majmuk, pengetahuan tentang bumi dan iklimnya seperti kilat, hujan, salju gempa bumi dan sebagainya, diantar sub-sub bagian ilmi alam ini terdapat kedokteran, dan astronomi[6].
Sementara itu Thusi mendefinisikan filsafat praktis sebagai pengetahuan tentang sarana-sarana bagi tindakan-tindakan suka rela dan bagi amalan-amalan kreatif manusia, karena tndakan itu berhubungan dengan urusan-urusan dunia dan akhirat[7]. Dalam filsafat praktis seseorang harus meletakkan bangunan pengetahuan dalam rangka bekal dalam bertindak. Filsafat praktis terdiri dari dua subjek; pertama, sesuatu yang berhubungan dengan manusia sebagai individu. Kedua, sesuatu yang berhubungan dengan manusia sebagai anggota masyarakat. Tentang sosiologinya menjadi dua cabang; pertama pengetahuan tentang masala-masalah umum masyarakat yang ada dalam kehidupan rumah tangga rakyat biasa, dan kedua, pengetahuan tentang masalah-masalah yang biasa terjadi dalam kehidupan kota, provinsi, negri, bahkan kerajaan. Jadi Thusi mebagi filsafat praktis menjadi tiga; etika, politik domestik dan poitik nasional.
Seperti aristoteles, Thusi meletakkan logika menjadi kategori yang terpisah dan independen dibawah rubrik filsafat teoritis. Bagi Aristoteles logika[8] adalah metode dasar bagi pengembangan bidang filsafat[9]. Sementara menurut Thusi logika berguna untuk mengetahi bagaimana mengetahui sesuatu, cara atau jalan untuk mengatasi yang tidak diketahui[10]. Dengan demikian logika bagi Thusi hanyalah alat, piranti atau pisau analisa untuk mencari dan mendapatkan bentuk-bentuk lain pengetahuan, dan cara berpikir lurus, sistematis, logis dan analitis.

Ontologi
Pada tataran metafisika Thusi meletakkan pondasi filsafatnya secara terpisah antara metafisika umum dan khusus. Metafisika umum yang didalamnya ada ontologi berperan penting dalam pemikirannya, karena ada saling keterkaitan dengan metafisika khususnya masalah teologi. Ontologi (ada) Atthusi termasuk dalam tradisi klasik Ibnu Sina. Filsuf islam selain Al-Kindi dan Al-Farabi, Thusi dan Ibnu Sina adalah dua tokoh peripatetik[11] yang dalam madzabnya bertalian nyambung pada Aristoteles. Ia adalah salah satu tokoh wakil filsafat parepatetik paling terkemuka setelah serbuan Mongol dan pada saat yang bersamaan terkenal karena doktrin-doktrin isyraqinya[12]. Dari sini dapat dilihat bahwa Thusi dalam filsafatnya banyak dipengaruhi Aristoteles dan Ibnu Sina, baik ontologi maupun teologinya[13] yang bertumpu pada silogisme, argumentasi rasional, dan demonntrasi rasional.
Ditinjau dari segi ontologis, seluruh eksisten (maujud) terbagi kedalam dua klasifikasi: maujud wajib dan maujud mumkin (contingen). Maujud wajib adalah sebuah maujud yang wujud/segala keberadaannya tegak berdiri dengan sendirinya (tanpa memerlukan orang lain). Sedangkan maujud mumkin adalah maujud yang wujudnya tidak dengan sendirinya, tetapi karena wujud zat yang lain[14]. Maujud mumkin dibagi dalam dua klasifikasi; substansi dan aksiden. Selnjutnya substansi dibagi menjadi empat klasifikasi; forma, materi, benda, dan immaterial[15].
Masalah eksistensi atau wujud, jika Aristoteles mengatakan eksistensi adalah balok tanpa celah yang kemudian dikenal dengan teori materi rapat. Ibnu Sina tak mau kalah dengan memperkaya konsepsi terkait eksistensi dengan membuat pembedaan fundamental antara wajib ada, mungkin ada, dan ketidak mungkinan atau mustahil ada[16]. Sampailah Thusi pada kesimpulan bahwa wujud sangat universal, sehingga tidak butuh pembuktian[17]. Wujud yang sangat universal adalah wujud yang didapat dari proses abstraksi[18].Tidak butuh pembuktian karena wujud eksternal maupun yang bersifat mental hakikatnya tak khan lepas dari universalitas itu sendiri. Sekalipun seseorang membayangkan sesuatu yang tidak ada wujudnya dalam reliata, dan menghukumi dengan beberapa hukum yang pasti, seperti mustahil dan tidak ada. Sesungguhnya apa yang dimengerti adalah universal, dan segala yang ada dialam luar adalah hal yang parsial, dengan demikian, maka segala sesuatau yang universal berkaitan dengan segala yang berwujud[19]. Akan tetapi dalam bidang teologi Thusi menyatakan mustahil bagi manusia yang terbatas, untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhannya[20]. Permasalahan Tuhan adalah sesuatu yang immaterial, mustahil manusia sebagai wujud material yang terbatas mengetahui Tuhan secara gamblang. Manusia hanya mampu sebatas memahami wujud Tuhan. Manusia hanya bisa merasakan dekat dengan Tuhan. Jadi mustahil membuktikan Tuhan secara keseluruhan. Walaupun manusia bisa mencapai hal yang metafisik melalui tindakan dan pemikiran. Bukan berarti manusia tahu secara pasti akan Tuhan. Kecuali Pemahaman wujud fisik yang dapat dicapai melalui persepsi-persepsi indra, mungkin manusia mampu mengetahui secara jelas. Sebagaimana pernyataannya yang hanya sebatas percaya adanya wujud niscaya dan tidak mengindikasikan mengetahui wujud niscaya secara keseluruhan “barang siapa yang percaya pada hal-hal yang non material, baik secara intelektual maupun spiritual. Maka tak sulit baginya percaya pada wujud-wujud non material seperti wujud Niscaya[21].  

Teologi
Seperti yang telah disinggung di atas, Ontologi Thusi sangat berkaitan erat dengan pemikiran teologinya. Dalam bidang teologi Thusi membuktikan asal muasal yang pertama, sesuatau yang tidak ada mendahuluinya dan tidak mempunyai asal. Asal muasal yang utama mustahil lebih dari satu karena segala yang lebih dari satu berarti banyak, dan segala yang banyak tentu terdiri dari unit-unit (satuan-satuan ) individual, dan tiap-tiap satu dari stuan-satuan itu tentu mendahului wujud yang tersusun itu. jadi asal muasal itu satu dan bukan banyak. Asal muasal pertama yang tanpa asal usul itu mustahil sebagai wujud yang mungkin, karena setiap wujud yang mungkin itu pasti mempunyai asal muasal[22]. Oleh karena itu Thusi menggunakan rasionalisasi yang tidak terjebak dalam lingkaran syetan dalam rentetan sebab akibat-yang menjadi sebab bagi semua akibat-yang ada sebelum semua akibat. segala kebergantungan pasti dari yang satu, jika tidak demikian mustahil terjadi wujud yang tanpa asal muasal yaitu wajib niscaya. Karena satuan-satuan adalah bergantung kepada yang satu wujud, maka wujud niscaya wajib adanya. Pada kenyataannya sesuatu kebergantungan berada, maka menandakan asal muasal wujud itu ada yaitu wujud Niscaya. Inilah yang dimaksudkan Thusi dengan upaya membutikkan Satu Yang Hakiki yang merupakan asal-muasal pertama dari semua yang ada, Maha Agung Wujudnya dan Maha Suci Zat dan Sifatnya.
Thusi sebagaimana lazimnya filsuf Islam lainnya yang mengatakan Tuhan adalah Wujud Murni, sedangkan transendensi rantai wujud dan tatanan eksistensi kosmik dan dunia adalah kontingen (tergantung). Semua itu hanyalah untuk membedakan antara wujud murni dan eksistensi dunia. Dengan demikian wujud itu bisa berupa niscaya dan mungkin. Jika suatu wajud itu niscaya, ia tak mungkin (mustahil tidak ada). Keberadaannya tidak ditentukan oleh sesuatu hal apapun, Wujud yang keberadaannya niscaya disebut wujud niscaya. Apabila suatu wujud itu mungkin atau bergantung agar menjadi ada atau mengada, maka ia harus didasarkan atas atau bergantungan pada sesutau yang lain, dan sesutau yang lain itu pada gilirannya bisa jadi wujud niscaya, atau wujud mungkin lainnya.
Wujud-wujud duniawi mustahil menjadi wujud Niscaya, karena wujud-wujud bisa jadi berupa aksiden-aksiden atau substansi-substansi. pada hakikatnya aksidn-aksiden itu bergantung pada yang lain yaitu substansi, dan substansi-substansin itu mungkin bersifat jasmaniah dan karena itu tersusun dan dapat rusak. Atau mungkin bebas dari materi atau abstrak. Kesimpulannya Ada Niscaya tanpa membutuhkan keberadaan sesuatu, Dia yang Awal, keberadaanya bukanlah kebergantungan pada sesuatu baik yag bersifat material maupun yang non material.
Masalah non wujud Thusi tidak berpihak kepada dua pandangan yang bertentangan. Hanaya saja ia mengurakan bagaimana pertentangan antara yang mengingkari eksistensi yang non wujud yang ia sebut kaum nafiyan dan kelompok yang percaya pada eksistensi non wujud yang ia sebut musbitan. Ia hanya menyimpulkan “ketika orang-orang cerdas berpikir tentang hal ini (masalah non wujud). Mereka harus menerima apa yang diterima oleh pikiran mereka, dan tentu saja tidak boleh mengikuti orang lain begitu saja. Di bawah ini pemaparan Thusi;
Ketahuilah bahwa orang-orang berilmu berbeda pendapat tentang apakah non wujud itu sesuatu ataukah bukan sesuatu. Non wujud yang mereka maksudkan adalah wujud mungkin. Kaum nafiyan berpendapat bahwa non wujud itu bukan sesuatu. Mereka tidak membedakan wujud mungkin dengan wujud mustahil. Mereka menganggap kedua-duanya sebagai non wujud. Kedua kelompok itu juga tidak sependapat dalam hal-hal lainnya. . kaua musbitan percaya kapada suatu sifat yang bukan wujud dan bukan pula non wujud. Mereka menyebut sifat itu suau disposisi. Akan tetapi kaum nafiyan menolak status antara yang teletak diantar wujud dan non wujud. Kedua kelompok itu juga tidak sepakat tentang masalah berikut; kaum musbitan memandang non wujud, dalam status ketakwujudannya, disifati oleh suatu sifat …mereka mengaggap wujud sebagai suatu ciri umum semua maujud. Mereka juga membedakan antara penegsan /penetapan dan wujud itu sendiri, tetapi bukan antara wujud dan non wujud. Namun mereka tidak membedakan antara pengingkaran/penegasian dan penegasan/pembenaran. Dilain pihak, kaum nafiyan menganggap wujud segala sesuatu sebagai esensi atau dzatnya. Mereka tidak membedakan antara tsubut dan wujud. Jadi kaum musbitan mengagap semua esensi-baik substansi maupun aksiden – itu ada secara azali, yang disifati dengan sifat-sifat genus, misalnya substansi dengan watak substansinya, hitam dengan warna hitamnya, walaupun belum maujud. Kaum musbitan menganggap bahwa wujud adalah suatu disposisi /tempelan, maksudnya, ia bukan wujud dan bukan non wujud. Jadi Sang Pelaku, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasalah yang Ada, yang menyipati esensi-esensi dengan wujud, dan itulah makna menjadikan ada dan menjadikan mengada. Bagi kaum nafiyan, tidak ada yang tetap secara azali, kecuali Tuhan. dia menciptakan semua esensi dan sifat, dan bahwa makna menjadikan substansi ada adalah menyebabkan substansi menjadi ada setelah sebelumnya tidak ada[23]

Terkait apakah dunia ini kekal atau dicipakan oleh Tuhan dari ketiadaan (hadis) merupakan pembahasan yang menarik dalam filsafat islam. Ath Thusi disatu sisi dalam karyanya Tashawwurat (yang ditulis pada masa pemerintahan isma’iliyah) Thusi mengecam doktrin creatio ex nihilo. Pandangan yang menyatakan adanya waktu ketika dunia ini belum maujud dan kemudian Tuhan menciptakannya dari ketiadaan. Secara jelas mengisyaratkan  bahwa Tuhan bukanlah pencipta sebelum adanya penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptaannya. Masih bersifat potensial yang kemudian hari baru diwujudkan, dan ini merupakan sangkalan atas daya cipta nya yang kekal. Oleh sebab itu logisnya, Tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengaitkan eksistensi penciptaan kepada dirinya. Dunia in dengan kata lain, merupakan sesuatu yang sama kekalnya dengan Tuhan. Disini Ath Thusi menutup pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya, meskipun dalam hak dan kekuatannya sendiri, ia tercipta[24].
Disisi yang lain karyanya Fushul, Thusi mendukung sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai creatio ex nihilo. Dengan menggolongkan zat menjadi yang pasti dan yang mungkin, Dia mengemukakan bahwa bahwa eksistensi nyang mungkin itu bergantung kepada yang pasti, dan karena ia maujud akibat sesuatu yang lain dari dirinya, tidak dapat dikatakan ia dalam keadaan maujud sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang tidak maujud iu tidak ada, begitu juga Kemaujudan Yang Pasti itu menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal-hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhdast)[25].
 Dengan menggolongkan dzat menjadi yang pasti dan yang mungkin. Wujud dibagi wajib bidzatihi dan mumkin bidzatihi. Wajib hanya memandang kepada dzatnya yang wajib al wujud dan mumkin bidzatihi kalau dari wajib wujudnya. Apabila dikatakan ghairu maujud (bukan wujud). Bukan berarti mustahil[26]. Kecuali ma’dum (non wujud) itu mustahil maujud. Karena ma’dum (bukan ghairu maujud) merupakan lawan dari wujud. Sesuatu yang mustahil ada sesungguhnya wajibul wujud tidak tidak memberikan peluang untuk ada dan mengada, maka konsekwensi logisnya menjadi mustahil ada dan mengada, bukanlah sebab, tetapi wajibul wujud tidak ingn menghendakinya pada sesuatu yang tidak mungkin (mustahil)[27].

Jiwa
Menurut At-Thusi, jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri[28]. ia adalah substansi yang secara dzati independen. Artinya ia adalah sebuah maujud yang tidak memilki subjek, tempat dan materi serta seluruh sifat dan kreteria yang dimiliki oleh materi. Akan tetapi dalam aktifitas ia memerlukan fasilitas material[29]. Dengan demikian karena jiwa bukanlah materi atau material dan tidak bergatung pada tempat. Maka badan ini bukanlah tempat bagi jiwa. Badan hanyalah sebuah alat dan fasilitas baginya. Sebagaiman kerusakan alat dan fasiltas tdak dapat menimbulkan keruskan bagi pemilik dan pemakainya, kematian dan kerusakan susunan badan manusia juga tidak dapat menimbulkan kerusakan dan kehancuran jiwa. Dngan kerusakan badan hanya fungsi dan kinerja jiwa manusia akan rusak dan dengan kematian kemampuan untuk bekerja akan diambil dari jiwa ini.[30]
Sebagaimana Aristoteles dan filsuf-filsuf sebelumnya yang membagi jiwa menjadi tiga bagian. Jiwa tumbuhan, hewan, dan manusia. [31]Athhusi menambahkan jiwa imajinatif berkenaan dengan persepsi-persepsi rasa disatu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional dipihak lain, sehingga jika ia disatukan dengan jiwa hewani maka ia akan menjadi bergantung kepadanya dan hancur bersamanya, tetapi jikalau ia dihubungkan dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dari tubuh, suatu jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya, dan hukuman dan penghargaan jiwa manusiawi menjadi bergantung kepada jejak ini, yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini.
Pertama jiwa tumbuhan (nabati). Efek-efek jiwa ini meliputi seluruh jenis tetumbuhan, [32]binatang, dan manusia. Jiwa ini memiliki gerak multi orientasi yang ia lakukan tanpa ikhtiar, kehendak, dan pemahaman sama sekali[33]. Kedua jiwa hewani. Jiwa ini dimiliki oleh seluruh jenis binatang, termasuk bangsa manusia. Ketiga jiwa insani. Jiwa ini hanya dimiliki oleh jenis manusia. Dengan jiwa ini manusia terpisah dari binatang[34].
Setiap jiwa dari ketiga jiwa ini memiliki beberapa kekuatan yang menjadi sumber aksi kinerja tertentu. [35]Jiwa nabati memiliki tiga kekatan (daya);fakultas yang menjamin makanan, penjamin pertumbuhan dan perkembangan badan, dan kekuatan reproduksi keturunan. Jiwa hewani memiliki dua kekuatan; pemahaman organik dan gerak swakarsa. Kemudian yang pemahaman organik dibagi menjadi dua klasifikasi; hal-hal yang dapat dipahami melalui panca inderah lahiriah (penglihat, pendengar, pencium, dan peraba) dan hal-hal yang dapat dipahami melalui panca indera batiniah (khayal, memori, delusi,). Sementara yang kekuatan gerak swakarsa dibagi pula dalam dua klasifikasi; kekuatan syahwat atau kecendrungan yang membangkitkan keinginan untuk meraih manfaat dan kekuatan amarah atau kekuatan murka dan defensip yang membangkitkan keinginan untuk menyingkirkan segala bentuk marah bahaya. Akan tetapi jiwa manusia memiliki satu kekuatan khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh jenis binatang, yaitu kekuatan berpikir atau akal. Akal adalah kekuaan khusus yang dimiliki oleh manusia guna memahami hal-hal yang bersifat universal[36]. Hal ini berbeda dengan pemahaman terhadap hal-hal partikular yang dapat diperoleh melalui panca indera dan sama-sama dimiliki oleh manusia dan binatang[37].
Diantara kekuatan-kekuatan diatas, sebagian kekuatan terwujud secara natural, sehingga tidak dapat ditambah, dikurangi, diubah, atau dipebaiki. Akan tetapi tiga kekuatan yaitu akal, syahwat, dan amarah terwujud berdasarkan kehendak dan pikiran kita. Oleh karena itu ketiga kekuatan itu bisa berubah dan disempurnakan. Kekuatan amarah dan syahwat termasuk cabang jiwa hewani. Atas dasar ini, spesies manusia sebagai bianatang yang berpikir juga memiliki kesamaan dengan spesies-spesies binatang yang lain. Akan tetapi kekuatan akal hanya dimiliki oleh spesies manusia belaka[38]. Dengan akal dan kehendak bebasnya manusia diberkati predikat makhluk sempurna di dunia. Sebagimana yang pernah dikataknnya dalam akhlaqo-e nosheri bahwa jiwa hewani lebih muliya daripada jiwa nabati, dan jiwa insani adalah lebih muliya daripada jiwa hewani. Dengan demikian manusia maujud termuliya di jagad raya ini[39].
Dari sudut pandang yang lain, dengan demikian jiwa manusia dibagi menjadi tiga kekuatan. Jiwa binatang yang merupakan jiwa terendah, jiwa buas atau jiwa biadab berada dipetengahan sebagai jiwa antar, dan yang tertinggi jiwa malaki. Ketiga jiwa ini terdapat pada diri manusia secara kolektif dan serentak. Thusi menyinggung istilah jiwa ini selaras dengan Ayat Al-Qur’an, jiwa binatang sama dengan jiwa amarah, jiwa biadab atau buas sama dengan jiwa lawwamah, jiwa malaki sama dengan jiwa mutmainnah. Karena jiwa buas atau biadab yang dalam alqur’an biasa dsebut lawwamah berada pada posisi tengah, sekalipun biadab, jika dipelajari masih ada peluang untuk beralih menjadi muthmainnah atau menjadi amarah. Sementara jiwa amarah memerintah manusia supaya mengumbar dan mengikuti ajakan syahwat, setelah melakukan aksi yang terhitung sebagai kekurangan dan bukan kesempurnaan. Jiwa lawwamah dengan dorongan penyesalan dan cercaan menampakkan aksi ini dihadapan mata hati sebagai sebuah tindakan yang sangat buruk. Jiwa mutmainnah tidak pernah rela kecuali dengan aksi-aksi yang luhur dan terpuji[40].






.






[1] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2., hal 813
[2] Muthahhari, Filsafat Teoritis dan Filsafat Praktis, hal 9
[3] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 813
[4] Ibid hal, 813
[5] Ibid , 814
[6] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 814
[7] Ibid hal, 815
[8] Yang oleh aristoteles disebut analitika (untuk meneliti argumentsi yang berangkat dari proposisi yang benar) dan dialektika (untuk meneliti argumentasi yang diragukan kebenarannya)
[9] Hendrik rapar, pengantar filsafat, hal 34
[10] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 815
[11] Peripatetik yang artinya berarti berjalan mondar-mandir adalah semata-mata sebuah nama yang tidak memiliki hubungan dengan metode Aristoteles dan pengikutnya. Mereka mengatakan mengapa Aristoteles dan para pengikutnya disebut kaum peripatetik. Karena Aristoteles memiliki kebiasaan mengajar sambil berjalan-mondar-mandir. Ada sebagian yang mengatakan bahwa parepatetik itu diambil dari sebuah tempat atau ruangan tempat mondar mandir ketika Aristoteles mengajar. Lih, K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hal 131. Dari sanalah setiap filsuf yang bermadzhab ke Aristoteles disebut filsuf peripatetik yang metodenya bertumpu pada argumentasi rasional
[12] Seperti karyanya Thusi “perjalanan pulang ke Tuhan sebuah prinsip dan metode penyucian jiwa”. Yang berisi diantaranya tahapan awal suluk dan syarat-syaratnya; iman, keteguhan (tsubat), niat, kejujuran (sidq), penyesalan (inabah), ketulusan (ikhlas). Kemudian rintangan dan hambatan pada jalan suluk; tobat, zuhud, kemiskinan (faqr), kedisiplinan diri (riyadhah), perhitungan dan kehati-hatian diri, (muhasabah dan muraqabah), takut kepada allah. Selanjutnya pencarian kesempurnaan dan maqam-maqam pesuluk; pengasingan diri (khalwah), perenungan (tafakkur), ketakutan (khawf) dan duka cita (huzn), harapan (raja’), kesabaran (sabr), syukur. Menju maqam-maqam sebelum puncak hakikat; keinginan (iradah), kerinduan (syawq), kecintaan (mahabbah), pengetahua (ma’rifah), keyakinan, ketentraman. Yang trakhir maqam-maqam dipuncak hakikat; kepasrahan (tawakkal), kepuasan (ridha), ketaatan (taslim), keesaan Allah (tawhid), penyatuan (ittihad), kesatuan (fana’)
[13] Thusi diriwayatkan percaya percaya pada keniscayaan pembuktian dalil rasional mengenai eksistensi Tuhan untuk setiap orang beriman sampai suatu ketika ia berjumpa dengan seorang petani yang bersahaja “apakah Tuhan itu satu atau dua?”demikian pertanyaan yang diajukan Thusi. “hanya satu” jawab petani. “apakah sikap anda jika seseorang berkata kepada anda Tuhan itu dua?”Tanya Thusi selanjutnya.”akan aku pecahkan kepalanya dengan sekop ditanganku ini”jawab petani. Seperti anekdot-anekdot lainnya tentang Thusi banyak, kisah ini menggaris bawahi bagian-bagian melegenda yang menjadi sikap perhatian sikap rasional filosof ini tanpa kenal lelah.
[14] Kheradamardi, Manajemen Politik Perspektif Khajeh Nashiruddin, hal 32
[15] Ath Thusi dalam majmueh –e rasoel; qesm-e maujodut
[16] Hossein Nasr, Intelektual Islam, hal 40
[17] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 800
[18] Kegiatan mengetahui adalah proses abstraksi. Suatu objek dalam wujudnya tidak terlepas dari aksiden-aksiden dan atribut-atribut tambahan yang menyelubungi hakikatnya. ketika subjek berhubungan dengan objek yang ingin diketahui, hubungan itu melibatkan ukuran, cara, tempat dan situasi. Selanjutnya abstraksi dibagi empat tahap. Pertama terjadi pada indera. Ketika indera menangkap gambar objek, ia harus berada pada jarak tertentu dari objek dan dalam keadaan tertentu. Kedua terjadi pada al khayal. Kalau pada indera, hubungannya dengan objek harus berada pada jarak dan situasi tertentu, pada al khayal keharusan demikian tidak ada. Al khayal menngkap gambar objek tanpa melihat, tetapi tangkapannya masih meliputi aksiden-aksiden dan atribut-atribut tambahan seperti kualitas dan kuantitas. Ketiga abstraksi terjadi pada al wahm (menagkap makna-makna yang terlepas dari atribut-atribut material seperti al mahabbat).disini yang ditangkap bukan lagi gmbar objek, melainkan makna abstrak dari objek tertentu tersebut terlepas dari atribut-atribut dan aksiden-aksiden, seperti musuh, teman. Kebedaan dan kesamaan. Keempat tajrid alkamil (tangkapan akal yang merupakan abstraksi yang sempurna ) pada tahap ini, abstraksi telah melepaskan seluruh yang berkaitan dengan materi dan aksiden, yang tinggal adalah makna universal. Lihat Al-Ghazali, Ma’rij Al Quds fi Madarij Ma’rifat Al Nafs, hal 66. Atau lihat Yasir Nasution, Manusia Menurut Al Ghazali, hal, 136-137
[19] Hanafi, Dari Akidah Ke Revolusi, hal 213
[20] Dedi supriyadi hal 258
[21] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 800
[22] Ibid hal, 803
[23] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 801-802
[24] Dedi supriadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 158
[25] Dedi supriadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 259
[26] Syahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, hal 157
[27] Russel, Searah Filsafat Barat, hal 605
[28] Lih, Ach. Dhofir Zuhri, filsafat Islam
[29] Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli, Kasyf Al-Murad fi Syarahtajrid Al-I’tiqad, hal164
[30] Ath Thusi, Akhloq –e Nosheri hal 54
[31] Dedi supriadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 255-256
[32] Atas dasar ini, manusia sebagai spesies; yakni hewan yang berpikir dan bintang sebagi materi yang berkembang biak dan bergerak, memiliki kekuatan hal tersebut diatas. Dari sisi reproduksi manusia adalah sama dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang, disisi pemahaman organik dan gerak yang didasari kehendak sama dengan binatang. Dari sisi akal ia terpisah dari semua itu.
[33] Ath Thusi, Roudhah At-Taslim, hal 23
[34] Ibid, hal 56
[35] Kheradamardi, Manajemen Politik Perspektif Khajeh Nashiruddin, hal 37
[36] Ibid hal, 56-57
[37] M.Y Rad, Andisyeh-e-Siyosi-e Khajah Nasiruddin Tusi, hal 54
[38] At Thusi, Akhloq –e Nosheri, hal 58
[39] Ibid, hal 59-62
[40] Ibid, hal 76-77

MULLA SHADRA



Mulla Shadra



Pendahuluan
            Pasca wafatnya Ibn Rusyd pada abad keenam Hijri, banyak yang beranggapan filsafat Islam telah tiada, statement itu ternyata tidak terbukti, sebab tidak dipungkiri lagi kalau faktanya banyak sekali filsuf Islam yang terilhami dengan pemikiran-pemikiran filsuf klasik. Seperti Mulla Shadra sebagai panggagas Hikmah Muta’aliyah (Trancendent Theosophy), inilah yang disebut puncak dari upaya pemikir Islam guna menselaraskan seluruh pemikiran yang mempengaruhi filsafat Islam.[1]
            Makalah ini akan menjelajahi profil dan pemikiran Maulana Mulla Shadra, yang mana Mulla Shadra dibesarkan ditengah keluarga Syi’ah, tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, meskipun kita tahu, seorang ilmuan sejati akan senantiasa berusaha tidak terintervensi oleh apapun, mengingat kapasitasnya sebagai ilmuan dituntut untuk berpandangan objektif universal. Akan tetapi saya tidak ragu lagi bahwa ajaran-ajaran Syi’ah dengan sendirinya tetap mempengaruhi pada pola pikir Mullha Shadra.
Syekh Mulla Shadra, menurut Jalaluddin Rachmat terinspirasi para Imamah, misal pemikiran Imam Ali r.a dengan “Nahjul al-Balaghah”nya, Imam Jakfar Shodiq. Kendati beliau seorang Syi’ah sejati, pemikiran beliau juga tidak lepas dari pengaruh filsuf Yunani, terutama oleh Neo-Platonis, Saikh al-Akbar Ibn Arabi, filsafat Peripatetik dan al-Isyraqi Syuharawardi al-Maqtul.[2]
Biografi dan Studi Mulla Shadra
            Mulla Shadra lahir ditengah keluarga terhormat, beliau adalah salah satu filsuf yang disegani di dunia Islam, khususnya dikalangan intelektual Muslim saat ini. Nama lengkapnya Muhammad ibn Ibrahim Al-Qawam Al-Syirazi, ia dikenal dengan panggilan Mulla Shadra bagi banyak kaum Muslim, terutama di Persia, Pakistan, dan India.[3] Gelar kehormatannya Shadr Al-Din (Ahli Agama), gelar tersebut membuktikan bahwa ia mempunyai kedudukan yang tinggi dikalangan pakar teolog dizamannya, sebutannya sebagai Teladan, atau Otoritas Filosof-Filosof Ilahi (Shadr Al-Muta’allihin) menandakan posisinya yang unik di mata generasi-generasi filsuf yang datang setelahnya. Ia lahir di Syiraz, Persia Selatan pada tahun 979 H/1572 M. Ayahnya sebagai mentri dan sekaligus ulama dalam istana Shafawiyyah.
            Mulla Shadra naik haji enam kali, pada perjalanannya yang ketujuh 1050 H/1640 M ia berpulang keharibaan Ilahi Rabbi, dimaqamkan di Basrah, maqamnya dikenang sampai sekarang.[4] Informasi yang lengkap dan akurat tentang kehidupan, masa belajar, murid-murid, dan nata’iju al-fikr-nya masih abadi hingga hari ini. Sebagaian disebakan oleh relative kedekatannya dengan zaman kita, sejumlah autografinya, banyak surat dan komentar ringkas tentang tradisi-tradisi tekstual sebelumnya dapat diselamatkan, yang memberikan kepada kita wawasan yang lebih baik tentang kepribadiannya daripada sebagian besar filsuf periode-periode sebelumnya. Kebanyakan sejarahwan dan komentator atas karya-karyanya membagi kehidupannya menjadi tiga periode terpisah.[5]
            Selesai studi di Syiraz, tempat kelahirannya, ia pergi ke Ishfahan, pusat kekuasaan Dinasti Shafawiyyah dan salah satu pusat terpenting pendidikan Islam abad ke-10 H/ke-16 M. Di situ, pertama-tama Shadra masuk fakultas Islam Tradisional (al-ulum al-naqliyah), di dalamnya faqih besar Baha’ Al-Din Muhammad Al-Amili (w. 1031 H/1622 M) meletakkan landasan fiqih Syi’ah yang modern dan didefinisikan dengan baik. Studi-studi komprehensif awal Shadr Al-Din tentang konsepsi-konsepsi Syi’ah mengenai fiqih dan ilmu hadits serta ta’arruf-nya dengan tafsir Al-Quran oleh ilmuan besar Syi’ah itu dan membedakan dirinya dengan hampir semua filosof Islam Abad Pertengahan sebelumya, yang pengetahuan mereka tentang hal itu hanya sebatas dasar-dasarnya. Masa pembentukan intelektual Shadra ini menegaskan pemikirannya secara mendalam dan menggambarkan salah satu dari dua tren utama dalam proses kreatifnya.
            Di periode yang sama, Muhammad ibn Ibrahim Al-Qawami Al-Syirazi (Mulla Shadra) mulai mengkaji apa yang lazim dikenal sebagai ilmu logika (al-ulum al-aqliyah) dibawah bimbingan salah seorang filsuf besar dan orisinal, Sayyid Muhammad Baqir Astarabadi, yang dikenal luas dengan panggilan Mir Damad (w. 1040 H/1631 M). Beliau dijuluki Khatam Al-Hukama’ dan “Guru Ketiga” pasca Aristoteles dan Al-Farabi, ia sangat bangga dengan kecerdasan muridnya dalam membangun argument filosofis. Sekiranya tidak dikalahkan oleh kecemerlangan Shadra, mungkin Mir Damad akan lebih banyak dikenang dari yang dilakukan belakangan ini karena kumpulan dan revisinya atas korpus tekstual filsafat islam yang lengkap, upaya Mir Damad mendorong adanya perpustakan-perpustakan besar guna menampung tradisi-tradisi manuskrip lama, menyalin dan mempublikasikan dapat sokongan dana dari Istana shafawiyyah. Bukti konkret adanya aktivitas besar ini, yaitu jumlah yang mengesankan dari manuskrip berbahasa Arab dan Persia yang kini tersimpan dalam koleksi besar di seantero dunia, semua diproduksi di Ishfahan selama periode itu. Melalui patronase dukungan istana, karyanya sendiri tentang subjek filsafat, khususnya yang berjudul Qabasat[6] dan karyanya yang belum diedarkan “Al-Ufuq Al-Mubin” telah mewarnai corak perkembangan filsafat hingga hari ini. Usaha Mir Damad membangkitkan kembali semangat filsafat tidak sia-sia, ia seorang creator yang ulung, dimana sedari Filsfat Islam setelah wafatnya Ibn Rusyd diprediksikan punah, ia justru berhasil mendirikan Mazhab Ishfahan.[7] Masa belajar Shadr Al-Din yang panjang dengan pemikir visioner ini mewarnai aspek filosofis. Tren filosofis ini kemudian menjadi salah satu mazhab utama filsafat Islam yang paling dominan dengan predikat nama filsafat metafisika (al-Hikmah al-Muta’aliyah). Sebutan ini khususnya dipilih oleh Shadra untuk menunjukkan tujuan filosofisnya yang spesifik, yang mesti dikaji dan diuji secara memadai.
Mengajar dan Kontemplasi Filosofis
            kemasyhuran Shadr Al-Din sebagai guru dua cabang ilmu naqliyah dan ‘aqliyah segera merebak sepanjang ibu kota Shafawiyyah. Banyak jabatan resmi ditawarkan, tidak satupun yang diterima, sebagaimana yang disepakati oleh biografernya. Ketaksudian Shadra terhadap penghargaan material serta penolakannya mengabdi di istana dalam bentuk apapun terbukti dari fakta bahwa tidak ada karyanya yang dipersembahkan kepada seorang putra mahkota atau penguasa lainnya, padahal pencantuman seperti itu merupakan praktek lazim pada masa itu. Para sejarahwan juga menyatakan bahwa ketersohoran tiba-tiba Shadr Al-Din menemui kecemburuan khas dari pihak anggota komunitas ulama. Ia ditudu kafir secara semana-mena, dan ini merupakan salah satu faktor penolakannya menjadi pusat perhatian lingkaran-lingkaran Shafawiyyah di Ishfahan. Namun, ia bersedia kembali ke kehidupan publik dan mengajar di madrasah yang dibangun dan ditunjang oleh bangsawan Shafawiyyah, Allahwirdi Khan, di Syiraz. Lembaga pendidikan baru, yang jauh dari lingkungan politik ibu kota, cocok bagi kesibukan dan keasyikan Shadr Al-Din yang semakin meningkat dengan mengajar dan meditasi.
            Bahasa yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan kontemplatif Shadr Al-Din dengan kuat memperhatikan sikap Iluminasionisnya terhadap filsafat, dan pandangan Iluminasionis tentang keutamaan pola pengetahuan intuitif yang dialami khususnya.[8] Suhrawardi telah mendemonstrasikan keabsahan visi-iluminasi (musyahadah wa isyraq) sebagai sarana bagi penemuan kebenaran-kebenaran abadi yang dipakai dalam konstruksi filsafat. Tradisi Iluminasi secara berulang-ulang menggunakan alegori (kiasan) perjalanan batin yang diarahkan kepada mundus imaginalis (alam khayal) sebagai metoda tertinggi untuk memperoleh prinsip-prinsip filsafat yang benar. Suhrawardi telah menetapkan urutan tindakan-tindakan tertentu sebagai langkah pertama yang diperlukan untuk mencapai visi ini, yang diyakininya akan menghasilkan pengetahuan atemporal dan langsung tentang seluruh realitas. Shadr Al-Din ternyata menerima diktum-diktum ini dengan sungguh-sungguh. Semua biografernya menyinggung soal praktik asketis (riyadlah) dan pengalaman visioner (musyahadah, mukasyafah)nya.[9] Banyak di antara tulisan-tulisan filosofis Shadr Al-Din menginformasikan kepada pembaca bahwa esensi argument filosofisnya pertama kali disingkapkan kepadanya dalam pengalaman visioner, yang kemudian dianalisisnya dalam sistem diskursif.[10]
            Juga selama periode kehidupan inilah Shadr Al-Din mendidik dan melatih sejumlah pelajar. Aktivitas ini kemudian menjadi signifikan dalam aktivitas-aktivitas filosofis selanjutnya di Persia. Dua murid terpentingnya menghasilkan karya-karya yang dikaji dan diteliti secara luas hingga sekarang. Yang pertama, di antara para siswanya yang layak diperhatikan di sini, yaitu Muhammad Ibn Al-Murtadla yang masyhur dengan panggilan Mulla Muhsin Faidh Kasyani, yang menulis sebuah risalah berjudul Al-Kamalat Al-Makmunah, yang menekankan dua sisi pemikiran sang guru, yakni gnostik (‘irfan) dan interpretasi Syi’ah terhadap alam al-ghaib yang termaktub dalam Al-Quran sebagai sumber ilham. Yang kedua, Abd Al-Razzaq Ibn Al-Husain Al-Hiji, yang ringkasan-ringkasan berbahasa Persia-nya tentang kecenderungan Peripatetik gurunya sangat populer di Persia. Syawariq Al-Ilham-nya layak disebut secara khusus di sini karena memasukkan pandangan Ibn Sina tentang etika. Kedua pemikir muda ini juga menikahi kedua putri Shadr Al-Din, mengungkapkan hubungan yang semakin akrab antara Syaikh dan pengajar dalam lingkaran terpelajar Syi’ah yang masih terus berlangsung hingga hari ini. Beberapa murid lainnya disinggung pula dalam sejumlah sumber biografis, termasuk dua putra sang guru ini.
            Walaupun pengaruh karya dan pemikiran Mulla Shadra atas sejarah intelektual Islam sangat monumental, amat sedikit studi sistematis dan komprehensif tentang filsafatnya yang tersedia dalam terjemahan bahasa-bahasa Barat. Studi ekstensif paling awal dilakukan oleh Max Horten, karyanya “Das Dhilosophische System von Schirazi (1913)” masih menjadi sumber yang cukup andal meskipun penulisnya menggunakan termenologi filsafat pramodern dan pandangan lama Orientalis.
            Dalam dekade-dekade lebih belakangan, suntingan-suntingan teks dan studi-studi rintisan Henry Corbin membuka sebuah babak baru dalam kesarjanaan Barat tentang filsafat Islam, melahirkan kesadaran akan eksistensi tren-tren orisinal pada periode pasca Ibn Sina, jika bukan pemahaman analitis lengkap dan tuntas tentang signifikansi filosofis mereka. Namun, penekanan Corbin pada dimensi yang diduga esoterik dari pemikiran Mulla Shadra cenderung menutupi analisis filosofis Barat modern terhadap “filsafat metafisika”.[11] Mengikuti Corbin, kajian Sayyed  Hossien Nasr terhadap pemikiran Shadra[12] dan kajian serta terjemahan James Morris dari karya filosofis Shadra kurang begitu penting, yang berjudul Hikmah ‘Arsyiyyah (diterjemahkan Morris dengan Wisdom of the Throne),[13] juga menekankan aspek non-sistematik filsafat ini. Pilihan mereka pada istilah-istilah seperti “teosofi transendent” tidak menunjukkan sisi filosofis kegeniusan orisinal pemikiran Shadr Al-Din. Hingga kini, satu-satunya yang mendalam tentang filsafat metafisika Shadr Al-Din adalah karya Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Shadra, penggunaan terminology filsafat kontemporer oleh Fazlur Rahman dan pendekatannya terhadap sistem pemikiran filsafat Islam menjadi pengantar berharga yang dapat disejajarkan, dari segi ruang lingkup dan analisisnya, dengan banyak karya yang lahir pada abad ke-17 hingga ke-19.
            Seberapa jauh Shadr Al-Din dapat dianggap sebagai pemikir orisinal? Dan sejauh manakah sintesis barunya dan reformulasinya atas apa yang diyakininya sebagai keseluruhan filsafat, yang kemudian diberinya nama filsafat metafisika itu secara logis konsisten dan secara filosofis masuk akal? Pertanyaan itu bisa dijawab jika studi-studi lanjut dilakukan oleh para filososf yang berminat pada pertanyaan itu, dan oleh orang-orang yang dengan mata terlatih dapat melihat aspek-aspek yang lebih mendalam daripada aspek-aspek yang diduga “teosofis” dari pemikiran Shadr Al-Din. Ini bukanlah tugas mudah, karena hingga sekarang beberapa karyanya yang telah disunting dengan baik; dan, lebih sedikit lagi jika ada yang telah diterjemahkan penuh arti dari sudut pandang filsafat teknis.
            Sarjana yang menganalisis dan menulis berbagai aspek filsafat Islam dari perspektif modern dengan menggunakan bahasa kontemporer dan pendekatan analitis adalah filosof Islam terkemuka Mehdi Ha’iri Yazdi. Meskipun sebagian besar karyanya berbahasa Persia sehingga sulit diakses secara luas, studinya paling mutakhir dalam bahasa inggris, berjudul Knowledge by Presence, menggambarkan suatu upaya serius untuk membuka dialog dengan filosof Barat kontemporer.[14] Dalam karya ini, para pengkaji filsafat modern dapat mengikuti argument filosofis yang sudah berumur berabad-abad berkenaan dengan keunggulan epistemologis modus pengetahuan intuitif dan eksperiensial tertentu yang seluruhnya diuji ulang dan diverifikasi oleh Shadr Al-Din. Para peneliti mungkin lebih menyukai modus yang murni predikatif-proporsional, yang menerima pandangan logikawan, tetapi mereka tidak lagi dikacaukan oleh banyaknya karya polemic yang umumnya mengabaikan konsep epistemologis Iluminasionis tentang “melihat” (Musyahadah), modus pengetahuan dengan kehadiran yang hanya dianggap semata “pengalaman mistik” yang umumnya disebut pengalaman sufi. Sebagian pembaca argument-argumen epistemologis Islam dapat melihat kemiripan menonjol dengan gagasan-gagasan Barat, seperti “intuisi primer”-nya Brouwer dalam fondasi Intuisionisnya bagi matematika, misalnya. Sebagian barangkali menemukan kesejajaran dan kesepadanan dengan pemikiran kontemporer tentang masalah intuisi yang menganggap pemikiran itu sebagai hasil pemahaman subjek yang mengetahui atas suatu objek ketika dikotomi subjek-subjek tidak berlaku, dengan kata lain, ketika subjek dan objek satu. Sederhananya, inilah yang dimaksud dengan “kesatuan orang yang mengetahui , apa yang diketahui”, dan akal (ittihad al-‘aqli wa al-ma’qul wa al-‘aql), yang diperkenalkan oleh Suhrawardi dan selanjutnya dianalisis oleh Shadr Al-Din.[15] Masih banyak karya keilmuan yang harus dikerjakan, tahap pertama adalah editing dan penerjemahan teks-teks Arab dan Persia. Generasi-geneasi filosof dalam Islam, yang sebagian besar tidak menganggap diri mereka sebagai sufi, telah mengkaji teks-teks Iluminasionis dan juga teks-teks dalam tradisi “filsafat metafisika” Shadr Al-Din dan menganggap mereka telah mewakili system yang sangat rasional seraya menegaskan pentingnya Iluminasi.
Karya-Karya Utama
            Lebih lima puluh judul karya yang diduga disusun oleh Mulla Shadra.[16] Karya-karya itu bisa dibagi menjadi dua tren utama pemikirannya: ilmu-ilmu naqliah dan ilmu-ilmu ‘aqliah. Karya-karya Mulla Shadra tentang subjek yang berkaitan erat dengan ilmu-ilmu naqliah, yang mencakup subjek-subjek tradisional fiqih Islam, tafsir Al-Quran, ilmu hadits, dan teologi, dicontohkan dengan baik sekali oleh: (1) Syarh Ushul Al-Kafi, sebuah komentar atas terkenal Kulaini, kumpulan hadits Syi’ah pertama tentang masalah-masalah spesifik fiqih dan teologi; (2) Mafatih Al-Ghaib, tafsir Al-Quran yang tak tuntas; (3) sejumlah risalah pendek yang masing-masing dicurahkan atas tafsir atas surat tertentu Al-Quran; (4) risalah pendek yang berjudul Imamah tentang teologi Syi’ah; dan (5) sejumlah komentar ringkas tentang teks-teks kalam standar, seperti Syarh Al-Tajrid, karya Qusychi.[17]
            Karya-karya Shadr Al-Din yang lebih penting, yang diterima luas oleh kaum Muslim sebagai puncak perkembangan filsafat Islam, adalah karya-karya dalam bidang ilmu-ilmu aqliah. Karya-karya utamanya dalam kelompok ini, antara lain: (1) Al-Asfar Al-Arba’ah Al-Aqliyyah,[18] korpus filosofis definitif Shadr Al-Din, yang memuat bahasan-bahasan terperinci tentang semua subjek filsafat; (2) Al-Syawahid Al-Rububiyyah,[19] umumnya diterima sebagai ringkasan Asfar, dan (3) komentar-komentar ringkas atas karya Ibn Sina, Syifa, dan atas karya Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq.[20] Kedua komentar ringkas ini, yang hanya tersedia dalam edisi faksimile, merupakan petunjuk tentang kepiawaian dan kepakaran Shadr Al-Din dalam mengembangkan, menolak, atau mempertajam argument-argument filosofis. Tidak seperti sebagian besar komentar dan komentar ringkas sebelumnya, ia tidak puas dengan hanya menguraikan butir-butir yang sulit, tetapi juga hendak mendemonstrasikan atau menolak konsistensi dan keabsahan filosofis argument-argumen orisinal. Mulla Shadra juga menulis sejumlah risalah yang lebih pendek yang sebagian di antaranya, seperti Al-Hikmah Al-Arsyiyyah, Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad, dan Kitab Al-Masya’ir telah sangat dikenal dan diajarkan di lingkungan-lingkungan filsafat di Persia. Di India Syarh Al-Hidayah (Komentar atas Buku tentang Petunjuk Karya Atsar Al-Din Abhari), karya Mulla Shadra, menjadi karya paling terkenal di antara karya-karyanya dan diajarkan di madrasah-madrasah tradisional sampai sekarang.
            Kesimpulannya, kita dapat mengatakan bahwa dalam lebih dari satu cara “filsafat metafisika” Shadr Al-Din melakukan berbagai usaha untuk menguji setiap pandangan dan argument filosofis yang pernah dikenal berkenaan denga prinsip dan metode. Ia kemudian menyeleksi apa yang dinilainya sebagai argument terbaik, merumuskannya kembali dan akhirnya mencoba merekonstruksi suatu sistem yang konsisten. Filsafat sistematikanya bukan Peripatetik ataupun Iluminasionis, melainkan rekonstruksi baru dari keduanya, yang berfungsi sebagai saksi bagi kesinambungan pemikiran filsafat dalam Islam. Bahwa sistem Shadr Al-Din berbeda dengan penekanan pada aspek spesifik “rasionalitas” seperti sekarang ini tidak berarti bahwa pendirinya memahaminya sebagai “irasional” dan juga tidak diberikan terutama pada “pengalaman mistis”. Namun, sistem itu menandaskan suatu pandangan dunia bahwa visi intuitif adalah bagian tak terpisahkan dari pengetahuan.
Ajaran-Ajaran Mulla Shadra
            Shadr Al-Din Syirazi lahir hampir seribu tahun setelah turunnya Islam dan karya-karyanya mentashawwurkan suatu sintesis pemikiran Islam satu milenium sebelumnya. Ia benar-benar memahami Al-Quran dan Hadits, filsafat dan teologi Islam, tasawwuf dan bahkan sejarah pemikiran Islam, dan tentu mempunyai akses pada perpustakan yang melimpah ruah. Terhadap semua pengetahuannya ini, masih harus ditambahkan pula daya intelektualnya sebagai filosof dan kapabilitas visioner dan intuitifnya sebagai seorang gnostikus (arif) yang berhasil mengalami langsung Realitas Tertinggi atau apa yang dalam mazhab filsafat dan teosofi Islam terkemudian disebut “pengalaman gnostik” (tajruba-yi ‘irfani). Pengetahuannya tentang sumber-sumber wahyu Islam dianggap lebih luas dibandingkan dengan semua filosof Islam lainnya. Pengetahuan itu meliputi keakrabannya bukan hanya dengan Al-Quran, melainkan juga dengan komentar-komentar yang termasyhur, bukan hanya atas hadits Nabi, melainkan juga atas semboyan para Imam Syi’ah yang signifikansi filosofisnya ia ungkap untuk pertama kalinya. Tafsir Al-Quran, Syarah Ushul Al-Kafi dan tafsirnya atas ayat al-Nur dalam Al-Quran, menjadi dua adikarya pemikiran Islam, memperlihatkan kepiawaiannya yang tak diragukan lagi tentang Al-Quan dan hadits.
            Mulla Shadra juga mempunyai pengetahuan sangat mendalam tentang mazhab-mazhab pemikiran filsafat Islam sebelumnya. Ia tahu betul filsafat peripatetik (masya’i), terutama filsafat Ibn Sina, komentarnya atas Kitab Al-Syifa sangat penting. Namun, kemudia ia juga dikenal akrab sebagai kaum peripatetik, layaknya Nashir Al-Din Thusi dan Atsir Al-Din Abhari. Shadra juga mengomentari Al-Hidayah sebuah kitab karya Abhari yang nantinya menjadi mahakarya yang sangat terkenal khususnya di India. Ia juga mengajar filsafat Isyraqi dan menyalin sebuah cerita visioner Suhrawardi, dengan tangannya sendiri ia menulis komentar penting dalam bentuk ringkasan (ikhtisar) atas Hikmah Al-Isyraqi karya guru mazhab Iluminasi. Ia juga mendalami teologi Sunni dan Syi’ah, khususnya karya-karya Imam Abu Hamid Al-Gazali dan Imam Fakhr Al-Din Al-Razi, ia kerap mengutip terutama dalam Asfar yang merupakan adikaryanya dan menjadi induk dari buku-bukunya yang lain. Lebih jauh lagi, ia juga benar-benar menguasai teologi Syi’ah termasuk Syi’ah Dua Belas Imam yang dianutnya serta Ismailiyyah, karya-karyanya ia kaji secara saksama, termasuk risalah-risalah filosofis mereka, seperti Rasa’il Ikhwan Al-Shafa.
            Akhirnya, penting juga disadari tentang kepiawaian dan kepakaran Shadra mengenai doktrin-doktrin tasawwuf umumnya dan gnosis khususnya seperti yang diajarkan oleh Ibn Arabi. Dalam problem tertentu seperti eskatologi, ia banyak meminjam dari guru Andalusia itu, dan dalam bagian akhir buku Asfar ia menguraikan al-Ma’ad atau eskatologi yang pada kenyataannya, sarat dengan kutipan-kutipan luas dari Al-Futuhat Al-Makkiyyah. Selanjutnya, ia sangat mengkagumi puisi sufi Persia dan menukil dari guru sufi, seperti Fariduddin Al-Ththar dan Julaluddin Al-Rumi, bahkan ditengah-tengah karyanya yang berbahasa Arab. Sebagian pengetahuan Shadra berasal dari para guru mazhab Ishfahan, suatu mazhab yang ia ikuti, tapi pengetahuannya dalam masalah ini melebihi guru-gurunya dan melukiskan kajian ekstensifnya terhadap karya-karya dan sumber utama pemikiran islam.

Sintesis Mazhab-Mazhab Pemikiran dan Pola-Pola Pengetahuan
            Shadr Al-Din tidak hanya menyintesis berbagai mazhab pemikiran Islam, melainkan juga berbagai jalan pengetahuan manusia. Kehidupannya sendiri, yang didasarkan atas kesalehan, introspeksi filosofis dan penalaran yang mendalam serta penyucian diri sampai mata hatinya terbuka sehingga mempunyai visi langsung terhadap dunia spiritual, membuktikan kesatuan tiga jalan utama pengetahuan dalam diri pribadinya. Tiga jalan ini menurutnya, adalah wahyu (al-wahyu), demonstrasi atau inteleksi (al-burhan, al-ta’aqqul), dan visi spiritual atau mistis (al-mukasyafah, al-musyahadah). Atau memakai terminologi lain yang lumrah di kalangan mazhabnya, ia mengikuti suatu cara dengan menyintesiskan Al-Quran, al-burhan, dan al-irfan.
            Epistemologi Mulla Shadra berkaitan langsung dengan epistemologi Suhrawardi dan mazhab Iluminasi, sebuah mazhab yang membuat perbedaan antara pengetahuan konseptual (al-ilm al-hushuli) dan pengetahuan dengan kehadiran (al-ilm al-hudluri), bentuk pegetahuan yang menyatu dalam diri pemilik pengetahuan pada tingkat tertinggi, seseorang yang oleh Suhrawardi Al-Maqtul disebut hakim muta’allih, yang secara harfiah berarti manusia bijaksana, filosof atau teosof yang dikarunai dengan sifat-sifat Ilahi dan menjadi menyerupai Tuhan. Pengetahuan konseptual diperoleh melalui konsep-konsep dalam pikiran tentang yang diketahui, sedangkan pengetahuan dengan kehadiran mengimplikasikan kehadiran realitas yang diketahui dalam intelek manusia tanpa perantaraan konsep-konsep mental seperti ketika seseorang mengetahui diri sendiri, intelijibel-intelijibel atau realitas-realitas Ilahi. Pengetahuan tersebut bersifat iluminatif dan melampui alam rasio, tetapi itu bukan berarti tanpa bobot intelektual. Mulla Shadra menerima tesis isyraqi ini, akan tetapi ia menambahkan signifikansi wahyu sebagai sumber asasi bagi pengetahuan tentang masalah filosofis dan teosofis. Tradisi filsafat Islam di Persia sepenuhnya mengakui dan menerima kebenaran ini dan memberikan kepada Mulla Shadra gelar Shadr Al-Muta’allihin, maksudnya yang tertinggi diantara orang-orang, menurut istilah Suhrawardi tergolong dalam kategori tertinggi pemilik pengetahuan metafisis. Tidak ada gelar lebih tinggi yang diberikan kepada siapa pun dalam konteks konsepsi dunia, di dalamnya filsafat Islam kemudian berfungsi.
            Bagaimanapun, sintesis besar pemikiran Islam yang diciptakan oleh Mulla Shadra didasarkan atas tiga cara untuk mengetahui tersebut, sehingga ia dapat menginterpretasikan madzhab-madzhab pemikiran Islam terdahulu ke dalam sebuah pandangan dunia yang menyatu, dan menciptakan sudut pandang intelektual baru yang dikenal sebagai al-hikmah al-muta’aliyyah. Sejumlah sarjana filsafat Islam terkemuka yang telah menulis tentangnya dalam bahasa-bahasa Eropa, seperti Henry Corbin dan Thoshihiko Itzusu, menerjemahkan al-hikmah al-muta’ailyyah dengan “teosofi transendent”, sementara sejumlah sarjana lainnya memprotes penggunaan istilah tersebut. Yang jelas, “teosofi transendent” menandai kelahiran perspektif intelektual baru di Dunia Islam, perspektif yang mempunyai pengaruh mendalam pada abad-abad belakangan di Persia, di samping di Irak dan India. Istilah al-hikmah al-mut’aliyyah itu sendiri sudah digunakan sejumlah pemikir Islam sebelumnya, seperti Quthb Al-Din Syirazi. Dalam menganalisis berbagai aspek pemikiran Shadr Al-Din, kita sebenarnya mengkaji hikmah al-muta’ailyah menjadi madzhab pemikiran Islam tersendiri, sebagaimana halnya dengan madzhab Pripatetik (masysya’i) dan Iluminasionis (isyraqi). Mulla Shadra sangat setia pada istilah ini sehingga ia menggunakannya sebagai judul magnum opus-nya, Al-Asfar Al-Arba’ah fi Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah.
            Landasan “teosofi transendent” dan seluruh metafisika Mullah Shadra adalah ilmu tentang (wujud), yang dipergunakannya untuk menunjuk eksistensi, baik dalam pengertian eksistensi objek-objek maupun eksistensi yang sama sekali bukan privatif (menegasikan), melainkan malah memuat Prinsip Ilahi, Wujud Murni, dan bahkan Yang Mutlak, yang berada di luar Wujud seperti yang lazim dipahami. Kebanyakan tulisan Mulla Shadra, termasuk hampir semua bagian pertama Asfar, dipusatkan pada masalah ini, ia kembali lagi pada masalah ini dalam karya-karyanya yang lain, seperti Al-Syawahid Al-Rububiyyah, Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah, Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad, dan khususnya Kitab Al-Masya’ir yang merupakan ikhtisar terpenting subjek ini dalam tulisan-tulisannya.
Studi tentang Wujud
            Pada inti seluruh penjelasan filosofis Mullah Shadra terdapat pengalaman gnostik tentang Wujud sebagai Realitas. Pengalaman kita tentang dunia biasanya adalah pengalaman tentang sesuatu yang ada, pengalaman biasa inilah yang menjadi basis metafisikan Aristotelian yang didasarkan atas hal-hal yang ada (exitent, maujud). Namun, menurut Mulla Shadra, disini ada suatu visi yang di dalamnya ia melihat keseluruhan eksistensi bukan sebagai objek-objek yang wujud (exis) atau maujud-maujud (existens), melainkan sebagai realitas tunggal (wujud) yang karena dibatasi oleh berbagai kuiditas (mahiyyat) memunculkan suatu kemajemukan yang “ada” dengan berbagai maujud yang saling berdiri sendiri satu sama lain. Heidegger mengeluh bahwa metafisika Barat telah tersesat sejak zaman Aristoteles karena terlalu memfokuskan kajiannya pada yang maujud (das Seiende), meminjam kosa kata yang digunakannya, padahal subjek metafisika yang sebenarnya adalah eksistensi itu sendiri atau das Sein yang dengan studinya ia memulai suatu babak baru dalam pemikiran filsafat Barat. Sejauh filsafat Islam dikaji, pemisahan semacam itu telah dilakukan tiga abad sebelum Heidegger oleh Mulla Shadra, menurutnya ia telah menerima sebuah visi tentang realitas melalui inspirasi yang di dalamnya segala sesuatu itu tampak sebagai tindakan-tindakan eksistensi (wujud), bukan objek-objek yang ada (maujud). Perkembangan luas metafisika Shadra sesungguhnya didasarkan atas pengalaman dasar akan Realitas tersebut dan perbedaan-perbedaan konseptual selanjutnya yang dibuat atas dasar pengalaman tentang wujud ini adalah satu, bertingkat-tingkat, dan sejati.
            Mulla Shadra membedakan dengan tegas antara konsep tentang wujud (mafhum al-wujud) dan realitas wujud (haqiqat al-wujud). Pertama: adalah konsep terjelas dan paling mudah dipahami dari semua konsep, kedua: adalah paling terkabur dan tersulit, karena ia mensyaratkan persiapan mental ekstensif dan juga penyucian jiwa agar memungkinkan intelek yang berada dalam diri seseorang berfungsi sepenuhnya tanpa selubung-selubung nafsu, dan agar dapat melihat wujud sebagai Realitas. Itulah sebabnya mengapa salah seorang pengikutnya yang terkenal. Hajji Mulla Hadi Sabzawari, menulis dalam Syarh Al-Manzhumah yang merupakan rangkuman doktrin-doktrin gurunya. Berikut ini:
Gagasan tentang wujud adalah sesuatu yang sudah umum diketahui. Namun, realitas terdalamnya berada diujung ketersembunyiannya.
            Konsekuensi dari pengalaman gnostik tentang wujud adalah realisasi (kesadaran) akan kesatuannya, yang disebut sebagai wahdat al-wujud. Doktrin metafisika sufi yang mendasar ini dinisbatkan pada Ibn ‘Arabi. Sedangkan Ibn Sab’in berpendapat bahwa hanya Tuhan-lah yang riil dan tidak ada lainnya yang riil, interpretasi Ibn ‘Arabi melihat tatanan wujud nyata sebagai penampakan-penampakan (tajalliyyat) dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Tuhan pada cermin ketiadaan, Mulla Shadra memahami kesatuan wujud dalam hubungannya dengan kemajemukan eksistensi bagaikan cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri. Cahaya-cahaya matahari bukanlah matahari dan pada saat yang sama tidak lain, kecuali matahari. Dalam Asfar yang berisi sejarah filsafat Islam dan ajaran-ajarannya sendiri, Mulla Shadra menguraikan secara ekstensif berbagai pemahaman mengenai doktrin penting ini sebelum menjelaskan pemahamannya sendiri. Bagaimanapun, wahdat al-wujud adalah batu fondasi metafisika Shadrian, yang tanpa itu seluruh pandangan dunianya akan runtuh.
            Doktri lainnya adalah doktrin tasykiku al-wujud atau gradasi wujud. Wujud tidak hanya satu, tetapi merentang dalam suatu gradasi atau hierarki, dari wujud Tuhan hingga eksistensi sebutir pasir di pantai. Setiap tingkat wujud yang lebih tinggi mengandung semua realitas yang termanifestasi pada tingkat dibawahnya. Disini, Mulla Shadra mendasarkan diri pada doktrin Suhrawardian tentang deferensiasi (pembedaan) dan gradasi. Segala sesuatu dapat dibedakan satu sama lain melalui sesuatu yang menyatukan mereka, sebagaimana cahaya lilin dan cahaya matahari dipersatukan oleh cahaya, tetapi juga dibedakan satu sama lain oleh cahaya yang ada dalam dua benda itu berdasarkan perbedaan derajat intensitas masing-masing. Wujud adalah seperti cahaya tersebut dalam arti ia memiliki derajat intensitas, meskipun sebagai realitas tunggal. Karena itu, alam semesta dalam kemajemukannya yang luas bukan hanya satu dan menyatu, melainkan juga hierarkis. Kita barangkali dapat mengatakan bahwa Sahdr Al-Din menerima gagasan “mata rantai wujud” yang mempunyai riwayat hidup panjang di Barat sejak Aristoteles hingga abad ke-18 M, tetapi berdasarkan sudut pandang kesatuan wujud yang memberikan makna yang sama sekali berbeda pada doktrin tentang hierarki kosmik dan alam semesta.
            Pandangan tentang wujud di atas dilengkapi dengan prinsip ashalah al-wujud atau keutamaan eksistensi. Untuk memahami doktrin ini, pertama-tama kita perlu beralih ke perbedaan klasik dalam filsafat Islam antara eksistensi wujud dalam maknanya yang terkait dengan dunia yang majemuk dan mahiyyah atau kuiditas yang dalam bentuk orisinal Latinnya diturunkan langsung dari bahasa Arab, mahiyya. Semua objek tersusun dari dua komponen, pertama, yang berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan “apa?”, dan kedua, atas pertanyaan “bagaiman?”. Pertanyaan yang diajukan dalam filsafat Islam terkemudian, dan khususnya oleh Mulla Shadra, adalah manakah di antara kedua unsur ini yang lebih utama dan memberikan realitas kepada suatu objek. Guru Mulla Shadra sendiri, Mir Damad dan Suhrawardi, dianggap sebagai pengikut madzhab keutamaan kuiditas (ashalah al-mahiyyah), sementara itu Ibn Sina dipandang sebagai pengikut (ashalah al-wujud), walaupun dalam kasus Ibn Sina, doktrin ini mendapat makna yang sama sekali berbeda dengan makna yang terdapat dalam karya-karya Mulla Shadra karena Ibn Sina tidak percaya pada wahdat al-wujud.
            Betapapun, pada masa mudanya, Mulla Shadra , mengikuti pandangan Mir Damad, dan baru setelah pengalaman visioner dan gnostiknya ia mulai menyadari bahwa wujud-lah yang memberikan realitas kepada sesuatu dan bahwa mahiyyah secara literal bukan apa-apa dalam dirinya sendiri, melainkan diabstraksikan oleh akal dari keterbatasan-keterbatasan suatu tindakan tertentu wujud. Ketika kita mengatakan ada seekor kuda, dengan mengikuti akal sehat kita berpikir bahwa kuda itu adalah suatu dan realitas, apa yang kita pahami adalah tindakan tertentu wujud yang melalui fakta itulah ia tampak secara terbatas pada bentuk tertentu yang kita pahami sebagai kuda. Bagi orang-orang yang telah menyadari kebenaran tersebut, fakta bahwa seekor kuda itu ada kemudian ditransformasikan ke dalam realitas yang telah dimanifestasikan oleh tindakan wujud itu sendiri ke dalam suatu bentuk tertentu yang kita sebut kuda. Bentuk atau mahiyyah kuda tidak mempunyai realitas sendiri, tetapi mendapatkan semua realitasnya dari tindakan wujud.
            Jadi, realitas itu tak lain dan tak bukan adalah wujud, yang satu sekaligus bergradasi, yang mengeksistensiasikan realitas segala sesuatu. Metafisika Shadra sebenarnya dapat dipahami bukan hanya dengan memahami prinsip-prinsip ini, melainkan juga dengan memahami antar prinsip itu. Wujud bukan hayat satu, melainkan juga bergradasi. Dan wujud bukan hanya bergradasi, melainkan juga sejati, atau dengan kata lain, yang memberikan realitas kepada semua kuiditas, yang itu tidak memiliki realitas sama sekali dalam diri mereka. Bangunan metafisis raksasa yang diciptakan Shadra serta teologi, kosmologi, psikologi, dan eskatologinya semua bertumpu pada tiga prinsip wahdat al-wujud, tasykik al-wujud, dan ashalah al-wujud, hanya dari sudut pandang ketiga prinsip inilah doktrin-doktrin Shadra yang lain dapat dipahami.
Gerak Trans-Subtansial dan Penciptaan Dunia
            Salah satu doktrin Shadr Al-Din yang paling khas adalah gerak trans-subtansial (al-harakah al-jauhariyyah) yang menjadi basis penjelasannya tentang banyak maslah filsafat tradisional yang sangat sulit seperti penciptaan dunia dan semua makna “menjadi” dari sudut pandang Yang Maha Tetap dan Maha Kekal. Sebagaiman diketahui, para filosof Muslim sebelumnya, khususnya Ibn Sina, mengikuti filsafat alam Aristoteles dengan menerima gerak (al-harakah) hanya dalam kategori-kategori kuantita (kamm), kualita (kaif), situasi (wadh), dan ruang/tempat (‘ain), yang semuanya adalah aksident dan secara eksplisit menolak kemungkinan gerak dalam kategori substansi. Argument utama Ibn Sina adalah bahwa gerak mensyaratkan suatu objek yang bergerak, dan jika substansi suatu objek berubah melalui gerak trans-subtansial, maka tidak aka nada subjek bagi gerak.
            Shadr Al-Din menentang langsung tesis ini dengan mengatakan bahwa setiap perubahan aksident tidak mempunyai eksistensi yang bebas dari substansi. Ia menegaskan bahwa selalu ada “beberapa subjek” (maudlu’un ma) bagi gerak sekalipun kita tidak bisa menetapkan dan menentukannya berdasarkan logika. Mulla Shadra mengeskan bahwa seluruh alam fisik dan bahkan alam psikis atau khayali hingga arketipe yang tetap (al-a’yan al-tsabitah) atau bersinar terus bergerak atau berada dalam posisi menjadi. Sebab jika tidak demikian, emanasi (faidh) Wujud tidak mungkin menjangkau segala sesuatu. Walaupun demikian, gerak trans-subtansial ini, yang oleh Henry Corbin disebut l’inquietude de l’ietre yang menunjuk pada eksistensi alam semesta yang berada di bawah tingkat realitas-realitas intelijibel dan arketipe, tidak harus dikacaukan dengan penciptaan ulang dunia setiap saat sebagaimana diajarkan oleh para sufi. Dalam doktrin sufi, setiap saat alam semesta ini rusak dan diciptakan kembali. Bentuk-bentuk terdahulu kembali ke tatanan Ilahi dan bentuk-bentuk baru terjelma sebagai teofani. Itulah sebabnya mengapa doktrin ini baru disebut: berpakaian setelah menanggalkan bentuk-bentuk (al-labs ba’da al-hal ).
            Sebaiknya, doktrin Mulla Shadra disebut al-labs ba’da al-hal (maksudnya, berpakian setelah berpakian). Ini menunjukkan bahwa bentuk dan materi suatu maujud menjadi materi bagi bentuk yang baru dan bahwa proses berlangsung terus-menerus seakan-akan seseorang meletakkan sebuah lapisan di atas lapisan lainnya. Semua wujud di dunia ini bergerak secara vertikal sebagai akibat dari gerak trans-subtansial hingga wujud-wujud ini mencapai dataran realitas arketipe mereka. Sperma menjadi janin dan tumbuh menjadi bentuk bayi yang kemudian lahir dan terus berkembang dari satu bentuk ke bentuk yang lain sehingga mencapai kematangan penuh, kemudian tumbuh menjadi melemah justru ketika jiwa berkembang semakin kuat sampai seseorang meninggal dunia dan mencapai “dunia khayali” (maginal word) dan puncaknya kehadiran Ilahi. Setiap keadaan dari gerak trans-subtansial ini berlanjut terus sepanjang tahapan-tahapan tersebut.
            Perlu ditekankan di sini bahwa visi dinamika Mulla Shadra tentang dunia yang terus-menerus dalam proses menjdai, yang mengimplikasikan intensifikasi tindakan wujud berkelanjutan dalam suatu wujud tertentu, sama sekali tidak boleh dikacaukan dengan evolusi Darwinian. Bagi Shadr Al-Din, wujud-wujud di dunia ini merupakan manifestasi dari cahaya wujud yang memancar ke realitas-realitas arketipe mereka dan melalui pemancaran menurut (al-qaus al-nuzuli) menjelmakan berbagai ciptaan ke dalam alam maujud yang bersifat fisik. Gerak trans-subtansial menandai pancaran menaik (al-qaus al-su’udi) yang melaluinya intensitas cahaya wujud yang selalu meningkat memungkinkan eksisten kembali pada realitas-realitas arketipe mereka dalam alam samawi. Sementara itu, bagi Darwinisme, tidak ada hal-hal seperti itu karena realitas-realitas arketipe dan spesies-spesies, bukannya mencerminkan arketipe langit. Hanyalah bentuk-bentuk yang ditimbulkan oleh aliran materi dalam waktu. Lebih jauh, bagi evolusi, peran wujud, kesatuan, gradasi, dan kesejatiannya tidaklah bermakna, sedangkan bagi Shadr Al-Din, gerak trans-substansial itu bersifat teologis dan memainkan peran spiritual penting. Alam bergerak menuju kesempurnaan yang menjadi tujuan akhirnya, dan kemajuan spiritual manusia juga dicapai melalui pola gerak trans-substansial. Seorang wali bukan saja lebih sempurna dari-pada orang lain. Ia dikatakan lebih dari-pada orang lain dalam pengertian bahwa tindakan wujud dalam dirinya mempunyai derajat lebih intens dari-pada alam diri orang yang kurang sempurna. Karena itu, seperti dilakukan oleh sejumlah pemikir Muslim, modernis, jika al-harakah al-jauhariyyah disamakan dengan evolusi Darwinian.
            Doktrin gerak trans-substansial adalah kunci pemahaman banyak masalah menurut Mulla Shadra, termasuk masalah penciptaan dunia yang sudah diperdebatkan sepanjang delapan abad sebelumnya oleh para filosof dan teolog Islam. Seperti sudah banyak diketahui, falasifah meyakini bawa dunia tidak mempunyai permulaan dalam waktu, tetapi diciptakan diluar waktu oleh Tuhan. Karena itu dunia adalah kekal (qadim), sedangkan mutakllimun mengkalim bahwa dunia diciptakan dalam waktu (hadits). Persoalan diperbincangkan dalam banyak karya klasik pemikiran Islam seperti tahafut al-falasifah Al-Ghazalai. Para filosof mangkalim bahwa dunia diciptakan dalama waktu, itu berarti mensyaratkan perubahan dalam Zat Ilahi, dan itu mustahil karena Tuhan tidak berubah. Para teolog percaya bahwa jika dunia itu qadim, maka ada sesuatu yang kekal disamping Tuhan, dan itu tidak mungkin disebabkan oleh-Nya. Berbagai pemikir Islam mencoba untuk menyelesaikan maslah ini dengan beragam cara, termasuk guru Mulla Shadra sendiri, Mir Damad, yang tampil dengan gagasan al-huduts al-dahri, yang artinya adalah penciptaan dunia buka dalam waktu (zaman) dan juga dalam kekekalan (sarmad), malainkan dalam dahr atau aeon, dan ia dipuji karena penjelasannya mengenai doktrin ini.
            Shadr Al-Din menolak dikotomi pandangan ini dengan menunjuk pada doktrin gerak trans-subtansial. Jika kosmos berubah setiap saat, disetiap waktu proses menjadinya, ia berbeda dengan yang sebelumnya dan yang sekarang ada belum ada sebelumnya (masbuq bi al-adam). Karena itu, kita bisa menerima doktrin bahwa dunia diciptakan dari ketiadaan (ex nihilo) sembari menerima pelimpahan (faidh) berkesinambungan tanpa sela dari cahaya Wujud yang tak lain dan tak bukan adalah Cahaya Ilahi. Karena itu, ia mencoba memberikan penjelasan filosofis tentang salah satu masalah filsafat paling musykil bukan hanya dalam pemikiran Islam. Melainkan juga dalam pemikiran Yahudi dan Kristen.
Kesatuan ‘Aql dan Ma’qul
            Salah satu doktrin Shadr Al-Din yang juga terkait erat dengan metafisikanya, yaitu doktrin tentang kesatuan intelek dan intelijibel (ittihad al-‘aqil wa ma’qul). Doktrin ditandaskan oleh Abu Al-Hasan Al-Amiri pada abad ke-4 H/ke-10 M, tetapi ditolak sengit oleh Ibn Sina dan para filosof Muslim berikutnya. Namun, doktrin itu dihidupkan kembali oleh Shadr Al-Din dan diberi makna baru dalam koneks kesatuan wujud dan gerak trans-subtansial. Menurut Shadr Al-Din, pada saat intelek, bentuk intelijibel, pemilik intelek, dan bahkan intelek itu sendiri menyatu sehingga yang satu adalah juga yang lain selama tindakan inteleksi berlangsung.
            Doktrin ini bukan hanya penting bagi pengetahuan Shadr Al-Din, melainkan juga mempunyai seginifikansi besar untuk memahami peran pengetahuan dalam kesempurnaan manusia. Melalui gerak-gerak trans-substansial tindakan mengetahui akan meningkatkan derajat eksistensi orang yang mengetahui (al-’alim). Berdasarkan hadits Nabi: “pengetahuan adalah cahaya” (al-‘ilmu nur) merupakan suatu prinsip yang juga mendasar bagi pemikiran Shadr Al-Din. Kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui pada akhirnya mempunyai implikiasi kesatuan pengetahuan dengan wujud. Wujud manusia ditransformasikan melalui cahaya pengetahuan, tetapi modus wujud kita juga menentukan modus pengetahuan kita. Dalam hubungan timbal balik yang mendasar ini, akan ditemukan kunci signifikansi pengetahuan bagi Shadr Al-Din dan signifikansi gagasan bahwa pengetahuan mentransformasikan wujud kita bahkan ketika kita sudah meninggal. Tulisan-tulisan Shadr Al-Din sarat dengan berbagai penerapan doktrin ini dan ia kembali dan kembali lagi pada prinsip kesatuan wujud dan pengetahuan.


Dunua Imaginal dan Arketipe
Mulla Shadra menerima realitas arketipe (al-a’yan al-tsabitah atau al-mutsul al-nuriyyah) selaras dengan pandangan Suhrawardi dan bertentangan dengan klaim kaum Peripatetik Muslim, seperti Ibn Sina. Mulla Shadra banyak menawarkan banyak argument filosofis untuk menangkis pendapat-pendapat pihak yang menolaknya. Sebenarnya, tidak ada keraguan dalam pemikiran Mulla Sahdra mengenai peran utama yang dijelaskan oleh arketipe atau “gagasan-gagasan Platonik”, intelijibel-intelijibel murni yang termasuk dalam wilayah kekekalan yang oleh banyak orang dikacaukan dengan bentuk-bentuk dalam dunia imaginal yang meskipun berada di luar materi, ia masih ikut berpartisipasi dalam gerak dan menjadi dan trans-substansial. Yang terakhir ini memainkan peran sangat penting dalam “teosofi transendent” tanpa harus meniadakan sama sekali arketipe yang tak berubah atau “gagasan-gagasan” bersinar dalam pengertian Platonik.
            Melihat lenyapnya dunia Imaginal dalam filsafat Barat selama berabad-abad, perlu diselamatkan lebih dalam makna ‘alam al-khayal, mundus imaginalis, yang Sayyid H. Nasr dan Corbin terjemahkan dengan dunia imaginal dan bukab bukan dunia imaginer, mengingat istilah yang terakhir ini berkonotasi peyoratif dalam bahasa-bahasa Eropa modern. Hierarki wujud tradisional dalam arus utama dalam pemikiran Barat bertolak dari alam eksistensi material, lalu dunia psikis, dunia intelijibel atau malakuti dengan hierarkinya yang luas, dan akhirnya sampai kepaa Tuhan yang merupaakan Wujud Murni dan bagi sejumlah metafisikawan Barat, di Luar Wujud. Skema ini lebih kurang diikuti oleh para filosof Islam awal dengan penyesuaian-penyesuaian yang berhubungan dengan fakta bahwa mereka hidup dan berfilsafat di alam Islami, Suhrawardi adalah orang pertama yang berbicara tentang dunia imaginal, paling tidak dalam mikro-kosmos. Ia segera diikuti oleh Ibn ‘Arabi yang mengelaborasi tema ini dan memperluas pemahaman tentang dunia imaginal dengan menjadikannya sebagai pilar utama metafisikanya. Dari sini, dunia imaginal menjadi bagian dan bidang pemahaman tentang alam Islami yang tentang banyak sekali sufi dan filosof menulis risalah penting.
            Namun, Shadra-lah yang memberikan penjelasan sistematis dan filosofis mengenai dunia imaginal ini. Ia menambahkan pada pandangan Suharawardi bahwa dunia imaginal ini berhubungan dengan realitas mikro-kosmik manusia (khayali al-muttashil) dengan tesis bahwa dunia imaginal juga mempunyai dunia realitas makro-kosmik dan objektif yang mandiri dan terpisah dari manusia (khayal al-munfashil). Ia menandaskan bahwa dunia imaginal ini bahkan mempunyai realitas lebih besar dunia fisik. Namun, berkaitan dengan karakterisitiknya, ia merupakan dunia yang memiliki bentuk-bentuk yang disebut al-shuwar al-khayaliyyah (bentuk-bentuk imaginal) yang tidak terkait dengan materi, paling tidak dengan materi dari dunia fisik. Itulah sebabnya mengapa bentuk-bentuk disebut al-mutsul al-mu’allaqah (bentuk-bentuk yang menggantung). Meskipun demikian, bentuk-bentuk itu adalah bentuk-bentuk yang memiliki waran, bentuk, bau, aroma, dan hal lainnya yang berkaitan dengan bentuk-bentuk dunia ini. Dunial imaginal ini adalah dunia yang mempunyai realitas-realitas konkret, tetapi bukan realitas fisik, yang diidentikkan dengan kota-kota mitis Jabulqa dan Jabulsa, suatu dunia yang dapat dialami oleh para penyaksi dikehidupan ini dan suatu dunia yang dimasuki oleh manusia pada saat kematian. Ini adalah dunia tempat kita mempunyai raga-raga halus (subtil) atau imaginal (al-jism al-khayali) sebagaimana kita mempunyai raga fisik di dunia sekarang ini.
Eskatologi dan Kebangkitan
            Tak seorang-pun filosof Islam yang menangani masalah eskatologi dan kebangkitan (al-ma’ad) individu dan kosmos sesudah mati begitu terperinci sebagaimana Mulla Shadra. Buku keempat Asfar, yang sebagian besar berpijak pada ajaran Ibn ‘Arabi, merupakan jiwa (nafs) dari kelahirannya hingga pertemuan akhirnya dengan Tuhan, termasuk di dalamnya unsur-unsur yang berhubungan fenomenologi kematian. Jika kita hendak mencari sesuatu yang menyerupai Tibetan Book of Dead dalam sumber-sumber Islam, barangkali buku keempat Asfari ini bisa menjadi calon terbaik. Lebih jauh, Mulla Shadra banyak memberikan ruang dalam tulisan-tulisan utamnya yang lain, seperti Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad dan Al-Syawahid Al-Rububiyyah bagi subjek tersebut dan menulis risalah-risalah tersendiri yang dicurahkan hanya untuk subjek ini, seperti Risalah Al-Hasyr.
            Dengan menyandarkan diri sepenuhnya pada deskripsi Islam tradisonal tentang keadaan-keadaan setelah mati dan kejadian-kejadian eskatologis. Mulla Shadra mencoba menafsirkan istilah-istilah seperti Jembatan (Shirath). Timbangan (Mizan), dan keadaan-keadaan surga dan neraka dalam hubungannya dengan dunia imajinal. Semua kejadian ini berkaitan erat dengan kematian, pengadilan dan semacamnya seperti termaktub dalam Al-Quran dan Al-Hadits, yang terjadi di dunia imajinal ini, yang merupakan dunia antara (al-barzakh) yang berada diantara dunia fisik dan dunia substansi malakut atau substansi intelijibel. Lebih dari itu, dunia ini tersusun dari banyak alam antara (al-barzakh) yang merentang dari al-barzakh al-a’la atau antara alam-alam paling tinggi sampai al-barzakh al-asfal atau alam antara paling bawah. Yang tertinggi meliputi keadaan-keadaan surgawi, meskipun tetap bukan langit tertinggi, dan alam antara paling bawah meliputi keaadaan-keadaan neraka. Alam ini sesungguhnya juga merupakan sejenis persinggahan yang dilalui jiwa menuju kebahagiaan atau kutukan akhir.
            Mulla Shadra berbicara tentang doktrin yang mula-mula tampak agak aneh dan hanya dapat dipahami dari sudut pandang doktrin grak trans-subtansial. Ia mengklaim bahwa jiwa (nafs) itu diciptakan bersama raga, tetapi kemudian menjadi kekal dan spritual melalui ruh, atau menggunakan terminologinya sendiri, nafs atau jiwa adalah jasmaniyyah al-huduts wa ruhaniyyah al-baqa’. Pendakian vertikalnya melalui gerak trans-substansial kenyataannya tidak berhenti di dunia kini, tetapi terus berlanjut setelah mati karena jiwa mengarungi berbagai alam antara sesuai dengan jenis amalan yang telah dilakukan dan modus wujudnya di dunia kini.
            Dalam perdebatan sengit tentang apakah kebangkitan setelah mati itu bersifat spritual (ruhani) ataukah bersifat (jasmani). Mulla Shadra secara kategoris cenderung pada kebangkitan jasmani walaupun ia menyatakan bahwa, setelah mati, individu dikaruniai raga halus (al-jism al-lathif) yang banyak hal sesuai dengan gugusan bintang Paracelsus. Karena itu, setelah mati ia bukan hanya jiwa yang tidak beraga, melainkan mempunyai raga yang “teranyam” dari perbuatan-perbuatan yang telah diamalkan di dunia kini. Jiwa juga memasuki dunia yang sesuai dengan sifat batin-nya.
            Dalam satu pengertian, jiwa yang jahat memilih neraka karena sifat wujudnya saat kematian. Lebih jauh, realitas raga di dunia antara ini adalah bentuk dan bukan materi raga itu. Dalam kebangkitan terakhir, semua tingkat wujud seseorang terintegrasi, termasuk raga bentuk fisik, yang merupakan realitas raga, sehingga seseorang dapat menerima secara definitif kebangkitan jasmani seperti dinyatakan oleh Al-Quran dan Hadits dan pada saat yang sama memberikan demonstrasi (istidlal) intelektual tentangnya berdasarkan prinsip-prinsip umum metafisika Shadrian.
Pengetahuan Tuhan tentang Dunia
            Persoalan pelik lin yang dibahas oleh banyak filosof dan teolog Islam adalah masalah pengetahuan Tuhan tentang dunia. Al-Ghazali sebenarnya menilai pandangan kaum Peripatetik bahwa Tuhan hanya mengetahui yang universal dan tidak mengetahui yang partikular sebagai salah satu pandangan filosof yang bukan Cuma keliru, melainkan juga zindiq. Dalam Asfar-nya. Mulla Shadra membahas dan menolak tujuh pandangan berbeda dari para pemikir terdahulu berkenaan dengan perkara ini, sementara dalam Al-Syawahid Al-Rububiyyah, ia mengklaim bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu dalam cara khusus yang disingkapkan oleh Tuhan kepada dirinya, tetapi karena kompleksitas dan sulitnya dipahami oleh mayoritas manusia, ia merasa lebih arif untuk tidak mengungkapkan hal itu seluruhnya. Dalam tulisan-tulisan lainnya, termasuk salah satu suratnya yang ditujukan kepada gurunya Mir Damad, ia menegaskan bahwa ia telah memperoleh pengetahuan yang utuh tentang misteri besar ini melalui inspirasi (ilham), penyingkapan (kasyaf), dan “”keyakinan yang pasti (‘ain al-yaqin).
            Yang diungkapkan Shadra mengenai pengetahuan Tuhan tentang dunia didasarkan atas tesis bahwa ketika wujud tidak tercampur dengan non-eksistensi dan tidak terselubungi olehnya, maka ia memanifestasikan kepada dirinya dan tidak pernah hilang dari dirinya. Karena itu, esensi wujud ini mengetahui dirinya, dan esensinya adalah pengetahuan tentang dirinya dan objek yang diketahui oleh dirinya, karena cahaya wujud itu satu, maka tabir yang menutupi realitas sesuatu tidak lain hanyalah non-eksistensi.
            Dan karena Wujud Niscaya memiliki Esensi yang berada di luar komposisi dan kontingensi (kebergantungan), maka ia berada pada tingkat tertinggi untuk memahami dan dipahami, mengetahui dan diketahui. Ini berarti bahwa karena pada dasarnya hanya ada satu wujud yang merupakan wujud dari segala sesuatu, maka Esensi-Nya mengetahui segala wujud yang ada dan tidak ada sebutir atom pun yang tidak diketahui oleh-Nya sebagaimana ditandaskan oleh Al-Quran. Kehadiran atau keberadaan Esensi Ilahi pada diri-Nya sendiri tak lain tak bukan adalah wujud segala sesuatu. Pengetahuan Tuhan tentang maujud-maujud merupakan sebab eksistensi mereka.
            Mulla Shadra juga menegaskan bahwa pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu mempunyai hierarkinya sendiri. Yang pertama: adalah tingkat pemeliharaan (al-‘inayah), yaitu pengetahuan-Nya tentang sesuatu pada tingkat esensi-Nya sendiri. Tingkat kedua: adalah tingkat ketetapan global (al-qadla’ al-ijmali) yang diinterpretasikan sebagai pena (Al-Qalam). Tentang bentuk-bentuk yang diwujudkan oleh Qalam, subsistensinya adalah subsistensi dengan kemunculan (al-qiyam al-shuduri) karena Qalam mempunyai kekuasaan penuh atas semua bentuk yang berada di bawahnya. Tingkat ketiga: adalah lembaran (al-lauh), yang juga disebut ketetapan terpilah-pilah (al-qadla’ al-tafshili), yang mengandung arketipe dan ide-ide Platonik, dan hubungan mereka dengan bentuk-bentuk di dunia adalah prinsip-prinsip bagi cerminan. Tingkat keempat: adalah ketentuan melalui pengetahuan (al-qadlar al-‘ilmi) yang terdiri dari dunia imajinal dan bentuk-bentuk menggantung yang dibahas di atas tadi. Tingkat kelima: adalah ketentuan melalui objektifitas (al-qadar al-‘aini), yang terdiri atas bentuk-bentuk yang ada dalam dunia fisik. Mulla Shadra menganggap tingkat terakhir ini berada di bawah tingkat pengetahuan Ilahi langsung karena menandai percampuran antara bentuk-bentuk dan materi. Namun, secara tak langsung ini merupakan subjek pengetahuan Ilahi karena prinsip-prinsip dari bentuk-bentuk ini termasuk dalam dunia-dunia di atasnya, yang diketahui Tuhan dalam pengertian mutlak dan langsung. Lebih jauh, setiap tingkat yang disebutkan Mulla Shadra itu mempunyai wujud yang memberinya realitas, dan menurut argument yang diberikan tadi, karena hanya ada satu wujud sebagaimana ditandaskan oleh doktrin wahdat al-wujud, Tuhan mengetahui semua maujud berdasarkan pengetahuan-Nya tentang esensi-Nya sendiri yang tak lain dan tak bukan adalah wujud mutlak.
Beberapa Prinsip Ajaran Mulla Shadra lainnya
            Ada sejumlah prinsip lain yang dijelaskan oleh Mulla Shadra dan unsur-unsur yang mendasari “teosofi transenden”. Sebenarnya, jika kaum Muslim hanya mewarisi sekitar dua ratus topik dari filsafat Yunani, Shadra membahas lebih dari enam ratus topik. Sebagian besar diantara topik-topik diambil dari pertalian lebih jauh antara filsafat dan wahyu Islam, dan sisanya hasil renungan filosofis dan teosofis terhadap ucapan para Imam Syi’ah di samping Al-Quran dan Hadits. Di sini, karena keterbatasan ruang, hanya akan disinggung dua dari prinsip-prinsip yang terkenal ini, yang belum dibahas sebelumnya. Yang pertama: adalah tesis termasyhur bahwa kebenaran dalam ketunggalan/kesederhanaannya meliputi segala hal (basith al-haqiqah kull al-asyya’) yang merupakan akibat langsung dari kesatuan dan kesejatian wujud. Dengan prinsip ini, yang Mulla Shadra maksudkan adalah bahwa kebenaran (al-haqiqah) dalam keadaan yang betul-betul sederhana/tunggal dan belum tercampur dengan kuiditas (al-mahiyyah), yakni Wujud Murni, meliputi segala sesuatu karena realitas sesuatu adalah eksistensi mereka, dan Wujud Murni adalah sumber semua wujud dan, karena itu, meliputi realitas segala sesuatu. Mulla Shadra menggunakan prinsip ini dalam banyak tulisannya untuk memecahkan sebagian masalah termuskil filsafat.
            Prinsip terkenal lainnya, yaitu: jiwa kesatuannya mencakup semua fakultas (al-nafs wahdatihi kull al-quwa). Prinsip ini juga merupakan konskuensi dari ontologinya dan doktrinnya tentang gerak trans-substansial. Ini berarti bahwa sebagai fakultas yang dimiliki jiwa tidaklah seperti aksiden-aksiden yang ditambahkan pada substansi jiwa tersebut. Namun, jiwa itu mencakup tiap-tiap fakultasnya ketika ia menyatukan diri dengan fungsi ini atau itu yang terkait dengan fakultas tertentu. Itulah sebabnya mengapa penyempurnaan setiap fakultas mempengaruhi jiwa itu sendiri dalam kesatuannya, dan kesempurnaan jiwa melalui gerak trans-substansial juga mempengaruhi fakultas-fakultasnya. Ini juga menekankan kesatuan jiwa di atas dan melampaui apa yang kita jumpai dalam psikologi fakultas kaum Peripatetik.
            Banyak juga topik lama dalam filsafat berubah sama sekali dilihat dari sudut pandang metafisika Shadrian. Contohnya adalah soal kausalitas (al’illah wa al-ma’lul dan illiyah). Mulla Shadra menerima doktrin Aristotelian tentang empat sebab dan komentar-komentar  atas doktrin itu oelh Ibn Sina dan para filosof Islam lain sebelumnya, tetapi mengubahnya sama sekali dengan melihat hubungan antara sebab dan akibat dari sudut pandang doktrin keutamaan wujud. Karena itu, ia menggabungkan sebab-sebab horizontal dan vertikal dan pembahasannya terhadap gnostik (‘irfan)-nya yang paling mengagumkan. Untuk mengkaji pikiran maupun hati, dan yang secara praktis dapat membimbing orang yang paham dan mempunyai simpati terhadap gnosis dan kebijaksanaan menuju keadaan ekstase. Ada sejumlah prinsip lainnya yang dirombak oleh metafisika Shadrian yang tak mungkin kita bicarakan di sini karena keterbatasan ruang. Apa yang dipaparkan di sini hanya sebagai contoh.
Tafsir-Tafsir Al-Quran Mulla Shadra
            Tak seorang pun filosof sepanjang sejarah filsafat Islam yang memberikan perhatian begitu besar pada Al-Quran sebagai sumber pengetahuan filosofis dan teosofis, dan banyak penulis tafsir Al-Quran seperti yang dilakukan Mulla Shadra. Tafsir-tafsir Al-Quran Mulla Shadra merupakan kelanjutan dari “teosofi transendent” dan teosofi transcendent-nya merupakan hasil perkembangan dari makna batin Al-Quran sebagaimana dipahami Mulla Shadra, yang tak henti-hentinya menegaskan keselarasan antara wahyu dan intelek. Ia menegaskan bahwa intelek, yang darinya akal merupakan refleksi atas tataran mental, adalah nabi batin kemanusiaan yang memanifestasikan diri hanya pada orang yang dalam bahasa Al-Quran, “mendalam pengetahuan” (al-rasikhun fi al-‘ilmi).
            Mulla Shadra menulis tafsir atas sejumlah surat dan ayat Al-Quran, seperti Al-Fatihah, Al-Baqarah ayat Al-Aursy, Al-Nur, Al-Sajadah, Ya Sin, Al-Waqi’ah, Al-Hadid, Al-Jumu’ah, al-‘A’la, Al-Thariq dan Al-Zalzalah. Lebih jauh, ia menulis sejumlah karya berkenaan dengan ilmu tafsir Al-Quran, antara lain Asror Al-Ayat, yang membahas secara panjang lebar khususnya persoalan-persoalan eskatologis seperti yang disebutkan Al-Quran: Mutasyabihat Al-Quran, yang meneliti ayat-ayat Al-Quran yang makna lahirnya kurang jelas dibandingkan ayat-ayat Muhkamat yang makna lahirnya cukup jelas dan tegas, dan Mafatih Al-Ghaib, yang merupakan salah satu karya kepentingannya yang di dalamnya ia mengulas metode tafsir Al-Qurannya.
            Shadr Al-Din membedakan antara para penafsir yang hanya melihat makna lahir atau eksoteris Al-Quran dan mereka yang diibaratkan seperti orang yang hanya melihat kulit kacang dan mengabaikan biji di dalamnya, dengan orang yang hanya memberikan perhatian pada apa yang dianggap sebagai makna batin atau esoteric tersebut dan menyatakan bahwa jika hanya ada satu pilihan, ia lebih menyukai tafsir eksoteris karena ia paling tidak menjaga dan memelihara wadah lahir wahyu. Namun, metode terbaik komentar Al-Quran, adalah metode yang membahas makna esoteric tanpa bertentangan dengan pengertian eksoteris kata-kata Al-Quran sebagai mana dipahami oleh kaum Muslim. Ia menambahkan bahwa hanya orang-orang yang oleh Al-Quran disebut “mendalam dalam pengetahuan” (al-rasikuhn fi al-‘ilmi), yang menerima pengetahuan melalui inspirasi Ilahi tanpa secercah keraguan dalam pikiran dan hatinyalah yang berhak menjalankan hermeneutika spiritual (ta’wil) atas firman Tuhan.
            Mulla Sahdra menilai Al-Quran sama dengan Wujud itu sendiri, Wujud, seperti Al-Quran, sebagaimana Al-Quran mempunyai (huruf-huruf) yang merupakan “kunci-kunci menuju ghaib” dan dari gabungan huruf terbentuklah ayat-ayat dan dari ayat-ayat tersusun surat-surat Kitab Suci. Selanjutnya, dari kombinasi surat dihasilkan “kitab wujud” yang memanifestasikan diri dalam dua cara: sebagai pembeda (al-furqan), dan bacaan (al-quran), kedua istilah ini merupakan Al-Quran. Aspek furqani kitab suci adalah makrokosmos dengan segala keragamannya, sedangkan aspek qurani-nya adalah realitas spiritual dan arketipe manusia atau yang umum disebut manusia universal/sempurna (al-insan al-kamil). Oleh karena itu, kunci-kunci menuju dunia ghaib, sejauh Al-Quran dikaji, juga merupaka kunci-kunci bagi pemahaman akan dimensi tak tampak dari dunia eksistensi eksternal dan wujud batin manusia dan sebaliknya. Tafsir-tafsir Al-Quran Mulla Shadra menempati kedudukan tinggi dalam tarikh tafsir Al-Quran dan juga dalam hermeneutika filosofis atau sebuah teks suci, dan, sayangnya, tidak banyak perhatian diberikan terhadapnya dalam lingkungan akademik, terutama di Indonesia.
Pengaruh Mulla Shadra
            Sintesis besar yang dibangun oleh Mulla Shadra mempunyai pengaruh mendalam terhadap pemikiran Persia, India, serta Irak, tidak benar bila pemikirannya dinggap mendominasi seluruh lingkungan filsafat di Persia, karena tidak sedikit yang menentang pemikirannya hingga sekarang, tetapi ia justru mempunyai pengaruh sangat penting terhadap dunia intelektual di Persia selama tiga setengah abad terakhir. Pudar sesaat paska kematiannya karena kondisi politik yang tidak bersahabat, “teosofi transendent ” bangkit kembali selama periode Qajar baik di Ishfahan, pusat filsafat Islam yang lebih tua, maupun Teheran, yang sekarang menjadi pusat studi ‘ilmu hikmah. Mula-mula dibangkitkan kembali oleh para guru agung dari Ishfahan, yaitu Mulla ‘Ali Nuri dan Mulla Isma’il Khwaju’I, hikmah ini kemudian dilanjutkan oleh para ahli Khurasan dan Mulla Ali Mudarris di Teheran. Mereka banyak mengikuti alurMulla Shadra walaupun mereka kemudian lebih banyak menulis dalam bahasa Persia daripada Arab sesuai dengan kecendrungan umum masa itu yang menjadi saksi kebangkitan kembali bahasa Persia filosofis. Tradisi ini terus berkesinambungan sampai hari ini sehingga sebagian besar pelajar yang mengkaji subjek-subjek Islam di madrasah-madrasah tradisonal, khususnya di Qum, dan orang-orang yang berminat pada “ilmu-limu intelektual” (al-‘ulum al-‘aqliyyah), adalah pengikut Mulla Shadra.
            Di India pengaruh Mulla Shadra muncul sejak pertengahan abad ke-11 H/ke-17 M tidak lama setelah kematiannya. Tulisan-tulisannya, terutama Syarh Al-Hidayah, beredar luas, bahkan buku asli tulisan Abhari pun mulai disebut Shadra: orang merasa terhormat, jika mengatakan bahwa mereka telah mempelajari Shara. Tradisi ini mempengaruhi banyak figur terkemudian dan bertahan sampai hari ini. Menarik disebutkan bahwa Maulana Maududi, pendiri Jama’at Al-Islam Pakistan dan India, pendiri salah satu gerakan polotik keagamaan sangat penting di Dunia Islam abad ke-14 H/ke20 M, menerjemahkan bagian-bagian tertentu Asfar ke dalam bahasa Urdu pada masa mudanya. Di Irak, pimikiran Mulla Shadra terus diajarkan selama tiga abad terakhir terutama di pusat-pusat pendidikan Syi’ah, seperti di Najaf, salah seorang pemikir Islam termasyhur abad ke-14 H/ke-20 M, Muhammad Baqir Al-Shadr, memperlihatkan pengaruh Mulla Shadra atas para ulama Irak kontemporer yang mempunyai kecendrungan pada filsafat.
            Implikasinya, menarik untuk dicatat bahwa kebangkitan kembali filsafat Islam di Iran selama periode Pahlavi, khususnya sejak 1950-an ke belakang bahkan di lingkaran-lingkaran semi modern, berkisar seputar figur Mulla Shadra. Banyak karyanya sudah disunting dan dicetak dalam lima puluh tahun terakhir ini. Di samping itu, telah banyak pula dilakukan analisis atas “teososfi transendent” dalam bahasa Persia dan Arab. Pada saat yang sama, Mulla Shadra kini telah diperkenalkan di Barat dan bagian-bagian lain dunia non Islam oleh sejumlah sarjana, seperti Henry Corbin, Toshihiko Izutsu, S. H. Nasr, dan Mehdi Mohaghegh, di Indonesia oleh kelompok pemikir Syi’ah, terutama Jalaluddin Rachmat. Hasilnya, sekarang ini banyak minat pada karya-karyanya bi Barat dan juga bagian-bagian lain dibelahan Dunia Islam, seperti nagara Arab, Turki, Indonesia, dan Malaysia yang semula tidak menunjukkan minat besar kepada para filosofis Islam terkemudian umumnya dan Mulla Shadra khususnya belakangan ini. Lebih dari itu, seluruh dunia telah banyak disusun tentangnya dan mazhabnya. Bagaimanapun Mulla Shadra bukan hanya salah satu sosok intelektual terbesar sejarah Islam, melainkan pemikirannya merupakan bagian dari Dunia Islam kontemporer dan terus memberikan pengaruh atas banyak aspek pemikiran Islam yang ada, khususnya filsafat, teologi, dan teososfi.






















Daftar Pustaka


[1] . Rakhmat, Jalaluddin dan Morris, James Winston, (2004), Kearifan Puncak. Pustaka Pelajar
[2] . Ibid
[3] .
[4] .
[5] .
[6].
[7] .
[8].
[9] .
[10] .
[11] .
[12] .
[13] .
[14] .
[15] .
[16] .
[17] .
[18] .
[19] .
[20] .