Pemikiran Filsafat Nasihruddin Ath Thusi
Jika Aristoteles membagi
filsafat menjadi tiga bagian; filsafat spekulatif atau teoritis, praktis, dan
produktif. Maka Thusi membagi filsafat menjadi dua bagian; teoritis dan
praktis. Menurut Thusi filsafat adalah mengetahui sesuatu sebagaimana adanya
dan bertindak sebagaimana mestinya[1]. Menggambarkan
sesuatu sebagaimana adanya merupakan filsafat teoritis, sedangkan menggambarkan
perilaku manusia sebagaimana mestinya adalah filsafat praktis[2]. Filsafat
teoritis dan praktis pada endingnya
terbagi menjadi pengetahuan dan tindakan. Pengetahuan yang berarti kemampuan
untuk memahami (tashawwur) sesuatu
sebagamana adanya dan kemudian membenarkan (tasdhiq)
sesuai dengan prnsip-prinsip keberadaannya. Sedangkan tindakan adalah
perwujudan gerak dan penguasaan ilmu sehingga yang potensial menjadi aktual[3].
Penguasaan pengetahuan
teoritis (ilmi) dan praktis (amali) ditempatkan pada kemampuan fisik
manusia. Manusia yang mencapai kesempurnaan dalam pengetahuan dan perbuatan,
maka akan mencapai karakter yang mulia. Ini mengindikasikan filsafat bukanlah ansich pergulatan dalam dunia pemikiran,
melainkan juga bergelut pada tataran praktis. Kombinasi antara pengetahuan dan
praktek adalah manusia yang sempurna dalam berfilsafat. Ia tidak hanya mengisi
pikiran, tidak hanya tercaplok diangan-angan dengan segala pengetahuannya, tapi
juga melakukan terobosan-terobosan gerakan dengan berbekal pengetahuan,
memungkinkan temanifestasinya pengetahuan (konsep) dalam kehidupan sehari-hari.
Segala persoalan hidup sehari-hari
yang menyangkut tentang ada dan mungkin akan ada bagian dari telaah filsafat. Begitu
juga dalam pandangan filsafat Thusi. Baginya objek filsafat terdiri dari
pengetahuan mengenai segala sesuatu yang ada. Ia dibagi menjadi dua kategori
yang didasarlkan pada sifat dasar sesuatu sebagaimana adanya. Hal-hal yang
maujud (eksisten) terdiri dari dua jenis:
pertama hal-hal yang eksistensinya tidak bergantung pada tindakan kita, dan
kedua hal-hal yang eksistensinya
bergantung pada tindakan kita. Filsafat teoritis (hikmah i nazhari) menjadikan kategori maujud yang pertama sebagai
objeknya, dan filsafat praktis (Hikmah i
‘amali) menjadkan kategori maujud yang kedua sebagai objeknya[4].
Selanjutnya filsafat teoritis
dibagi menjadi dua kategori; pertama
pengetahuan tentang sesuatu yang eksistensinya - dan konsepsi tentangnya - tak
terkait dengan dan tak bergantung pada materi, dan kedua, pengetahuan tentang sesuatu yang eksistensinya bergantung
pada materi. Kategori yang terakhir ini dibagi lagi menjadi dua bagian; pertama pengetahuan tentag sesuatu yang
kebergantungannya pada materi tidak bersifat esensial bagi konsepsinya, dan kedua, pengetahuan tentang sesuatu yang
kebergantungannya pada materi bersifat esensial. Akibatnya filsafat teoritis
dibagi menjadi tiga kategori: metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu alam[5].
Metafisika
terdiri dari; pertama
pengetahuan tentang Tuhan, wujud yang karena kedekatannya dengan hadiratnya
menyebabjkan wujud lain ada, seperti intelek-intelek/akal-akal, jiwa-jiwa, dan
perinsip yang mengatur perbuatan-perbuatan mereka, pengetahuan ini disebut
teologi. Kedua pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum yang mengatur
wujud-wujud yang ada sebagaimana adanya seperti ke esa-an (wahdah), kemajmukan, keniscayaan, kemungkinan, keterciptaan,
keazalian dan sebagainya. Metafisika selanjutnya dibagi dalam beberapa sub
bagian terkecil seperti kenabian, hukum ilahi, hari kahir dan masalah terkait
lainnya. Matematika dibagi menjadi
empa bagian; geometri, aritmatika, astronomi, dan musik. Ilmu-ilmu alam dibagi menjadi delapan, pengetahuan tentang waktu,
ruang, gerak, ketakberhinggaan dan keberhinggaan; pengetahuan tentang
objek-objek sedarhana/tunggal dan majmuk, pengetahuan tentang bumi dan iklimnya
seperti kilat, hujan, salju gempa bumi dan sebagainya, diantar sub-sub bagian
ilmi alam ini terdapat kedokteran, dan astronomi[6].
Sementara itu Thusi
mendefinisikan filsafat praktis sebagai pengetahuan tentang sarana-sarana bagi
tindakan-tindakan suka rela dan bagi amalan-amalan kreatif manusia, karena
tndakan itu berhubungan dengan urusan-urusan dunia dan akhirat[7]. Dalam
filsafat praktis seseorang harus meletakkan bangunan pengetahuan dalam rangka
bekal dalam bertindak. Filsafat praktis terdiri dari dua subjek; pertama,
sesuatu yang berhubungan dengan manusia sebagai individu. Kedua, sesuatu yang
berhubungan dengan manusia sebagai anggota masyarakat. Tentang sosiologinya
menjadi dua cabang; pertama pengetahuan tentang masala-masalah umum masyarakat
yang ada dalam kehidupan rumah tangga rakyat biasa, dan kedua, pengetahuan
tentang masalah-masalah yang biasa terjadi dalam kehidupan kota, provinsi,
negri, bahkan kerajaan. Jadi Thusi mebagi filsafat praktis menjadi tiga; etika,
politik domestik dan poitik nasional.
Seperti aristoteles, Thusi meletakkan
logika menjadi kategori yang terpisah dan independen dibawah rubrik filsafat
teoritis. Bagi Aristoteles logika[8] adalah
metode dasar bagi pengembangan bidang filsafat[9].
Sementara menurut Thusi logika berguna untuk mengetahi bagaimana mengetahui
sesuatu, cara atau jalan untuk mengatasi yang tidak diketahui[10]. Dengan
demikian logika bagi Thusi hanyalah alat, piranti atau pisau analisa untuk
mencari dan mendapatkan bentuk-bentuk lain pengetahuan, dan cara berpikir
lurus, sistematis, logis dan analitis.
Ontologi
Pada tataran metafisika Thusi meletakkan
pondasi filsafatnya secara terpisah antara metafisika umum dan khusus. Metafisika
umum yang didalamnya ada ontologi berperan penting dalam pemikirannya, karena
ada saling keterkaitan dengan metafisika khususnya masalah teologi. Ontologi (ada)
Atthusi termasuk dalam tradisi klasik Ibnu Sina. Filsuf islam selain Al-Kindi dan
Al-Farabi, Thusi dan Ibnu Sina adalah dua tokoh peripatetik[11] yang
dalam madzabnya bertalian nyambung pada Aristoteles. Ia adalah salah satu tokoh
wakil filsafat parepatetik paling terkemuka setelah serbuan Mongol dan pada
saat yang bersamaan terkenal karena doktrin-doktrin isyraqinya[12].
Dari sini dapat dilihat bahwa Thusi dalam filsafatnya banyak dipengaruhi Aristoteles
dan Ibnu Sina, baik ontologi maupun teologinya[13] yang bertumpu
pada silogisme, argumentasi rasional, dan demonntrasi rasional.
Ditinjau dari segi ontologis,
seluruh eksisten (maujud) terbagi
kedalam dua klasifikasi: maujud wajib dan maujud mumkin (contingen). Maujud wajib adalah sebuah maujud yang wujud/segala
keberadaannya tegak berdiri dengan sendirinya (tanpa memerlukan orang lain).
Sedangkan maujud mumkin adalah maujud yang wujudnya tidak dengan sendirinya,
tetapi karena wujud zat yang lain[14]. Maujud
mumkin dibagi dalam dua klasifikasi; substansi dan aksiden. Selnjutnya
substansi dibagi menjadi empat klasifikasi; forma, materi, benda, dan immaterial[15].
Masalah eksistensi atau wujud,
jika Aristoteles mengatakan eksistensi adalah balok tanpa celah yang kemudian
dikenal dengan teori materi rapat. Ibnu Sina tak mau kalah dengan memperkaya
konsepsi terkait eksistensi dengan membuat pembedaan fundamental antara wajib
ada, mungkin ada, dan ketidak mungkinan atau mustahil ada[16]. Sampailah
Thusi pada kesimpulan bahwa wujud sangat universal, sehingga tidak butuh
pembuktian[17].
Wujud yang sangat universal adalah wujud yang didapat dari proses abstraksi[18].Tidak
butuh pembuktian karena wujud eksternal maupun yang bersifat mental hakikatnya
tak khan lepas dari universalitas itu sendiri. Sekalipun seseorang membayangkan
sesuatu yang tidak ada wujudnya dalam reliata, dan menghukumi dengan beberapa
hukum yang pasti, seperti mustahil dan tidak ada. Sesungguhnya apa yang
dimengerti adalah universal, dan segala yang ada dialam luar adalah hal yang
parsial, dengan demikian, maka segala sesuatau yang universal berkaitan dengan
segala yang berwujud[19]. Akan
tetapi dalam bidang teologi Thusi menyatakan mustahil bagi manusia yang
terbatas, untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhannya[20].
Permasalahan Tuhan adalah sesuatu yang immaterial, mustahil manusia sebagai
wujud material yang terbatas mengetahui Tuhan secara gamblang. Manusia hanya
mampu sebatas memahami wujud Tuhan. Manusia hanya bisa merasakan dekat dengan
Tuhan. Jadi mustahil membuktikan Tuhan secara keseluruhan. Walaupun manusia
bisa mencapai hal yang metafisik melalui tindakan dan pemikiran. Bukan berarti
manusia tahu secara pasti akan Tuhan. Kecuali Pemahaman wujud fisik yang dapat
dicapai melalui persepsi-persepsi indra, mungkin manusia mampu mengetahui
secara jelas. Sebagaimana pernyataannya yang
hanya sebatas percaya adanya wujud niscaya dan tidak mengindikasikan mengetahui
wujud niscaya secara keseluruhan “barang siapa yang percaya pada hal-hal yang
non material, baik secara intelektual maupun spiritual. Maka tak sulit baginya
percaya pada wujud-wujud non material seperti wujud Niscaya[21].
Teologi
Seperti yang telah disinggung
di atas, Ontologi Thusi sangat berkaitan erat dengan pemikiran teologinya.
Dalam bidang teologi Thusi membuktikan asal muasal yang pertama, sesuatau yang
tidak ada mendahuluinya dan tidak mempunyai asal. Asal muasal yang utama
mustahil lebih dari satu karena segala yang lebih dari satu berarti banyak, dan
segala yang banyak tentu terdiri dari unit-unit (satuan-satuan ) individual,
dan tiap-tiap satu dari stuan-satuan itu tentu mendahului wujud yang tersusun
itu. jadi asal muasal itu satu dan bukan banyak. Asal muasal pertama yang tanpa
asal usul itu mustahil sebagai wujud yang mungkin, karena setiap wujud yang
mungkin itu pasti mempunyai asal muasal[22]. Oleh
karena itu Thusi menggunakan rasionalisasi yang tidak terjebak dalam lingkaran
syetan dalam rentetan sebab akibat-yang menjadi sebab bagi semua akibat-yang
ada sebelum semua akibat. segala kebergantungan pasti dari yang satu, jika
tidak demikian mustahil terjadi wujud yang tanpa asal muasal yaitu wajib
niscaya. Karena satuan-satuan adalah bergantung kepada yang satu wujud, maka
wujud niscaya wajib adanya. Pada kenyataannya sesuatu kebergantungan berada,
maka menandakan asal muasal wujud itu ada yaitu wujud Niscaya. Inilah yang
dimaksudkan Thusi dengan upaya membutikkan Satu Yang Hakiki yang merupakan
asal-muasal pertama dari semua yang ada, Maha Agung Wujudnya dan Maha Suci Zat dan
Sifatnya.
Thusi sebagaimana lazimnya filsuf
Islam lainnya yang mengatakan Tuhan adalah Wujud Murni, sedangkan transendensi
rantai wujud dan tatanan eksistensi kosmik dan dunia adalah kontingen
(tergantung). Semua itu hanyalah untuk membedakan antara wujud murni dan
eksistensi dunia. Dengan demikian wujud itu bisa berupa niscaya dan mungkin.
Jika suatu wajud itu niscaya, ia tak mungkin (mustahil tidak ada). Keberadaannya
tidak ditentukan oleh sesuatu hal apapun, Wujud yang keberadaannya niscaya
disebut wujud niscaya. Apabila suatu wujud itu mungkin atau bergantung agar
menjadi ada atau mengada, maka ia harus didasarkan atas atau bergantungan pada
sesutau yang lain, dan sesutau yang lain itu pada gilirannya bisa jadi wujud
niscaya, atau wujud mungkin lainnya.
Wujud-wujud duniawi mustahil
menjadi wujud Niscaya, karena wujud-wujud bisa jadi berupa aksiden-aksiden atau
substansi-substansi. pada hakikatnya aksidn-aksiden itu bergantung pada yang
lain yaitu substansi, dan substansi-substansin itu mungkin bersifat jasmaniah
dan karena itu tersusun dan dapat rusak. Atau mungkin bebas dari materi atau
abstrak. Kesimpulannya Ada Niscaya tanpa membutuhkan keberadaan sesuatu, Dia yang
Awal, keberadaanya bukanlah kebergantungan pada sesuatu baik yag bersifat
material maupun yang non material.
Masalah non wujud Thusi tidak
berpihak kepada dua pandangan yang bertentangan. Hanaya saja ia mengurakan
bagaimana pertentangan antara yang mengingkari eksistensi yang non wujud yang
ia sebut kaum nafiyan dan kelompok yang percaya pada eksistensi non wujud yang
ia sebut musbitan. Ia hanya menyimpulkan “ketika orang-orang cerdas berpikir
tentang hal ini (masalah non wujud). Mereka harus menerima apa yang diterima
oleh pikiran mereka, dan tentu saja tidak boleh mengikuti orang lain begitu saja.
Di bawah ini pemaparan Thusi;
Ketahuilah bahwa orang-orang berilmu
berbeda pendapat tentang apakah non wujud itu sesuatu ataukah bukan sesuatu.
Non wujud yang mereka maksudkan adalah wujud mungkin. Kaum nafiyan berpendapat
bahwa non wujud itu bukan sesuatu. Mereka tidak membedakan wujud mungkin dengan
wujud mustahil. Mereka menganggap kedua-duanya sebagai non wujud. Kedua kelompok
itu juga tidak sependapat dalam hal-hal lainnya. . kaua musbitan percaya kapada
suatu sifat yang bukan wujud dan bukan pula non wujud. Mereka menyebut sifat
itu suau disposisi. Akan tetapi kaum nafiyan menolak status antara yang teletak
diantar wujud dan non wujud. Kedua kelompok itu juga tidak sepakat tentang
masalah berikut; kaum musbitan memandang non wujud, dalam status
ketakwujudannya, disifati oleh suatu sifat …mereka mengaggap wujud sebagai
suatu ciri umum semua maujud. Mereka juga membedakan antara penegsan /penetapan
dan wujud itu sendiri, tetapi bukan antara wujud dan non wujud. Namun mereka
tidak membedakan antara pengingkaran/penegasian dan penegasan/pembenaran. Dilain
pihak, kaum nafiyan menganggap wujud segala sesuatu sebagai esensi atau dzatnya.
Mereka tidak membedakan antara tsubut dan wujud. Jadi kaum musbitan mengagap
semua esensi-baik substansi maupun aksiden – itu ada secara azali, yang
disifati dengan sifat-sifat genus, misalnya substansi dengan watak
substansinya, hitam dengan warna hitamnya, walaupun belum maujud. Kaum musbitan
menganggap bahwa wujud adalah suatu disposisi /tempelan, maksudnya, ia bukan
wujud dan bukan non wujud. Jadi Sang Pelaku, Yang Maha Besar, Yang Maha
Kuasalah yang Ada, yang menyipati esensi-esensi dengan wujud, dan itulah makna
menjadikan ada dan menjadikan mengada. Bagi kaum nafiyan, tidak ada yang tetap
secara azali, kecuali Tuhan. dia menciptakan semua esensi dan sifat, dan bahwa
makna menjadikan substansi ada adalah menyebabkan substansi menjadi ada setelah
sebelumnya tidak ada[23]
Terkait apakah dunia ini kekal
atau dicipakan oleh Tuhan dari ketiadaan (hadis) merupakan pembahasan yang
menarik dalam filsafat islam. Ath Thusi disatu sisi dalam karyanya Tashawwurat
(yang ditulis pada masa pemerintahan isma’iliyah) Thusi mengecam doktrin creatio ex nihilo. Pandangan yang
menyatakan adanya waktu ketika dunia ini belum maujud dan kemudian Tuhan
menciptakannya dari ketiadaan. Secara jelas mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah pencipta sebelum adanya
penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptaannya. Masih bersifat potensial yang
kemudian hari baru diwujudkan, dan ini merupakan sangkalan atas daya cipta nya
yang kekal. Oleh sebab itu logisnya, Tuhan itu selamanya merupakan pencipta
yang mengaitkan eksistensi penciptaan kepada dirinya. Dunia in dengan kata
lain, merupakan sesuatu yang sama kekalnya dengan Tuhan. Disini Ath Thusi menutup
pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan Tuhan
yang menyempurnakannya, meskipun dalam hak dan kekuatannya sendiri, ia tercipta[24].
Disisi yang lain karyanya
Fushul, Thusi mendukung sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai creatio ex nihilo. Dengan menggolongkan
zat menjadi yang pasti dan yang mungkin, Dia mengemukakan bahwa bahwa
eksistensi nyang mungkin itu bergantung kepada yang pasti, dan karena ia maujud
akibat sesuatu yang lain dari dirinya, tidak dapat dikatakan ia dalam keadaan
maujud sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang tidak
maujud iu tidak ada, begitu juga Kemaujudan Yang Pasti itu menciptakan yang
mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal-hal
yang ada itu disebut yang tercipta (muhdast)[25].
Dengan menggolongkan dzat menjadi yang pasti
dan yang mungkin. Wujud dibagi wajib bidzatihi dan mumkin bidzatihi. Wajib
hanya memandang kepada dzatnya yang wajib al wujud dan mumkin bidzatihi kalau
dari wajib wujudnya. Apabila dikatakan ghairu maujud (bukan wujud). Bukan
berarti mustahil[26].
Kecuali ma’dum (non wujud) itu
mustahil maujud. Karena ma’dum (bukan ghairu maujud) merupakan lawan dari
wujud. Sesuatu yang mustahil ada sesungguhnya wajibul wujud tidak tidak
memberikan peluang untuk ada dan mengada, maka konsekwensi logisnya menjadi
mustahil ada dan mengada, bukanlah sebab, tetapi wajibul wujud tidak ingn
menghendakinya pada sesuatu yang tidak mungkin (mustahil)[27].
Jiwa
Menurut At-Thusi, jiwa merupakan substansi sederhana dan
immaterial yang dapat merasa sendiri[28]. ia adalah
substansi yang secara dzati independen. Artinya ia adalah sebuah maujud yang
tidak memilki subjek, tempat dan materi serta seluruh sifat dan kreteria yang
dimiliki oleh materi. Akan tetapi dalam aktifitas ia memerlukan fasilitas
material[29].
Dengan demikian karena jiwa bukanlah materi atau material dan tidak bergatung
pada tempat. Maka badan ini bukanlah tempat bagi jiwa. Badan hanyalah sebuah
alat dan fasilitas baginya. Sebagaiman kerusakan alat dan fasiltas tdak dapat
menimbulkan keruskan bagi pemilik dan pemakainya, kematian dan kerusakan
susunan badan manusia juga tidak dapat menimbulkan kerusakan dan kehancuran
jiwa. Dngan kerusakan badan hanya fungsi dan kinerja jiwa manusia akan rusak
dan dengan kematian kemampuan untuk bekerja akan diambil dari jiwa ini.[30]
Sebagaimana Aristoteles dan
filsuf-filsuf sebelumnya yang membagi jiwa menjadi tiga bagian. Jiwa tumbuhan,
hewan, dan manusia. [31]Athhusi
menambahkan jiwa imajinatif berkenaan dengan persepsi-persepsi rasa
disatu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional dipihak lain, sehingga jika ia disatukan dengan
jiwa hewani maka ia akan menjadi bergantung kepadanya dan hancur bersamanya,
tetapi jikalau ia dihubungkan dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari
anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan
kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dari tubuh, suatu jejak imajinasi tetap
berada dalam bentuknya, dan hukuman dan penghargaan jiwa manusiawi menjadi
bergantung kepada jejak ini, yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif
di dunia ini.
Pertama jiwa tumbuhan (nabati).
Efek-efek jiwa ini meliputi seluruh jenis tetumbuhan, [32]binatang,
dan manusia. Jiwa ini memiliki gerak multi orientasi yang ia lakukan tanpa
ikhtiar, kehendak, dan pemahaman sama sekali[33]. Kedua
jiwa hewani. Jiwa ini dimiliki oleh seluruh jenis binatang, termasuk bangsa
manusia. Ketiga jiwa insani. Jiwa ini hanya dimiliki oleh jenis manusia. Dengan
jiwa ini manusia terpisah dari binatang[34].
Setiap jiwa dari ketiga jiwa ini
memiliki beberapa kekuatan yang menjadi sumber aksi kinerja tertentu. [35]Jiwa
nabati memiliki tiga kekatan (daya);fakultas yang menjamin makanan, penjamin
pertumbuhan dan perkembangan badan, dan kekuatan reproduksi keturunan. Jiwa
hewani memiliki dua kekuatan; pemahaman organik dan gerak swakarsa. Kemudian
yang pemahaman organik dibagi menjadi dua klasifikasi; hal-hal yang dapat
dipahami melalui panca inderah lahiriah (penglihat, pendengar, pencium, dan peraba)
dan hal-hal yang dapat dipahami melalui panca indera batiniah (khayal, memori,
delusi,). Sementara yang kekuatan gerak swakarsa dibagi pula dalam dua
klasifikasi; kekuatan syahwat atau kecendrungan yang membangkitkan keinginan
untuk meraih manfaat dan kekuatan amarah atau kekuatan murka dan defensip yang
membangkitkan keinginan untuk menyingkirkan segala bentuk marah bahaya. Akan
tetapi jiwa manusia memiliki satu kekuatan khusus yang tidak dimiliki oleh
seluruh jenis binatang, yaitu kekuatan berpikir atau akal. Akal adalah kekuaan
khusus yang dimiliki oleh manusia guna memahami hal-hal yang bersifat universal[36]. Hal
ini berbeda dengan pemahaman terhadap hal-hal partikular yang dapat diperoleh
melalui panca indera dan sama-sama dimiliki oleh manusia dan binatang[37].
Diantara kekuatan-kekuatan diatas,
sebagian kekuatan terwujud secara natural, sehingga tidak dapat ditambah,
dikurangi, diubah, atau dipebaiki. Akan tetapi tiga kekuatan yaitu akal,
syahwat, dan amarah terwujud berdasarkan kehendak dan pikiran kita. Oleh karena
itu ketiga kekuatan itu bisa berubah dan disempurnakan. Kekuatan amarah dan
syahwat termasuk cabang jiwa hewani. Atas dasar ini, spesies manusia sebagai
bianatang yang berpikir juga memiliki kesamaan dengan spesies-spesies binatang
yang lain. Akan tetapi kekuatan akal hanya dimiliki oleh spesies manusia belaka[38]. Dengan
akal dan kehendak bebasnya manusia diberkati predikat makhluk sempurna di dunia.
Sebagimana yang pernah dikataknnya dalam akhlaqo-e
nosheri bahwa jiwa hewani lebih muliya daripada jiwa nabati, dan jiwa
insani adalah lebih muliya daripada jiwa hewani. Dengan demikian manusia maujud
termuliya di jagad raya ini[39].
Dari sudut pandang yang lain, dengan
demikian jiwa manusia dibagi menjadi tiga kekuatan. Jiwa binatang yang
merupakan jiwa terendah, jiwa buas atau jiwa biadab berada dipetengahan sebagai
jiwa antar, dan yang tertinggi jiwa malaki. Ketiga jiwa ini terdapat pada diri
manusia secara kolektif dan serentak. Thusi menyinggung istilah jiwa ini
selaras dengan Ayat Al-Qur’an, jiwa binatang sama dengan jiwa amarah, jiwa
biadab atau buas sama dengan jiwa lawwamah, jiwa malaki sama dengan jiwa
mutmainnah. Karena jiwa buas atau biadab yang dalam alqur’an biasa dsebut
lawwamah berada pada posisi tengah, sekalipun biadab, jika dipelajari masih ada
peluang untuk beralih menjadi muthmainnah atau menjadi amarah. Sementara jiwa
amarah memerintah manusia supaya mengumbar dan mengikuti ajakan syahwat,
setelah melakukan aksi yang terhitung sebagai kekurangan dan bukan kesempurnaan.
Jiwa lawwamah dengan dorongan penyesalan dan cercaan menampakkan aksi ini
dihadapan mata hati sebagai sebuah tindakan yang sangat buruk. Jiwa mutmainnah
tidak pernah rela kecuali dengan aksi-aksi yang luhur dan terpuji[40].
.
[1]
Hamid Dabashi, Ensiklopedia Tematis
Filsafat Islam Jilid 2., hal 813
[2]
Muthahhari, Filsafat Teoritis
dan Filsafat Praktis, hal 9
[3]
Hamid Dabashi, Ensiklopedia
Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 813
[4]
Ibid hal, 813
[5]
Ibid , 814
[6]
Hamid Dabashi, Ensiklopedia
Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 814
[7]
Ibid hal, 815
[8] Yang oleh aristoteles disebut analitika (untuk
meneliti argumentsi yang berangkat dari proposisi yang benar) dan dialektika
(untuk meneliti argumentasi yang diragukan kebenarannya)
[9]
Hendrik rapar, pengantar
filsafat, hal 34
[10]
Hamid Dabashi, Ensiklopedia
Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 815
[11] Peripatetik yang artinya berarti berjalan
mondar-mandir adalah semata-mata sebuah nama yang tidak memiliki hubungan
dengan metode Aristoteles dan pengikutnya. Mereka mengatakan mengapa Aristoteles
dan para pengikutnya disebut kaum peripatetik. Karena Aristoteles memiliki
kebiasaan mengajar sambil berjalan-mondar-mandir. Ada sebagian yang mengatakan bahwa
parepatetik itu diambil dari sebuah tempat atau ruangan tempat mondar mandir
ketika Aristoteles mengajar. Lih, K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, hal 131.
Dari sanalah setiap filsuf yang bermadzhab ke Aristoteles disebut filsuf peripatetik
yang metodenya bertumpu pada argumentasi rasional
[12] Seperti karyanya Thusi “perjalanan pulang ke Tuhan
sebuah prinsip dan metode penyucian jiwa”. Yang berisi diantaranya tahapan awal
suluk dan syarat-syaratnya; iman, keteguhan (tsubat),
niat, kejujuran (sidq),
penyesalan (inabah), ketulusan (ikhlas). Kemudian rintangan dan
hambatan pada jalan suluk; tobat, zuhud, kemiskinan (faqr), kedisiplinan diri (riyadhah),
perhitungan dan kehati-hatian diri,
(muhasabah dan muraqabah), takut kepada allah. Selanjutnya pencarian
kesempurnaan dan maqam-maqam pesuluk; pengasingan diri (khalwah), perenungan (tafakkur),
ketakutan (khawf) dan duka cita (huzn), harapan (raja’), kesabaran (sabr),
syukur. Menju maqam-maqam sebelum puncak hakikat; keinginan (iradah), kerinduan (syawq), kecintaan (mahabbah),
pengetahua (ma’rifah), keyakinan,
ketentraman. Yang trakhir maqam-maqam dipuncak hakikat; kepasrahan (tawakkal), kepuasan (ridha), ketaatan (taslim), keesaan Allah (tawhid),
penyatuan (ittihad), kesatuan (fana’)
[13] Thusi diriwayatkan
percaya percaya pada keniscayaan pembuktian dalil rasional mengenai eksistensi Tuhan
untuk setiap orang beriman sampai suatu ketika ia berjumpa dengan seorang
petani yang bersahaja “apakah Tuhan itu satu atau dua?”demikian pertanyaan yang
diajukan Thusi. “hanya satu” jawab petani. “apakah sikap anda jika seseorang
berkata kepada anda Tuhan itu dua?”Tanya Thusi selanjutnya.”akan aku pecahkan
kepalanya dengan sekop ditanganku ini”jawab petani. Seperti anekdot-anekdot lainnya tentang Thusi
banyak, kisah ini menggaris bawahi bagian-bagian melegenda yang menjadi sikap
perhatian sikap rasional filosof ini tanpa kenal lelah.
[14]
Kheradamardi, Manajemen
Politik Perspektif Khajeh Nashiruddin, hal 32
[15]
Ath Thusi dalam majmueh –e
rasoel; qesm-e maujodut
[16]
Hossein Nasr, Intelektual Islam,
hal 40
[17]
Hamid Dabashi, Ensiklopedia
Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 800
[18] Kegiatan mengetahui adalah proses abstraksi.
Suatu objek dalam wujudnya tidak terlepas dari aksiden-aksiden dan
atribut-atribut tambahan yang menyelubungi hakikatnya. ketika subjek
berhubungan dengan objek yang ingin diketahui, hubungan itu melibatkan ukuran,
cara, tempat dan situasi. Selanjutnya abstraksi dibagi empat tahap. Pertama
terjadi pada indera. Ketika indera menangkap gambar objek, ia harus berada pada
jarak tertentu dari objek dan dalam keadaan tertentu. Kedua terjadi pada al
khayal. Kalau pada indera, hubungannya dengan objek harus berada pada jarak dan
situasi tertentu, pada al khayal keharusan demikian tidak ada. Al khayal
menngkap gambar objek tanpa melihat, tetapi tangkapannya masih meliputi
aksiden-aksiden dan atribut-atribut tambahan seperti kualitas dan kuantitas.
Ketiga abstraksi terjadi pada al wahm (menagkap makna-makna yang terlepas dari
atribut-atribut material seperti al mahabbat).disini yang ditangkap bukan lagi
gmbar objek, melainkan makna abstrak dari objek tertentu tersebut terlepas dari
atribut-atribut dan aksiden-aksiden, seperti musuh, teman. Kebedaan dan
kesamaan. Keempat tajrid alkamil (tangkapan akal yang merupakan abstraksi yang
sempurna ) pada tahap ini, abstraksi telah melepaskan seluruh yang berkaitan
dengan materi dan aksiden, yang tinggal adalah makna universal. Lihat Al-Ghazali,
Ma’rij Al Quds fi Madarij Ma’rifat Al Nafs, hal 66. Atau lihat Yasir Nasution,
Manusia Menurut Al Ghazali, hal, 136-137
[19]
Hanafi, Dari Akidah Ke
Revolusi, hal 213
[20]
Dedi supriyadi hal 258
[21]
Hamid Dabashi, Ensiklopedia
Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 800
[22]
Ibid hal, 803
[23]
Hamid Dabashi, Ensiklopedia
Tematis Filsafat Islam Jilid 2, hal 801-802
[24]
Dedi supriadi, Pengantar
Filsafat Islam, hal 158
[25]
Dedi supriadi, Pengantar
Filsafat Islam, hal 259
[26]
Syahrastani, Al Milal Wa Al
Nihal, hal 157
[27]
Russel, Searah Filsafat Barat,
hal 605
[28]
Lih, Ach. Dhofir Zuhri,
filsafat Islam
[29]
Jamaluddin Hasan bin Yusuf
Hilli, Kasyf Al-Murad fi Syarahtajrid Al-I’tiqad, hal164
[30]
Ath Thusi, Akhloq –e Nosheri hal
54
[31]
Dedi supriadi, Pengantar
Filsafat Islam, hal 255-256
[32] Atas dasar ini, manusia sebagai spesies; yakni
hewan yang berpikir dan bintang sebagi materi yang berkembang biak dan
bergerak, memiliki kekuatan hal tersebut diatas. Dari sisi reproduksi manusia
adalah sama dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang, disisi pemahaman organik dan
gerak yang didasari kehendak sama dengan binatang. Dari sisi akal ia terpisah
dari semua itu.
[33]
Ath Thusi, Roudhah At-Taslim,
hal 23
[34]
Ibid, hal 56
[35]
Kheradamardi, Manajemen
Politik Perspektif Khajeh Nashiruddin, hal 37
[36]
Ibid hal, 56-57
[37]
M.Y Rad, Andisyeh-e-Siyosi-e Khajah
Nasiruddin Tusi, hal 54
[38]
At Thusi, Akhloq –e Nosheri, hal
58
[39]
Ibid, hal 59-62
[40]
Ibid, hal 76-77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar