KUPANGGIL NAMAMU
Sambil menyeberangi sepi
Kupanggil namamu, wanitaku.
Apakah kau tak mendengarku ?
Malam yang berkeluh kesah
Memeluk jiwaku yang payah
Yang resah
Karna memberontak terhadap rumah
Memberontak terhadap adat yang latah
Dan akhirnya tergoda cakrawala.
Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu
Yang kini sudah kulupa.
Sia-sia.
Tak ada yang bisa kujangkau.
Sempurnalah kesepianku.
Angin pemberontakan
Menyerang langit dan bumi.
Dan dua belas ekor serigala
Muncul dari masa silam
Merobek-robek hatiku yang celaka.
Berulang kali kupanggil namamu
Dimanakah engkau, wanitaku ?
Apakah engkau juga menjadi masa silamku ?
Kupanggili namamu.
Kupanggili namamu.
Karna engkau rumah dilembah.
Dan Tuhan ?
Tuhan adalah seniman tak terduga
Yang selalu sebagai sediakala
Hanya memperdulikan hal yang besar saja.
Seribu jari dari masa silam.
Menuding kepadaku.
Tidak.
Aku tak bisa kembali.
Sambil terus memanggili namamu
Amarah pemberontakanku yang suci
Bangkit dengan perkasa malam ini
Dan menghamburkan diri kecakrawala
Yang sebagai gadis telanjang
Membukakan diri padaku
Penuh.
Dan perawan.
Keheningan sesudah itu
Sebagai telaga besar yang beku
Dan akupun beku di tepinya.
Wajahku. Lihatlah, wajahku.
Terkaca dikeheningan.
Berdarah dan luka-luka
Dicakar masa silam ku.
KEPADA M G
Engkau masuk kedalam hidupku
Disaat yang rawan.
Aku masuk kedalam hidupmu
Disaat engkau bagai kuda
Beringas
Butuh kan padang.
(Dan kau lupa siapa nama mertuamu)
Kenapa bertanya apa makna kita berdekapan ?
Engkau melenguh waktu dadamu kugenggam.
Duka yang tidur dengan birahi
Telah beranak dan berbiak.
Ranjang basah oleh keringatmu
Dan sungguh aku katakan :
Engkau belut bagiku.
Adapun maknanya :
Meski kukenal segala liku tubuhmu
Sukmamu luput dari genggaman.
Telah kurenggut engkau
Dari kehampaanmu
Dari alkohol kota New York
Dari fantasi lampu-lampu neon
Dan dari pertanyaan-pertanyaanmu
Yang lesu naik turun elevator.
Engkau ku seret
Kulekapkan pada kerawananku
Pada kemuakanku terhadap lapar
Pada filsafat pemberontakanku
Pada sangsiku.
Astaga, rambutmu yang blonda
Sungguh asing
Dan membawa gairah baru padaku.
Sebagai bajingan
Aku telah kau terima.
Engkau telah menyerah.
Sebagai perahu kaubawa aku
Mengarungi udara yang gelisah
Dan tubuhmu yang menggelombang.
Hidup telah hidup dan menggeliat.
Waktu gemetar dalam ruang yang gemetar.
Ketika bibirmu mengering dan memutih
Dan kuku-kuku jari-jarimu menekan pundakku
Kupejamkan mataku.
Hidupku dan hidupmu
Tidak berubah karenanya.
Maing-masing punya cakrawala berbeda.
Masing-masing punya teka-teki sendiri
Yang berulang kali menggayang nya.
NYANYIAN DUNIAWI
Ketika bulan tidur dikasur tua
Gadis itu kucumbu dikebun mangga.
Hatinya liar dan brahi
Lapar dahaga ia injak kaki nya.
Didalam kemelaratan kami berjamahan.
Didalam remang-remang dan bayang-banyang
Menderu daerah pemberontakan kami.
Dan gelaknya yang angkuh
Membuat hatiku gembira.
Didalam banyangan pohon-pohon
Tubuh nya bercahaya
Bagaikan kidjang kencana.
Susunya belum selesai tumbuh
Bagaikan kidjang kencana.
Susunya belum selesai tumbuh
Bagai buah setengah matang.
Bau tubuh nya murni
Bagaikan bau rumputan.
Kudekap ia
Bagaikan kudekap hidup dan matiku.
Dan nafasnya yang cepat
Ia bisikkan ketelingaku.
Betapa ia kagum
Pada bianglala
Yang muncul dari mata terpejam.
Maka para leluhur yang purba
Muncul dari pusat kegelapan
Datang mendekat
Dengan pakaian compang-camping
Dan mereka berjongkok
Menonton kami.
NYANYIAN SUTO UNTUK FATIMAH
Duapuluh tiga matahari
Bangkit dari pundakmu.
Tubuhmu menguapkan bau tanah
Dan menyalalah sukmaku.
Langit bagai kain tetoron yang biru
Terbentang
Berkilat dan berkilauan
Menantang jendela kalbu yang berduka cita.
Rohku dan rohmu
Bagaikan proton dan elektron
Bergolak
Bergolak
Dibawah duapuluhtiga matahari.
Dua puluh tiga matahari
Membakar duka citaku.
NYANYIAN FATIMA UNTUK SUTO
Kelambu ranjangku tersingkap
Dibantal berenda tergolek nasibku.
Apabila firmanmu terucap
Masuklah kalbuku kedalam kalbumu.
Sedu sedan mengetuk tingkapku
Dari bumi dibawah rumpun mawar.
Waktu lahir kau telanjang dan tak tahu
Tapi hidup bukanlah tawar menawar.
BLUES UNTUK BONNIE
Kota boston lusuh dan layu
Karna angin santer , udara jelek,
Dan dalam larut yang celaka.
Di dalam cafe itu
Seorang penyanyi negro tua
Bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh pasang laki dan wanita
Berdusta dan bercintaan didalam gelap
Mengepulkan asap rokok kelabu,
Seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.
Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
Lagu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
Di sana gubuk-gubuk kaum negro.
Atap-atap yang bocor.
Cacing tanah dan pellagra.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Orang-orang berhenti bicara.
Dalam cafe tak ada suara.
Kecuali angin menggetarkan kaca jendela.
Georgia.
Dengan mata terpejam
Si negro menegur sepi.
Dan sepi menjawab
Dengan sebuah tendangan jitu
Tepat di perutnya.
Maka dalam blingsatan
Ia bertingkah bagai gorilla.
Gorilla tua yang bongkok
Meraung-raung.
Sembari jari-jari galak digitarnya
Mencakar dan mencakar
Menggaruki rasa gatal dipundaknya.
Georgia .
Tak ada lagi tamu baru.
Udara diluar jekut.
Anginnya tambah santer.
Dan di hotel
Menunggu ranjang yang dingin.
Srenta dilihat muka majikan cafe jadi kecut
Lantaran malam yang bangkrut
Negro itu menengadah.
Lehernya tegang.
Matanya kering dan merah
Menatap ke surga.
Dan surga.
Melemparkan sebuah jala
Yang menyergap tubuhnya.
Bagai ikan hitam
Ia menggelepar dalam jala.
Jumpalitan
Dan sia-sia.
Marah
Terhina
Dan sia-sia.
Angin bertalu-talu di alun-alun boston.
Bersuit-suit di menara gereja-gereja.
Sehingga malam koyak moyak.
Si negro menghentakkan kakinya.
Menyanyikan kutuk dan serapah.
Giginya putih berkilatan
Meringis dalam dendam.
Bagai batu lumutan
Wajahnya kotor, basah dan tua.
Maka waktu bagaikan air bah
Melanda sukmanya yang lelah.
Sedang ditengah-tengah itu semua
Ia rasa sentakan yang hebat
Pada kakinya.
Kaget
Hampir-hampir tak percaya
Ia merasa
Encok yang pertama
Menyerang lututnya.
Menuruti adat pertunjukan
Dengan kalem ia menahan kaget.
Pelan-pelan berhenti.
Pelan-pelan duduk dikursi.
Seperti guci retak
Ditoko tukang loak.
Baru setelah menarik nafas panjang
Ia kembali menyanyi.
Georgia.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Istrinya masih disana
Setia tapi merana
Anak-anak negro bermain diselokan
Tak krasan sekolah.
Yang tua-tua jadi pemabok dan pembual
Banyak hutangnya.
Dan dihari minggu
Mereka pergi kegereja yang khusus untuk negro
Disana bernyanyi
Terpesona pada harapan akhirat
Karna didunia mereka tak berdaya.
Georgia.
Lumpur yang lekat disepatu.
Gubug-gubug yang kurang jendela.
Duka dan dunia
Sama-sama telah tua.
Sorga dan neraka
Keduanya usang pula.
Dan georgia ?
Ya, tuhan
Setelah begitu jauh melarikan diri,
Masih juga georgia menguntitnya.
RICK DARI CORONA
(Di queens plaza
Distasiun trem bawah tanah
Ada tulisan di satu tembok :
“Rick dari corona telah disini.
Dimana engkau, betsy ? ”)
Ya.
Rick dari corona telah disini.
Dimana engkau, betsy ?
-Akulah betsy
Ini aku disini.
Betsy wong dari jamaica.
Kakek buyutku dari hongkong.
Suamiku penjaga elevator
Pedro gonzales dari puertorico
Suka mabuk dan suka berdusta.
Kalau ingin ketemu, telfon saja aku.
Pagi hari aku kerja dipabrik roti
Selasa dan kamis sore
Aku miliknya mickey ragolsky
Si kakek polandia
Yang membayar sewa kamarku.
Cobalah telfon hari rabu.
Jangan kuatirkan suamiku.
Ia akan pura-pura tak tahu .
O, ya, sebelum lupa :
Dua puluh dolar ongkosnya .
Betsy ku bersih dan putih sekali
Lunak dan halus bagaikan karet busa.
Rambutnya mewah tergerai
Bagai berkas benang-benang rayon warna mas.
Dan kakinya sempurna.
Singsat dan licin
Bagaikan ikan salmon.
(Rick dari corona
Di perut kota new york
Memandang kanan kiri
Sambil minum jeruk soda).
Betsy.
Dimana engkau, betsy ?
-ini, betsy hudson disini.
Aku merindukan alam hijau
Tapi benci agraria.
Aku percaya pada dongeng aneka ragam.
Aku percaya pada benua atlantis.
Dan juga percaya bahwa hidup di bulan
Lebih baik dari hidup dibumi.
Pada politik aku tak percaya.
Namaku betsy.
Memang.
Tapi kita tak mungkin ketemu
Siang hari aku kerja jadi akuntan.
Malam hari aku suka nulis buku harian.
Untuk merias diri.
Memelihara rambut dan kuku
Telah pula memakan waktu.
Namaku betsy.
Cantik.
Aku suka telanjang didepan kaca.
Aku benci lelaki.
(dengan mobil sport dari inggris
Rick dari corona
Mengitari kota new york
Berkaca mata hitam sekali.
Melanggar aturan lalu lintas
Ia di stop polisi
Sambil masih mimpi siang hari).
Betsy gemerlapan bagai lampu-lampu broadway.
Betsy terbang dengan indah.
Bau minyak wanginya menidurkan new york
Dan selalu sesudah itu
Aku diselimutinya
Dengan selimut katun
Yang ditenunnya sendiri
Betsy, dimana engkau, betsy.
-Disini, bodoh !
Kau selalu tak mendengarkan aku, ricky !
Kau selalu menciptakan kekusutan.
Sepatu tak pernah kau letakkan pada raknya.
Selalu kau pakai dasi yang kacau warnanya.
Berapa kali pula kau kau ku peringatkan
Kalau tidur jangan mendengkur.
Itu barbar.
Dan, ricky !
Kau harus belajar makan sup yang lebih sopan !
(New york mengangkang.
Keras dan angkuh.
Semen dan baja.
Dingin dan teguh.
Adapun ditengah-tengah cahaya lampu gemerlapan
Terdengar musik gelisah
Yang tentu saja
Tak berarti apa-apa).
Rick dari corona telah disini.
Ya . ya.
Betsy , engkau dimana ?
-Rick, sayang , aku disini.
Ya.ya.
+Engkau hitam.
Engkau bukan betsy.
Engkau macam negro dari harlem.
-Pegang pinggulku.
Rasakan betapa lunak dan penuhnya.
Namaku betsy. Ya . ya.
+Gadisku selalu menjawab dengan sabar
Segala pertayaanku
yang bodoh dan sangsi.
-Aku betsy karena aku negro.
Karna aku negro
Aku adalah tanggung jawabmu.
Ya. Namaku , betsy.
Telah kuputuskan namaku betsy
+Apyun. Apyun.
Aku hasratkan pengalaman mistis.
Aku ingin melukis tubuh mu telanjang
Sambil kuhisap mariyuana.
-Rick, sayang, engkau akan kuninabobokkan.
Dan bagai bayi akan kau puja tetekku.
+Dari queens . dari brooklyn. Dan dari manhattan. . .
-Ricky, sayang, garudaku sayang.
+Sebab irama combo, sebab buaian saxophone. . .
-Pejamkan matamu.
Dan bagaikan banyo
Mainkanlah aku.
(Diharlem, manhattan, new york
Dimana orang tinggal penuh sesak
Dimana udara bau air kencing dan sampah
Di musim panas dengan udara sembilan puluh lima drajat
Para negro menari watusi ditepi jalan
Dan pada drajat keseratus dua
Terjadi perkelahian antara mereka).
Hallo. Hallo.
Disini Rick dari corona.
Dan betsy juga disini. . .
Hallo, dokter.
Kami harus disuntik sekarang juga.
Kami kena raja singa.
KESAKSIAN TAHUN 1967
Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja
Kaca dan tambang-tambang yang menderu.
Bumi bakal tidak lagi perawan,
Tergarap dan terbuka
Sebagai lonte yang merdeka.
Mimpi yang kita kejar, mimpi platina berkilatan.
Dunia yang kita injak , dunia kemelaratan.
Keadaan yang menyekap kita, rahang srigala yang menganga.
Nasib kita melayang seperti awan,
Menantang dan menertawakan kita,
Menjadi kabut dalam tidur malam,
Menjadi surya dalam kerja siangnya.
Kita akan mati dalam teka-teki nasib ini
Dengan tangan-tangan yang angkuh dan terkepal
Tangan-tangan yang memberontak dan bekerja.
Tangan-tangan yang mengoyak sampul kramat
Dan membuka lipatan surat suci
Yang tulisannya ruwet tak bisa dibaca.
PEMANDANGAN SENJAKALA
Senja yang basah meredakan hutan yang terbakar.
Kelelawar-kelelawar raksasa datang dari langit kelabu tua.
Bau mesiu di udara. Bau mayat. Bau kotoran kuda .
Sekelompok anjing liar
Memakan beratus ribu tubuh manusia
Yang mati dan yang setengah mati.
Dan diantara kayu-kayu hutan yang hangus
Genangan darah menjadi satu danau.
Luas dan tenang . agak jingga merahnya.
Dua puluh malaikat turun dari sorga
Mensucikan yang sedang sekarat
Tapi dibumi mereka disergap kelelawar-kelelawar raksasa
Yang lalu memperkosa mereka.
Angin yang sejuk bertiup sepoi-sepoi basah
Menggerakkan rambut mayat-mayat
Membuat lingkaran-lingkaran dipermukaan danau darah
Dan menggairahkan syahwat para malaikat dan kelelawar.
Ya, saudara-saudaraku,
Aku tahu inilah pemandangan yang memuaskan hatimu
Karna begitu asyik
kau telah menciptkannya.
BERSATULAH PELACUR-PELACUR KOTA JAKARTA
Pelacur-pelacur kota jakarta
Dari kelas tinggi dan kelas rendah
Telah diganyang
Telah diharu biru.
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu.
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan.
Tapi jangan kau kelewat putus asa.
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban.
Wahai pelacur-pelacur kota jakarta
Sekarang bangkitlah.
Sanggul kembali rambutmu
Karna setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan.
Karna :
Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
Tapi jangan kau rela dibikin korban.
Sarinah.
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil kekantor mentri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu.
Dan kau, dasima
Kabarkan kepada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu.
Ototnya keburu tak berdaya.
Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi.
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian.
Kalian tak pernah bisa bilang “tidak”
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja.
Ijasah sekolah tanpa guna.
Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha.
Sedang diluar pemerintahan
Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada. . .
Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa.
Mereka berjuang untuk surga
Dan tidak untuk bumi.
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya.
Kalian adalah sebagian kaum penganggur
Yang mereka ciptakan.
Namun
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kau kelewat putus asa
Dan kau rela dibikin korban.
Pelacur-pelacur kota jakarta.
Berhentilah tersipu-sipu.
Ketika kubaca dikoran
Bagaimana badut-badut menggayang kalian
Menuduh kalian sumber bencana negara
Aku jadi murka
Kalian adalah temanku.
Ini tak bisa dibiarkan.
Astaga.
Mulut-mulut badut.
Mulut-mulut yang latah.
Bahkan sex mereka perpolotikkan.
Saudari-saudariku.
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik.
Mereka harus beri kalian kerja.
Mereka harus pulihkan drajat kalian.
Mereka harus ikut memikul kesalahan.
Saudari-saudariku. Bersatulah.
Ambillah galah.
Kibarkan kutang-kutangmu diujungnya.
Araklah keliling kota
Sebagai panji-panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut.
Katakanlah kepada mereka :
Menganjurkan menggayang pelacuran
Tanpa menganjurkan
Mengawini para bekas pelacur
Adalah omong kosong.
Pelacur-pelacur kota jakarta.
Saudari-saudariku.
Jangan melulu keder pada lelaki.
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu.
Naikkan taripmu dua kali
Dan mereka akan kelabakan.
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan istri saudaranya.
PESAN PENCOPET KEPADA PACARNYA
Siti,
Kini aku makin ngerti keadaanmu,
Tak’ kan lagi aku membujukmu
Untuk nikah padaku
Dan lari dari lelaki yang mlaramu.
(Lelawa terbang berkejaran
Tandanya hari jadi sore.
Aku berjanji dikamar mandi
Tubuhku yang elok bersih kucuci.
O, abang , kekasihku
Kutunggu kau di tikungan
Berbaju renda
Berkain baru).
Nasibmu sudah lumayan.
Dari babu jadi selir
kepala jawatan.
Apa lagi ?
Nikah padaku merusak keberuntungan.
Masa depanku terang
repot.
Sebagai copet nasibku untung-untungan.
Ini bukan ngesah.
Tapi aku memang bukan bapak yang baik
Untuk bayi yang lagi
kau kandung.
(Lelawa terbang berkejaran
Tandanya hari jadi sore.
Mentari nggloyor muntah dilaut
Mabuk nafas orang jakarta.
O, angin.
O, bang.
Sarapku sudah gemetar
Menanti lidahmu
Njilati tubuhku).
Cintamu padaku tak pernah kusangsikan.
Tapi cinta Cuma nomor dua.
Nomor satu carilah keselamatan.
Hati kita mesti ikhlas
Berjuang untuk masa depan anakmu.
Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu.
Kuraslah hartanya.
Supaya hidupmu nanti sentosa.
Sebagai kepala jawatan lelaki normal
Suka disogok dan suka korupsi.
Bila ia ganti kautipu
Itu sudah jamaknya.
Maling menipu maling itu biasa.
Lagi pula
Di masyarakat maling kehormatan Cuma gincu.
Yang utama kelicinan.
Nomor dua keberanian.
Nomor tiga keuletan.
Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta.
Inilah ilmu hidup masyarakat maling.
Jadi janganlah ragu-ragu.
Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu.
(Lelawa terbang berkejaran
Tandanya hari jadi sore
Hari ini kamu mesti ku lewatkan
Karna lelakiku telah tiba.
Malam ini
Badut yang tolol bakal main akrobat
Didalam ranjangku).
Usahakan selalu menanjak kedudukanmu.
Usahakan kenal satu mentri
Dan usahakan jadi selirnya.
Sambil jadi selir mentri
Tetaplah jadi selir lelaki yang lama.
Kalau ia menolak kau rangkap
Sebagaimana ia telah merangkapmu dengan istrinya
Itu berarti ia tak tahu diri,
Lalu depak saja dia.
Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan
Asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya.
Ini selalu menarik seorang mentri
Ngomongmu ngawur tak jadi apa
Asal bersemangat , tegas, dan penuh keyakinan.
Karna begitulah cermin seorang mentri.
(Lelawa terbang berkejaran
Tandanya tadi jadi sore.
Kenanganku melayang kesaat itu
Ditengah asyik nonton pawai
Kau meremas pantatku
Demikianlah kita lalu berkenalan
Yalah setelah kutendang kakimu.
Dan sekarang setiap sore
Bagaikan pisang yang ranum
Aku rindu tanganmu
Untuk mengupasku).
Akhirnya aku berharap untuk
anakmu nanti.
Siang malam jagalah ia.
Kemungkinan besar ia lelaki.
Ajarlah berkelahi
Dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang .
Jangan boleh menilai orang dari wataknya.
Sebab hanya ada dua nilai : kawan atau lawan.
Kawan bisa baik sementara .
Sedang lawan selamanya jahat nilainya.
Ia harus di ganyang sampai sirna.
Inilah hakikat ilmu selamat.
Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi.
Jangan boleh ia nanti
jadi propesor atau guru.
Itu celaka , uangnya tak ada.
Kalau bisa ia nanti jadi polisi atau tentara
Supaya tak usah beli beras
Karna dapat dari negara.
Dan dengan pakaian seragam
Dinas atau tak dinas
Haknya selalu utama.
Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu
Dan wataknya licik sepertin saya – nah!
Ini kombinasi sempurna.
Artinya ia berbakat masuk politik .
Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen.
Atau bahkan jadi mentri.
Paling tidak hidupnya bakal sukses dijakarta.
(Lelawa terbang berkejaran
Tandanya hari jadi sore.
Opelet-opelet memasang lampu.
Perempuan-permepuan memasang gincu.
Dan, abang, pesankan padaku
Dimana kita bakal ketemu).
NYANYIAN ANGSA
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya :
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan padaku kamu berhutang.
Ini biaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu mesti pergi.”
(Malaekat penjaga firdaus
Wajahnya tegas dan dengki
Dengan pedang yang menyala
Menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).
Jam duabelas siang hari.
Matahari terik ditengah langit.
Tak ada angin. Tak ada mega.
Maria zaitun keluar rumah pelacuran.
Tanpa koper
Tak ada lagi miliknya
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok diklangkang
Di leher, di ketiak,
dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk diantara mereka.
Tiba-tiba orang-orang
menyingkir dan menutup hidung
mereka.
Ia meledak marah
Tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
Dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria zaitun,
Untungmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“ya,” jawabnya.
“sekarang uangmu berapa ?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
Sebab bajunya lekat diborok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi meriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat :
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali :
“Vitamin C ?
Dokter, paling tidak ia perlu salvarzan.”
“Untuk apa ?
Ia tak bisa bayar”.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
Yang di import dari luar negri ?
(Malaikat penjaga firdaus
Wajahnya iri dan dengki
Dengan pedang yang menyala
Menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka).
Jam satu siang.
Matahari masih di puncak.
Maria zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal yang jelek mutunya
Lumer dibawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karena khawatir akan pencuri.
Ia menuju pastori dan menekan bel pintu.
Koster keluar dan berkata :
“Kamu mau apa ?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf, saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuh
nya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata :
“Asal tinggal diluar, kamu boleh tunggu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
Ia menyalakan cerutu, lalu bertanya :
“Kamu perlu apa ?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria zaitun menjawabnya :
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdoa.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit ?”
“Ya. Saya kena raja singa.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara :
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam ?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo petrus ! tapi kamu katolik.”
“Ya.”
“Santo petrus.”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara :
“Kamu telah tergoda dosa .”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo petrus !”
“Santo petrus ! pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal-usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu tuhan atau apa saja
Untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding maria zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”
(Malaikat penjaga firdaus
Wajahnya sombong dan dengki
Dengan pedang yang menyala
Menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga).
Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria zaitun bersijingkat
Diatas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
Ia kepeleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
Tapi darah keluar dari borok diklangkangnya
Dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
Ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan kebelakang satu restoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
Dengan daun pisang
Lalu berjalan menuju keluar kota.
(Malaikat penjaga firdaus
Wajahnya dingin dan dengki
Dengan pedang yang menyala
Menuding kepadaku.
Yang mulya, dengarkanlah aku.
Maria zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan).
Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih ditangan
Belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
Seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai diluar kota.
Jalan tak lagi beraspal
Tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
Dan pelan berkata : “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
Ia tinggalkan jalan raya
Dan berbelok masuk sawah
Berjalan di pematang.
(Malaikat penjaga firdaus
Wajahnya tampan dan dengki
Dengan pedang yang menyala
Mengusirku pergi
Dan dengan rasa jijik
Ia tusukkan pedangnya yang perkasa
Di antara kelangkangku.
Dengarkan, yang mulia
Maria zaitun namaku
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina ).
Jam enam sore.
Maria zaitun sampai kekali.
Angin bertiup
Matahari turun
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah dipinggir kali.
Ia basuh kaki, tangannya, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
Tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.
(Malaikat penjaga firdaus
Tak kaurasakan bahwa senja telah tiba
Angin turun dari gunung
Dan hari merebahkan badannya ?
Malaikat penjaga firdaus
Dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala).
Jam tujuh . dan malam tiba
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali
Nampak tenang
Dan mengkilat dibawah sinar bulan
Maria zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi dikali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita
Tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya
Ia jadi berduka
Dan mengadu pada sobatnya
Sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.
(Malaikat penjaga firdaus
Wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala).
Waktu.
Bulan.
Pohonan.
Kali.
Borok.
Sipilis.
Perempuan.
Bagai kaca
Kali memantal cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.
Seorang lelaki datang diseberang kali.
Ia berseru. “Maria zaitun, engkaukah itu ?”
“Ya.” Jawab maria zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria zaitun berdebar hatinya .
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah dimana.
Yang terang tidak diranjang
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu disini,” kata lelaki itu.
Maria zaitun tak tahu jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
Lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
Ia merasa berlayar
Ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
Ia berkata kasmaran :
“Semula kusangka hanya impian
Bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
Bahwa lelaki tampan seperti kau
Bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu ?” maria zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawbnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka ditubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria zaitun pelan berkata :
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala : “Betul. Ya .”
(Malaikat penjaga firdaus
Wajahnya jahat dan dengki
Dengan pedang yang menyala
Tak bisa apa-apa .
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
Dan kumakan apel sepuasku.
Maria zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya).
KHOTBAH
Fantastis .
Di satu minggu siang yang panas
Di gereja yang penuh orangnya
Seorang padri muda berdiri di mimbar.
Wajahnya molek dan suci
Matanya manis seperti mata kelinci
Dan ia mengangkat kedua tagannya
Yang bersih halus bagai leli
Lalu berkata :
“sekarang kita bubaran.
Hari ini khotbah tak ada.”
Orang-orang tidak beranjak.
Mereka tetap duduk rapat berdesak.
Ada juga banyak yang berdiri.
Mereka kaku. Tak mau bergerak
Mata mereka menatap bertanya-tanya.
Mulut mereka menganga
Berhenti berdoa
Tapi ingin benar mendengar.
Kemudian dengan serentak mereka mengesah
Dan berbareng dengan suara aneh dari mulut mereka
Tersebarlah bau keras
Yang perlu dicegah dengan segera.
”Lihatlah aku masih muda .
Biarlah aku menjaga sukmaku.
Silakan bubar .
Ijinkan aku memuliakan kesucian .
Aku akan kembali ke biara
Merenungkan keindahan ilahi .”
Orang-orang kembali mengesah.
Tidak beranjak.
Wajah mereka nampak sengsara .
Mata mereka bertanya-tanya .
Mulut mereka menganga
Sangat butuh mendengar.
“Orang-orang ini minta pedoman. Astaga .
Tuhanku, kenapa di saat ini kau tinggalkan daku.
Sebagai kelompok serigala yang malas dan lapar
Mereka mengangakan mulut mereka.
Udara panas. Dan aku
terkencing di celana.
Bapak. Bapak. Kenapa kau tinggalkan daku.”
Orang-orang tetap tidak beranjak.
Wajah mereka basah.
Rambut mereka basah.
Seluruh tubuh mereka basah.
Keringat berkucuran dilantai
Karena udara yang panas
Dan kesengsaraan mereka yang tegang.
Baunya busuk luar biasa.
Dan pertanyaan-pertanyaan mereka pun berbau busuk juga.
“Saudara-saudaraku, para anak bapak disurga.
Inilah khotbahku.
Ialah khotbahku yang pertama.
Hidup memang berat.
Gelap dan berat.
Kesengsaraan banyak jumlahnya.
Maka dalam hal ini
Kebijaksanaan hidup adalah ra-ra-ra.
Ra-ra-ra, hum-pa-pa, ra-ra-ra.
Tengoklah kebijaksanaan kadal
Makhluk tuhan yang juga dicintai-Nya.
Meniaraplah kebumi.
Karna, lihatlah :
Sukmamu terjepit diantara batu-batu.
Hijau.
Lumutan.
Sebagai kadal ra-ra-ra.
Sebagai ketonggeng hum-pa-pa.”
Orang-orang serentak bersuara :
Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.
Dengan gemuruh bersuara seluruh isi gereja.
Ra-ra-ra. Hum-pa-pa.
“Kepada kaum lelaki yang suka senapan
Yang memasang panji-panji kebenaran di mata bayonetnya
Aku minta di camkan
Bahwa lu-lu-lu, la-li-lo-lu.
Angkatlah hidungmu tinggi-tinggi
Agar tak kau lihat siapa yang kau pijak.
Karna begitulah li-li-li, la-li-lo-lu.
Bersihkan darah dari tanganmu
Agar aku tak gemetar
Lalu kita bisa duduk minum teh
Sambil ngomong tentang derita masyarakat
Atau hakikat hidup dan mati.
Hidup penuh sengsara dan dosa.
Hidup adalah tipu muslihat.
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Jadi marilah kita tembak matahari.
Kita bidik setepat-tepatnya.”
Dengan gembira orang-orang menyambut bersama :
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Mereka berdiri. Menghentakkan kaki kelantai.
Berderap serentak dan seirama.
Suara mereka bersatu :
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
Hanyut dalam persatuan yang kuat
Mereka berteriak bersama
Persis dan seirama :
La-la-la, li-li-li, la-li-lo-lu.
“Maka kini kita telah hidup kembali.
Darah terasa mengalir dengan derasnya.
Di kepala. Di leher. Di dada.
Di perut. Dan di bagian tubuh lainnya.
Lihatlah, oleh hidup jari-jariku gemetar.
Darah itu bong-bong-bong
Darah hidup bang-bing-bong.
Darah hidup bersama bang-bing-bong-bong.
Hidup beramai-ramai.
Darah bergaul dengan darah.
Bong-bong-bong. Bang-bing-bong.”
Orang-orang meledakkan gairah hidupnya.
Mereka berdiri diatas bangku-bangku gereja.
Berderap-derap dengan kaki mereka.
Genta-genta, orgel, daun-daun pintu, kaca-kaca jendela,
Semua dipalu dan dibunyikan.
Dalam satu irama.
Diiringi sorak gembira :
Bong-bong-bong, bang-bing-bong.
Cinta harus kita muliakan.
Cinta di belukar.
Cinta di toko arab.
Cinta dibelakang halaman gereja.
Cinta itu persatuan dan tra-la-la.
Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.
Sebagai rumputan
kita harus berkembang biak
dalam persatuan dan cinta.
Marilah kita melumatkan diri.
Marilah kita bernaung dibawah rumputan.
Sebagaimana pedoman kita :
“Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.”
Seluruh isi gereja gemuruh.
Mereka mulai menari. Mengikuti satu irama.
Mereka saling menggosok-gosokkan tubuh mereka.
Lelaki dengan wanita. Lelaki dengan lelaki.
Wanita dengan wanita. Saling menggosok-gosokkan tubuhnya.
Dan ada juga yang menggosok-gosokkan tubuhnya ke tembok
gereja.
Dan dengan suara yang menggigil yang ganjil
Mereka melengking dengan serempak.
Tra-la-la. La-la-la. Tra-la-la.
“Melewati nabi musa yang keramat
Tuhan telah berkata :
Jangan engkau mencuri .
Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon.
Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng.
Para pembesar jangan mencuri
bensin.
Dan gadis jangan mencuri perawannya sendiri.
Tentu, mencuri dan mencuri ada bedanya.
Artinya : Cha-cha-cha, cha-cha-cha.
Semua barang dari tuhan .
Harus dibagi bersama.
Semua milik semua.
Semua untuk semua.
Kita harus bersatu. Kita untuk kita.
Cha-cha-cha, cha-cha-cha.
Inilah pedomannya.”
Sebagai binatang orang-orang bersorak :
Grrr-grrr-hura. Hura.
Cha-cha-cha. Cha-cha-cha.
Mereka copoti daun-daun jendela.
Mereka ambil semua isi gereja.
Candelabra-candelabra. Tirai-tirai. Permadani-permadani.
Barang-barang perak. Dan patung-patung berhiaskan permata.
Cha-cha-cha, begitu nyanyi mereka.
Cha-cha-cha, berulang-ulang di serukan.
Seluruh gereja rontok.
Cha-cha-cha.
Binatang-binatang yang basah berkeringat dan deras nafasnya
Berlarian kian kemari.
Cha-cha-cha. Cha-cha-cha.
Lalu tiba-tiba terdengar lengking jerit perempuan tua :
“Aku lapar. Lapaar. Lapaaaar.”
Tiba-tiba semua juga merasa lapar
Mata mereka menyala.
Dan mereka tetep bersuara cha-cha-cha.
“Sebab sudah mulai lapar
Marilah kita bubaran.
Ayo, bubar. Semua berhenti.”
Cha-cha-cha, kata mereka.
Dan mata mereka menyala.
“Kita bubar.
Upacara dan khotbah telah selesai.”
Cha-cha-cha, kata mereka.
Mereka tidak berhenti.
Mereka mendesak maju.
Gereja rusak. Dan mata mereka menyala.
“Astaga. Ingatlah penderitaan kristus.
Kita semua putra-putranya yang mulia.
Lapar harus diatasi dengan kebijaksanaan.”
Cha-cha-cha.
Mereka maju menggasak mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka seret padri itu dari mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka robek-robek jubahnya.
Cha-cha-cha.
Seorang perempuan gemuk mencium mulutnya yang bagus.
Seorang perempuan tua menjilati dadanya yang bersih.
Dan gadis-gadis menarik kedua kakinya.
Cha-cha-cha.
Begitulah perempuan-perempuan itu memperkosanya
beramai-ramai.
Cha-cha-cha.
Lalu tubuhnya dicincang.
Semua orang makan dagingnya. Cha-cha-cha.
Dengan persatuan yang kuat mereka berpesta.
Mereka minum darahnya.
Mereka hisap sungsum tulangnya.
Sempurna habis ia dimakan.
Tak ada lagi yang sisa.
Fantastis .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar