Kamis, 21 Mei 2015

NASIHRUDDIN ATH THUSI



Pemikiran Filsafat Nasihruddin Ath Thusi


Jika Aristoteles membagi filsafat menjadi tiga bagian; filsafat spekulatif atau teoritis, praktis, dan produktif. Maka Thusi membagi filsafat menjadi dua bagian; teoritis dan praktis. Menurut Thusi filsafat adalah mengetahui sesuatu sebagaimana adanya dan bertindak sebagaimana mestinya[1]. Menggambarkan sesuatu sebagaimana adanya merupakan filsafat teoritis, sedangkan menggambarkan perilaku manusia sebagaimana mestinya adalah filsafat praktis[2]. Filsafat teoritis dan praktis pada endingnya terbagi menjadi pengetahuan dan tindakan. Pengetahuan yang berarti kemampuan untuk memahami (tashawwur) sesuatu sebagamana adanya dan kemudian membenarkan (tasdhiq) sesuai dengan prnsip-prinsip keberadaannya. Sedangkan tindakan adalah perwujudan gerak dan penguasaan ilmu sehingga yang potensial menjadi aktual[3].
Penguasaan pengetahuan teoritis (ilmi) dan praktis (amali) ditempatkan pada kemampuan fisik manusia. Manusia yang mencapai kesempurnaan dalam pengetahuan dan perbuatan, maka akan mencapai karakter yang mulia. Ini mengindikasikan filsafat bukanlah ansich pergulatan dalam dunia pemikiran, melainkan juga bergelut pada tataran praktis. Kombinasi antara pengetahuan dan praktek adalah manusia yang sempurna dalam berfilsafat. Ia tidak hanya mengisi pikiran, tidak hanya tercaplok diangan-angan dengan segala pengetahuannya, tapi juga melakukan terobosan-terobosan gerakan dengan berbekal pengetahuan, memungkinkan temanifestasinya pengetahuan (konsep) dalam kehidupan sehari-hari.
Segala persoalan hidup sehari-hari yang menyangkut tentang ada dan mungkin akan ada bagian dari telaah filsafat. Begitu juga dalam pandangan filsafat Thusi. Baginya objek filsafat terdiri dari pengetahuan mengenai segala sesuatu yang ada. Ia dibagi menjadi dua kategori yang didasarlkan pada sifat dasar sesuatu sebagaimana adanya. Hal-hal yang maujud (eksisten) terdiri dari dua jenis: pertama hal-hal yang eksistensinya tidak bergantung pada tindakan kita, dan kedua hal-hal yang eksistensinya bergantung pada tindakan kita. Filsafat teoritis (hikmah i nazhari) menjadikan kategori maujud yang pertama sebagai objeknya, dan filsafat praktis (Hikmah i ‘amali) menjadkan kategori maujud yang kedua sebagai objeknya[4].
Selanjutnya filsafat teoritis dibagi menjadi dua kategori; pertama pengetahuan tentang sesuatu yang eksistensinya - dan konsepsi tentangnya - tak terkait dengan dan tak bergantung pada materi, dan kedua, pengetahuan tentang sesuatu yang eksistensinya bergantung pada materi. Kategori yang terakhir ini dibagi lagi menjadi dua bagian; pertama pengetahuan tentag sesuatu yang kebergantungannya pada materi tidak bersifat esensial bagi konsepsinya, dan kedua, pengetahuan tentang sesuatu yang kebergantungannya pada materi bersifat esensial. Akibatnya filsafat teoritis dibagi menjadi tiga kategori: metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu alam[5].
Metafisika terdiri dari; pertama pengetahuan tentang Tuhan, wujud yang karena kedekatannya dengan hadiratnya menyebabjkan wujud lain ada, seperti intelek-intelek/akal-akal, jiwa-jiwa, dan perinsip yang mengatur perbuatan-perbuatan mereka, pengetahuan ini disebut teologi. Kedua pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum yang mengatur wujud-wujud yang ada sebagaimana adanya seperti ke esa-an (wahdah), kemajmukan, keniscayaan, kemungkinan, keterciptaan, keazalian dan sebagainya. Metafisika selanjutnya dibagi dalam beberapa sub bagian terkecil seperti kenabian, hukum ilahi, hari kahir dan masalah terkait lainnya. Matematika dibagi menjadi empa bagian; geometri, aritmatika, astronomi, dan musik. Ilmu-ilmu alam dibagi menjadi delapan, pengetahuan tentang waktu, ruang, gerak, ketakberhinggaan dan keberhinggaan; pengetahuan tentang objek-objek sedarhana/tunggal dan majmuk, pengetahuan tentang bumi dan iklimnya seperti kilat, hujan, salju gempa bumi dan sebagainya, diantar sub-sub bagian ilmi alam ini terdapat kedokteran, dan astronomi[6].
Sementara itu Thusi mendefinisikan filsafat praktis sebagai pengetahuan tentang sarana-sarana bagi tindakan-tindakan suka rela dan bagi amalan-amalan kreatif manusia, karena tndakan itu berhubungan dengan urusan-urusan dunia dan akhirat[7]. Dalam filsafat praktis seseorang harus meletakkan bangunan pengetahuan dalam rangka bekal dalam bertindak. Filsafat praktis terdiri dari dua subjek; pertama, sesuatu yang berhubungan dengan manusia sebagai individu. Kedua, sesuatu yang berhubungan dengan manusia sebagai anggota masyarakat. Tentang sosiologinya menjadi dua cabang; pertama pengetahuan tentang masala-masalah umum masyarakat yang ada dalam kehidupan rumah tangga rakyat biasa, dan kedua, pengetahuan tentang masalah-masalah yang biasa terjadi dalam kehidupan kota, provinsi, negri, bahkan kerajaan. Jadi Thusi mebagi filsafat praktis menjadi tiga; etika, politik domestik dan poitik nasional.
Seperti aristoteles, Thusi meletakkan logika menjadi kategori yang terpisah dan independen dibawah rubrik filsafat teoritis. Bagi Aristoteles logika[8] adalah metode dasar bagi pengembangan bidang filsafat[9]. Sementara menurut Thusi logika berguna untuk mengetahi bagaimana mengetahui sesuatu, cara atau jalan untuk mengatasi yang tidak diketahui[10]. Dengan demikian logika bagi Thusi hanyalah alat, piranti atau pisau analisa untuk mencari dan mendapatkan bentuk-bentuk lain pengetahuan, dan cara berpikir lurus, sistematis, logis dan analitis.

Ontologi
Pada tataran metafisika Thusi meletakkan pondasi filsafatnya secara terpisah antara metafisika umum dan khusus. Metafisika umum yang didalamnya ada ontologi berperan penting dalam pemikirannya, karena ada saling keterkaitan dengan metafisika khususnya masalah teologi. Ontologi (ada) Atthusi termasuk dalam tradisi klasik Ibnu Sina. Filsuf islam selain Al-Kindi dan Al-Farabi, Thusi dan Ibnu Sina adalah dua tokoh peripatetik[11] yang dalam madzabnya bertalian nyambung pada Aristoteles. Ia adalah salah satu tokoh wakil filsafat parepatetik paling terkemuka setelah serbuan Mongol dan pada saat yang bersamaan terkenal karena doktrin-doktrin isyraqinya[12]. Dari sini dapat dilihat bahwa Thusi dalam filsafatnya banyak dipengaruhi Aristoteles dan Ibnu Sina, baik ontologi maupun teologinya[13] yang bertumpu pada silogisme, argumentasi rasional, dan demonntrasi rasional.
Ditinjau dari segi ontologis, seluruh eksisten (maujud) terbagi kedalam dua klasifikasi: maujud wajib dan maujud mumkin (contingen). Maujud wajib adalah sebuah maujud yang wujud/segala keberadaannya tegak berdiri dengan sendirinya (tanpa memerlukan orang lain). Sedangkan maujud mumkin adalah maujud yang wujudnya tidak dengan sendirinya, tetapi karena wujud zat yang lain[14]. Maujud mumkin dibagi dalam dua klasifikasi; substansi dan aksiden. Selnjutnya substansi dibagi menjadi empat klasifikasi; forma, materi, benda, dan immaterial[15].
Masalah eksistensi atau wujud, jika Aristoteles mengatakan eksistensi adalah balok tanpa celah yang kemudian dikenal dengan teori materi rapat. Ibnu Sina tak mau kalah dengan memperkaya konsepsi terkait eksistensi dengan membuat pembedaan fundamental antara wajib ada, mungkin ada, dan ketidak mungkinan atau mustahil ada[16]. Sampailah Thusi pada kesimpulan bahwa wujud sangat universal, sehingga tidak butuh pembuktian[17]. Wujud yang sangat universal adalah wujud yang didapat dari proses abstraksi[18].Tidak butuh pembuktian karena wujud eksternal maupun yang bersifat mental hakikatnya tak khan lepas dari universalitas itu sendiri. Sekalipun seseorang membayangkan sesuatu yang tidak ada wujudnya dalam reliata, dan menghukumi dengan beberapa hukum yang pasti, seperti mustahil dan tidak ada. Sesungguhnya apa yang dimengerti adalah universal, dan segala yang ada dialam luar adalah hal yang parsial, dengan demikian, maka segala sesuatau yang universal berkaitan dengan segala yang berwujud[19]. Akan tetapi dalam bidang teologi Thusi menyatakan mustahil bagi manusia yang terbatas, untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhannya[20]. Permasalahan Tuhan adalah sesuatu yang immaterial, mustahil manusia sebagai wujud material yang terbatas mengetahui Tuhan secara gamblang. Manusia hanya mampu sebatas memahami wujud Tuhan. Manusia hanya bisa merasakan dekat dengan Tuhan. Jadi mustahil membuktikan Tuhan secara keseluruhan. Walaupun manusia bisa mencapai hal yang metafisik melalui tindakan dan pemikiran. Bukan berarti manusia tahu secara pasti akan Tuhan. Kecuali Pemahaman wujud fisik yang dapat dicapai melalui persepsi-persepsi indra, mungkin manusia mampu mengetahui secara jelas. Sebagaimana pernyataannya yang hanya sebatas percaya adanya wujud niscaya dan tidak mengindikasikan mengetahui wujud niscaya secara keseluruhan “barang siapa yang percaya pada hal-hal yang non material, baik secara intelektual maupun spiritual. Maka tak sulit baginya percaya pada wujud-wujud non material seperti wujud Niscaya[21].  

Teologi
Seperti yang telah disinggung di atas, Ontologi Thusi sangat berkaitan erat dengan pemikiran teologinya. Dalam bidang teologi Thusi membuktikan asal muasal yang pertama, sesuatau yang tidak ada mendahuluinya dan tidak mempunyai asal. Asal muasal yang utama mustahil lebih dari satu karena segala yang lebih dari satu berarti banyak, dan segala yang banyak tentu terdiri dari unit-unit (satuan-satuan ) individual, dan tiap-tiap satu dari stuan-satuan itu tentu mendahului wujud yang tersusun itu. jadi asal muasal itu satu dan bukan banyak. Asal muasal pertama yang tanpa asal usul itu mustahil sebagai wujud yang mungkin, karena setiap wujud yang mungkin itu pasti mempunyai asal muasal[22]. Oleh karena itu Thusi menggunakan rasionalisasi yang tidak terjebak dalam lingkaran syetan dalam rentetan sebab akibat-yang menjadi sebab bagi semua akibat-yang ada sebelum semua akibat. segala kebergantungan pasti dari yang satu, jika tidak demikian mustahil terjadi wujud yang tanpa asal muasal yaitu wajib niscaya. Karena satuan-satuan adalah bergantung kepada yang satu wujud, maka wujud niscaya wajib adanya. Pada kenyataannya sesuatu kebergantungan berada, maka menandakan asal muasal wujud itu ada yaitu wujud Niscaya. Inilah yang dimaksudkan Thusi dengan upaya membutikkan Satu Yang Hakiki yang merupakan asal-muasal pertama dari semua yang ada, Maha Agung Wujudnya dan Maha Suci Zat dan Sifatnya.
Thusi sebagaimana lazimnya filsuf Islam lainnya yang mengatakan Tuhan adalah Wujud Murni, sedangkan transendensi rantai wujud dan tatanan eksistensi kosmik dan dunia adalah kontingen (tergantung). Semua itu hanyalah untuk membedakan antara wujud murni dan eksistensi dunia. Dengan demikian wujud itu bisa berupa niscaya dan mungkin. Jika suatu wajud itu niscaya, ia tak mungkin (mustahil tidak ada). Keberadaannya tidak ditentukan oleh sesuatu hal apapun, Wujud yang keberadaannya niscaya disebut wujud niscaya. Apabila suatu wujud itu mungkin atau bergantung agar menjadi ada atau mengada, maka ia harus didasarkan atas atau bergantungan pada sesutau yang lain, dan sesutau yang lain itu pada gilirannya bisa jadi wujud niscaya, atau wujud mungkin lainnya.
Wujud-wujud duniawi mustahil menjadi wujud Niscaya, karena wujud-wujud bisa jadi berupa aksiden-aksiden atau substansi-substansi. pada hakikatnya aksidn-aksiden itu bergantung pada yang lain yaitu substansi, dan substansi-substansin itu mungkin bersifat jasmaniah dan karena itu tersusun dan dapat rusak. Atau mungkin bebas dari materi atau abstrak. Kesimpulannya Ada Niscaya tanpa membutuhkan keberadaan sesuatu, Dia yang Awal, keberadaanya bukanlah kebergantungan pada sesuatu baik yag bersifat material maupun yang non material.
Masalah non wujud Thusi tidak berpihak kepada dua pandangan yang bertentangan. Hanaya saja ia mengurakan bagaimana pertentangan antara yang mengingkari eksistensi yang non wujud yang ia sebut kaum nafiyan dan kelompok yang percaya pada eksistensi non wujud yang ia sebut musbitan. Ia hanya menyimpulkan “ketika orang-orang cerdas berpikir tentang hal ini (masalah non wujud). Mereka harus menerima apa yang diterima oleh pikiran mereka, dan tentu saja tidak boleh mengikuti orang lain begitu saja. Di bawah ini pemaparan Thusi;
Ketahuilah bahwa orang-orang berilmu berbeda pendapat tentang apakah non wujud itu sesuatu ataukah bukan sesuatu. Non wujud yang mereka maksudkan adalah wujud mungkin. Kaum nafiyan berpendapat bahwa non wujud itu bukan sesuatu. Mereka tidak membedakan wujud mungkin dengan wujud mustahil. Mereka menganggap kedua-duanya sebagai non wujud. Kedua kelompok itu juga tidak sependapat dalam hal-hal lainnya. . kaua musbitan percaya kapada suatu sifat yang bukan wujud dan bukan pula non wujud. Mereka menyebut sifat itu suau disposisi. Akan tetapi kaum nafiyan menolak status antara yang teletak diantar wujud dan non wujud. Kedua kelompok itu juga tidak sepakat tentang masalah berikut; kaum musbitan memandang non wujud, dalam status ketakwujudannya, disifati oleh suatu sifat …mereka mengaggap wujud sebagai suatu ciri umum semua maujud. Mereka juga membedakan antara penegsan /penetapan dan wujud itu sendiri, tetapi bukan antara wujud dan non wujud. Namun mereka tidak membedakan antara pengingkaran/penegasian dan penegasan/pembenaran. Dilain pihak, kaum nafiyan menganggap wujud segala sesuatu sebagai esensi atau dzatnya. Mereka tidak membedakan antara tsubut dan wujud. Jadi kaum musbitan mengagap semua esensi-baik substansi maupun aksiden – itu ada secara azali, yang disifati dengan sifat-sifat genus, misalnya substansi dengan watak substansinya, hitam dengan warna hitamnya, walaupun belum maujud. Kaum musbitan menganggap bahwa wujud adalah suatu disposisi /tempelan, maksudnya, ia bukan wujud dan bukan non wujud. Jadi Sang Pelaku, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasalah yang Ada, yang menyipati esensi-esensi dengan wujud, dan itulah makna menjadikan ada dan menjadikan mengada. Bagi kaum nafiyan, tidak ada yang tetap secara azali, kecuali Tuhan. dia menciptakan semua esensi dan sifat, dan bahwa makna menjadikan substansi ada adalah menyebabkan substansi menjadi ada setelah sebelumnya tidak ada[23]

Terkait apakah dunia ini kekal atau dicipakan oleh Tuhan dari ketiadaan (hadis) merupakan pembahasan yang menarik dalam filsafat islam. Ath Thusi disatu sisi dalam karyanya Tashawwurat (yang ditulis pada masa pemerintahan isma’iliyah) Thusi mengecam doktrin creatio ex nihilo. Pandangan yang menyatakan adanya waktu ketika dunia ini belum maujud dan kemudian Tuhan menciptakannya dari ketiadaan. Secara jelas mengisyaratkan  bahwa Tuhan bukanlah pencipta sebelum adanya penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptaannya. Masih bersifat potensial yang kemudian hari baru diwujudkan, dan ini merupakan sangkalan atas daya cipta nya yang kekal. Oleh sebab itu logisnya, Tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengaitkan eksistensi penciptaan kepada dirinya. Dunia in dengan kata lain, merupakan sesuatu yang sama kekalnya dengan Tuhan. Disini Ath Thusi menutup pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya, meskipun dalam hak dan kekuatannya sendiri, ia tercipta[24].
Disisi yang lain karyanya Fushul, Thusi mendukung sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai creatio ex nihilo. Dengan menggolongkan zat menjadi yang pasti dan yang mungkin, Dia mengemukakan bahwa bahwa eksistensi nyang mungkin itu bergantung kepada yang pasti, dan karena ia maujud akibat sesuatu yang lain dari dirinya, tidak dapat dikatakan ia dalam keadaan maujud sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang tidak maujud iu tidak ada, begitu juga Kemaujudan Yang Pasti itu menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal-hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhdast)[25].
 Dengan menggolongkan dzat menjadi yang pasti dan yang mungkin. Wujud dibagi wajib bidzatihi dan mumkin bidzatihi. Wajib hanya memandang kepada dzatnya yang wajib al wujud dan mumkin bidzatihi kalau dari wajib wujudnya. Apabila dikatakan ghairu maujud (bukan wujud). Bukan berarti mustahil[26]. Kecuali ma’dum (non wujud) itu mustahil maujud. Karena ma’dum (bukan ghairu maujud) merupakan lawan dari wujud. Sesuatu yang mustahil ada sesungguhnya wajibul wujud tidak tidak memberikan peluang untuk ada dan mengada, maka konsekwensi logisnya menjadi mustahil ada dan mengada, bukanlah sebab, tetapi wajibul wujud tidak ingn menghendakinya pada sesuatu yang tidak mungkin (mustahil)[27].

Jiwa
Menurut At-Thusi, jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri[28]. ia adalah substansi yang secara dzati independen. Artinya ia adalah sebuah maujud yang tidak memilki subjek, tempat dan materi serta seluruh sifat dan kreteria yang dimiliki oleh materi. Akan tetapi dalam aktifitas ia memerlukan fasilitas material[29]. Dengan demikian karena jiwa bukanlah materi atau material dan tidak bergatung pada tempat. Maka badan ini bukanlah tempat bagi jiwa. Badan hanyalah sebuah alat dan fasilitas baginya. Sebagaiman kerusakan alat dan fasiltas tdak dapat menimbulkan keruskan bagi pemilik dan pemakainya, kematian dan kerusakan susunan badan manusia juga tidak dapat menimbulkan kerusakan dan kehancuran jiwa. Dngan kerusakan badan hanya fungsi dan kinerja jiwa manusia akan rusak dan dengan kematian kemampuan untuk bekerja akan diambil dari jiwa ini.[30]
Sebagaimana Aristoteles dan filsuf-filsuf sebelumnya yang membagi jiwa menjadi tiga bagian. Jiwa tumbuhan, hewan, dan manusia. [31]Athhusi menambahkan jiwa imajinatif berkenaan dengan persepsi-persepsi rasa disatu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional dipihak lain, sehingga jika ia disatukan dengan jiwa hewani maka ia akan menjadi bergantung kepadanya dan hancur bersamanya, tetapi jikalau ia dihubungkan dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dari tubuh, suatu jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya, dan hukuman dan penghargaan jiwa manusiawi menjadi bergantung kepada jejak ini, yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini.
Pertama jiwa tumbuhan (nabati). Efek-efek jiwa ini meliputi seluruh jenis tetumbuhan, [32]binatang, dan manusia. Jiwa ini memiliki gerak multi orientasi yang ia lakukan tanpa ikhtiar, kehendak, dan pemahaman sama sekali[33]. Kedua jiwa hewani. Jiwa ini dimiliki oleh seluruh jenis binatang, termasuk bangsa manusia. Ketiga jiwa insani. Jiwa ini hanya dimiliki oleh jenis manusia. Dengan jiwa ini manusia terpisah dari binatang[34].
Setiap jiwa dari ketiga jiwa ini memiliki beberapa kekuatan yang menjadi sumber aksi kinerja tertentu. [35]Jiwa nabati memiliki tiga kekatan (daya);fakultas yang menjamin makanan, penjamin pertumbuhan dan perkembangan badan, dan kekuatan reproduksi keturunan. Jiwa hewani memiliki dua kekuatan; pemahaman organik dan gerak swakarsa. Kemudian yang pemahaman organik dibagi menjadi dua klasifikasi; hal-hal yang dapat dipahami melalui panca inderah lahiriah (penglihat, pendengar, pencium, dan peraba) dan hal-hal yang dapat dipahami melalui panca indera batiniah (khayal, memori, delusi,). Sementara yang kekuatan gerak swakarsa dibagi pula dalam dua klasifikasi; kekuatan syahwat atau kecendrungan yang membangkitkan keinginan untuk meraih manfaat dan kekuatan amarah atau kekuatan murka dan defensip yang membangkitkan keinginan untuk menyingkirkan segala bentuk marah bahaya. Akan tetapi jiwa manusia memiliki satu kekuatan khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh jenis binatang, yaitu kekuatan berpikir atau akal. Akal adalah kekuaan khusus yang dimiliki oleh manusia guna memahami hal-hal yang bersifat universal[36]. Hal ini berbeda dengan pemahaman terhadap hal-hal partikular yang dapat diperoleh melalui panca indera dan sama-sama dimiliki oleh manusia dan binatang[37].
Diantara kekuatan-kekuatan diatas, sebagian kekuatan terwujud secara natural, sehingga tidak dapat ditambah, dikurangi, diubah, atau dipebaiki. Akan tetapi tiga kekuatan yaitu akal, syahwat, dan amarah terwujud berdasarkan kehendak dan pikiran kita. Oleh karena itu ketiga kekuatan itu bisa berubah dan disempurnakan. Kekuatan amarah dan syahwat termasuk cabang jiwa hewani. Atas dasar ini, spesies manusia sebagai bianatang yang berpikir juga memiliki kesamaan dengan spesies-spesies binatang yang lain. Akan tetapi kekuatan akal hanya dimiliki oleh spesies manusia belaka[38]. Dengan akal dan kehendak bebasnya manusia diberkati predikat makhluk sempurna di dunia. Sebagimana yang pernah dikataknnya dalam akhlaqo-e nosheri bahwa jiwa hewani lebih muliya daripada jiwa nabati, dan jiwa insani adalah lebih muliya daripada jiwa hewani. Dengan demikian manusia maujud termuliya di jagad raya ini[39].
Dari sudut pandang yang lain, dengan demikian jiwa manusia dibagi menjadi tiga kekuatan. Jiwa binatang yang merupakan jiwa terendah, jiwa buas atau jiwa biadab berada dipetengahan sebagai jiwa antar, dan yang tertinggi jiwa malaki. Ketiga jiwa ini terdapat pada diri manusia secara kolektif dan serentak. Thusi menyinggung istilah jiwa ini selaras dengan Ayat Al-Qur’an, jiwa binatang sama dengan jiwa amarah, jiwa biadab atau buas sama dengan jiwa lawwamah, jiwa malaki sama dengan jiwa mutmainnah. Karena jiwa buas atau biadab yang dalam alqur’an biasa dsebut lawwamah berada pada posisi tengah, sekalipun biadab, jika dipelajari masih ada peluang untuk beralih menjadi muthmainnah atau menjadi amarah. Sementara jiwa amarah memerintah manusia supaya mengumbar dan mengikuti ajakan syahwat, setelah melakukan aksi yang terhitung sebagai kekurangan dan bukan kesempurnaan. Jiwa lawwamah dengan dorongan penyesalan dan cercaan menampakkan aksi ini dihadapan mata hati sebagai sebuah tindakan yang sangat buruk. Jiwa mutmainnah tidak pernah rela kecuali dengan aksi-aksi yang luhur dan terpuji[40].






.






[1] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2., hal 813
[2] Muthahhari, Filsafat Teoritis dan Filsafat Praktis, hal 9
[3] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 813
[4] Ibid hal, 813
[5] Ibid , 814
[6] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 814
[7] Ibid hal, 815
[8] Yang oleh aristoteles disebut analitika (untuk meneliti argumentsi yang berangkat dari proposisi yang benar) dan dialektika (untuk meneliti argumentasi yang diragukan kebenarannya)
[9] Hendrik rapar, pengantar filsafat, hal 34
[10] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 815
[11] Peripatetik yang artinya berarti berjalan mondar-mandir adalah semata-mata sebuah nama yang tidak memiliki hubungan dengan metode Aristoteles dan pengikutnya. Mereka mengatakan mengapa Aristoteles dan para pengikutnya disebut kaum peripatetik. Karena Aristoteles memiliki kebiasaan mengajar sambil berjalan-mondar-mandir. Ada sebagian yang mengatakan bahwa parepatetik itu diambil dari sebuah tempat atau ruangan tempat mondar mandir ketika Aristoteles mengajar. Lih, K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hal 131. Dari sanalah setiap filsuf yang bermadzhab ke Aristoteles disebut filsuf peripatetik yang metodenya bertumpu pada argumentasi rasional
[12] Seperti karyanya Thusi “perjalanan pulang ke Tuhan sebuah prinsip dan metode penyucian jiwa”. Yang berisi diantaranya tahapan awal suluk dan syarat-syaratnya; iman, keteguhan (tsubat), niat, kejujuran (sidq), penyesalan (inabah), ketulusan (ikhlas). Kemudian rintangan dan hambatan pada jalan suluk; tobat, zuhud, kemiskinan (faqr), kedisiplinan diri (riyadhah), perhitungan dan kehati-hatian diri, (muhasabah dan muraqabah), takut kepada allah. Selanjutnya pencarian kesempurnaan dan maqam-maqam pesuluk; pengasingan diri (khalwah), perenungan (tafakkur), ketakutan (khawf) dan duka cita (huzn), harapan (raja’), kesabaran (sabr), syukur. Menju maqam-maqam sebelum puncak hakikat; keinginan (iradah), kerinduan (syawq), kecintaan (mahabbah), pengetahua (ma’rifah), keyakinan, ketentraman. Yang trakhir maqam-maqam dipuncak hakikat; kepasrahan (tawakkal), kepuasan (ridha), ketaatan (taslim), keesaan Allah (tawhid), penyatuan (ittihad), kesatuan (fana’)
[13] Thusi diriwayatkan percaya percaya pada keniscayaan pembuktian dalil rasional mengenai eksistensi Tuhan untuk setiap orang beriman sampai suatu ketika ia berjumpa dengan seorang petani yang bersahaja “apakah Tuhan itu satu atau dua?”demikian pertanyaan yang diajukan Thusi. “hanya satu” jawab petani. “apakah sikap anda jika seseorang berkata kepada anda Tuhan itu dua?”Tanya Thusi selanjutnya.”akan aku pecahkan kepalanya dengan sekop ditanganku ini”jawab petani. Seperti anekdot-anekdot lainnya tentang Thusi banyak, kisah ini menggaris bawahi bagian-bagian melegenda yang menjadi sikap perhatian sikap rasional filosof ini tanpa kenal lelah.
[14] Kheradamardi, Manajemen Politik Perspektif Khajeh Nashiruddin, hal 32
[15] Ath Thusi dalam majmueh –e rasoel; qesm-e maujodut
[16] Hossein Nasr, Intelektual Islam, hal 40
[17] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 800
[18] Kegiatan mengetahui adalah proses abstraksi. Suatu objek dalam wujudnya tidak terlepas dari aksiden-aksiden dan atribut-atribut tambahan yang menyelubungi hakikatnya. ketika subjek berhubungan dengan objek yang ingin diketahui, hubungan itu melibatkan ukuran, cara, tempat dan situasi. Selanjutnya abstraksi dibagi empat tahap. Pertama terjadi pada indera. Ketika indera menangkap gambar objek, ia harus berada pada jarak tertentu dari objek dan dalam keadaan tertentu. Kedua terjadi pada al khayal. Kalau pada indera, hubungannya dengan objek harus berada pada jarak dan situasi tertentu, pada al khayal keharusan demikian tidak ada. Al khayal menngkap gambar objek tanpa melihat, tetapi tangkapannya masih meliputi aksiden-aksiden dan atribut-atribut tambahan seperti kualitas dan kuantitas. Ketiga abstraksi terjadi pada al wahm (menagkap makna-makna yang terlepas dari atribut-atribut material seperti al mahabbat).disini yang ditangkap bukan lagi gmbar objek, melainkan makna abstrak dari objek tertentu tersebut terlepas dari atribut-atribut dan aksiden-aksiden, seperti musuh, teman. Kebedaan dan kesamaan. Keempat tajrid alkamil (tangkapan akal yang merupakan abstraksi yang sempurna ) pada tahap ini, abstraksi telah melepaskan seluruh yang berkaitan dengan materi dan aksiden, yang tinggal adalah makna universal. Lihat Al-Ghazali, Ma’rij Al Quds fi Madarij Ma’rifat Al Nafs, hal 66. Atau lihat Yasir Nasution, Manusia Menurut Al Ghazali, hal, 136-137
[19] Hanafi, Dari Akidah Ke Revolusi, hal 213
[20] Dedi supriyadi hal 258
[21] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 800
[22] Ibid hal, 803
[23] Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 801-802
[24] Dedi supriadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 158
[25] Dedi supriadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 259
[26] Syahrastani, Al Milal Wa Al Nihal, hal 157
[27] Russel, Searah Filsafat Barat, hal 605
[28] Lih, Ach. Dhofir Zuhri, filsafat Islam
[29] Jamaluddin Hasan bin Yusuf Hilli, Kasyf Al-Murad fi Syarahtajrid Al-I’tiqad, hal164
[30] Ath Thusi, Akhloq –e Nosheri hal 54
[31] Dedi supriadi, Pengantar Filsafat Islam, hal 255-256
[32] Atas dasar ini, manusia sebagai spesies; yakni hewan yang berpikir dan bintang sebagi materi yang berkembang biak dan bergerak, memiliki kekuatan hal tersebut diatas. Dari sisi reproduksi manusia adalah sama dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang, disisi pemahaman organik dan gerak yang didasari kehendak sama dengan binatang. Dari sisi akal ia terpisah dari semua itu.
[33] Ath Thusi, Roudhah At-Taslim, hal 23
[34] Ibid, hal 56
[35] Kheradamardi, Manajemen Politik Perspektif Khajeh Nashiruddin, hal 37
[36] Ibid hal, 56-57
[37] M.Y Rad, Andisyeh-e-Siyosi-e Khajah Nasiruddin Tusi, hal 54
[38] At Thusi, Akhloq –e Nosheri, hal 58
[39] Ibid, hal 59-62
[40] Ibid, hal 76-77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar