Mulla Shadra
Pendahuluan
Pasca wafatnya Ibn Rusyd pada abad
keenam Hijri, banyak yang beranggapan filsafat Islam telah tiada, statement itu
ternyata tidak terbukti, sebab tidak dipungkiri lagi kalau faktanya banyak
sekali filsuf Islam yang terilhami dengan pemikiran-pemikiran filsuf klasik.
Seperti Mulla Shadra sebagai panggagas Hikmah Muta’aliyah (Trancendent
Theosophy), inilah yang disebut puncak dari upaya pemikir Islam guna
menselaraskan seluruh pemikiran yang mempengaruhi filsafat Islam.[1]
Makalah ini akan menjelajahi profil
dan pemikiran Maulana Mulla Shadra, yang mana Mulla Shadra dibesarkan ditengah
keluarga Syi’ah, tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, meskipun kita
tahu, seorang ilmuan sejati akan senantiasa berusaha tidak terintervensi oleh
apapun, mengingat kapasitasnya sebagai ilmuan dituntut untuk berpandangan
objektif universal. Akan tetapi saya tidak ragu lagi bahwa ajaran-ajaran Syi’ah
dengan sendirinya tetap mempengaruhi pada pola pikir Mullha Shadra.
Syekh
Mulla Shadra, menurut Jalaluddin Rachmat terinspirasi para Imamah, misal
pemikiran Imam Ali r.a dengan “Nahjul al-Balaghah”nya, Imam Jakfar
Shodiq. Kendati beliau seorang Syi’ah sejati, pemikiran beliau juga tidak lepas
dari pengaruh filsuf Yunani, terutama oleh Neo-Platonis, Saikh al-Akbar Ibn
Arabi, filsafat Peripatetik dan al-Isyraqi Syuharawardi al-Maqtul.[2]
Biografi dan
Studi Mulla Shadra
Mulla Shadra lahir ditengah keluarga
terhormat, beliau adalah salah satu filsuf yang disegani di dunia Islam,
khususnya dikalangan intelektual Muslim saat ini. Nama lengkapnya Muhammad ibn
Ibrahim Al-Qawam Al-Syirazi, ia dikenal dengan panggilan Mulla Shadra bagi banyak
kaum Muslim, terutama di Persia, Pakistan, dan India.[3]
Gelar kehormatannya Shadr Al-Din (Ahli Agama), gelar tersebut
membuktikan bahwa ia mempunyai kedudukan yang tinggi dikalangan pakar teolog
dizamannya, sebutannya sebagai Teladan, atau Otoritas Filosof-Filosof Ilahi (Shadr
Al-Muta’allihin) menandakan posisinya yang unik di mata generasi-generasi
filsuf yang datang setelahnya. Ia lahir di Syiraz, Persia Selatan pada tahun
979 H/1572 M. Ayahnya sebagai mentri dan sekaligus ulama dalam istana Shafawiyyah.
Mulla Shadra naik haji enam kali,
pada perjalanannya yang ketujuh 1050 H/1640 M ia berpulang keharibaan Ilahi
Rabbi, dimaqamkan di Basrah, maqamnya dikenang sampai sekarang.[4]
Informasi yang lengkap dan akurat tentang kehidupan, masa belajar, murid-murid,
dan nata’iju al-fikr-nya masih abadi hingga hari ini. Sebagaian
disebakan oleh relative kedekatannya dengan zaman kita, sejumlah autografinya,
banyak surat dan komentar ringkas tentang tradisi-tradisi tekstual sebelumnya
dapat diselamatkan, yang memberikan kepada kita wawasan yang lebih baik tentang
kepribadiannya daripada sebagian besar filsuf periode-periode sebelumnya.
Kebanyakan sejarahwan dan komentator atas karya-karyanya membagi kehidupannya
menjadi tiga periode terpisah.[5]
Selesai studi di Syiraz, tempat
kelahirannya, ia pergi ke Ishfahan, pusat kekuasaan Dinasti Shafawiyyah dan
salah satu pusat terpenting pendidikan Islam abad ke-10 H/ke-16 M. Di situ,
pertama-tama Shadra masuk fakultas Islam Tradisional (al-ulum al-naqliyah),
di dalamnya faqih besar Baha’ Al-Din Muhammad Al-Amili (w. 1031 H/1622 M)
meletakkan landasan fiqih Syi’ah yang modern dan didefinisikan dengan baik.
Studi-studi komprehensif awal Shadr Al-Din tentang konsepsi-konsepsi Syi’ah
mengenai fiqih dan ilmu hadits serta ta’arruf-nya dengan tafsir Al-Quran
oleh ilmuan besar Syi’ah itu dan membedakan dirinya dengan hampir semua filosof
Islam Abad Pertengahan sebelumya, yang pengetahuan mereka tentang hal itu hanya
sebatas dasar-dasarnya. Masa pembentukan intelektual Shadra ini menegaskan
pemikirannya secara mendalam dan menggambarkan salah satu dari dua tren utama
dalam proses kreatifnya.
Di periode yang sama, Muhammad ibn
Ibrahim Al-Qawami Al-Syirazi (Mulla Shadra) mulai mengkaji apa yang lazim
dikenal sebagai ilmu logika (al-ulum al-aqliyah) dibawah bimbingan salah
seorang filsuf besar dan orisinal, Sayyid Muhammad Baqir Astarabadi, yang
dikenal luas dengan panggilan Mir Damad (w. 1040 H/1631 M). Beliau dijuluki Khatam
Al-Hukama’ dan “Guru Ketiga” pasca Aristoteles dan Al-Farabi, ia sangat
bangga dengan kecerdasan muridnya dalam membangun argument filosofis. Sekiranya
tidak dikalahkan oleh kecemerlangan Shadra, mungkin Mir Damad akan lebih banyak
dikenang dari yang dilakukan belakangan ini karena kumpulan dan revisinya atas
korpus tekstual filsafat islam yang lengkap, upaya Mir Damad mendorong adanya
perpustakan-perpustakan besar guna menampung tradisi-tradisi manuskrip lama,
menyalin dan mempublikasikan dapat sokongan dana dari Istana shafawiyyah. Bukti
konkret adanya aktivitas besar ini, yaitu jumlah yang mengesankan dari
manuskrip berbahasa Arab dan Persia yang kini tersimpan dalam koleksi besar di
seantero dunia, semua diproduksi di Ishfahan selama periode itu. Melalui
patronase dukungan istana, karyanya sendiri tentang subjek filsafat, khususnya
yang berjudul Qabasat[6]
dan karyanya yang belum diedarkan “Al-Ufuq Al-Mubin” telah
mewarnai corak perkembangan filsafat hingga hari ini. Usaha Mir Damad
membangkitkan kembali semangat filsafat tidak sia-sia, ia seorang creator yang
ulung, dimana sedari Filsfat Islam setelah wafatnya Ibn Rusyd diprediksikan
punah, ia justru berhasil mendirikan Mazhab Ishfahan.[7]
Masa belajar Shadr Al-Din yang panjang dengan pemikir visioner ini mewarnai
aspek filosofis. Tren filosofis ini kemudian menjadi salah satu mazhab utama
filsafat Islam yang paling dominan dengan predikat nama filsafat metafisika (al-Hikmah
al-Muta’aliyah). Sebutan ini khususnya dipilih oleh Shadra untuk
menunjukkan tujuan filosofisnya yang spesifik, yang mesti dikaji dan diuji
secara memadai.
Mengajar dan
Kontemplasi Filosofis
kemasyhuran
Shadr Al-Din sebagai guru dua cabang ilmu naqliyah dan ‘aqliyah
segera merebak sepanjang ibu kota Shafawiyyah. Banyak jabatan resmi ditawarkan,
tidak satupun yang diterima, sebagaimana yang disepakati oleh biografernya.
Ketaksudian Shadra terhadap penghargaan material serta penolakannya mengabdi di
istana dalam bentuk apapun terbukti dari fakta bahwa tidak ada karyanya yang
dipersembahkan kepada seorang putra mahkota atau penguasa lainnya, padahal
pencantuman seperti itu merupakan praktek lazim pada masa itu. Para sejarahwan
juga menyatakan bahwa ketersohoran tiba-tiba Shadr Al-Din menemui kecemburuan
khas dari pihak anggota komunitas ulama. Ia ditudu kafir secara semana-mena,
dan ini merupakan salah satu faktor penolakannya menjadi pusat perhatian
lingkaran-lingkaran Shafawiyyah di Ishfahan. Namun, ia bersedia kembali ke kehidupan
publik dan mengajar di madrasah yang dibangun dan ditunjang oleh bangsawan
Shafawiyyah, Allahwirdi Khan, di Syiraz. Lembaga pendidikan baru, yang jauh
dari lingkungan politik ibu kota, cocok bagi kesibukan dan keasyikan Shadr
Al-Din yang semakin meningkat dengan mengajar dan meditasi.
Bahasa yang digunakan untuk menggambarkan
kehidupan kontemplatif Shadr Al-Din dengan kuat memperhatikan sikap
Iluminasionisnya terhadap filsafat, dan pandangan Iluminasionis tentang
keutamaan pola pengetahuan intuitif yang dialami khususnya.[8]
Suhrawardi telah mendemonstrasikan keabsahan visi-iluminasi (musyahadah wa
isyraq) sebagai sarana bagi penemuan kebenaran-kebenaran abadi yang dipakai
dalam konstruksi filsafat. Tradisi Iluminasi secara berulang-ulang menggunakan
alegori (kiasan) perjalanan batin yang diarahkan kepada mundus imaginalis (alam
khayal) sebagai metoda tertinggi untuk memperoleh prinsip-prinsip filsafat
yang benar. Suhrawardi telah menetapkan urutan tindakan-tindakan tertentu
sebagai langkah pertama yang diperlukan untuk mencapai visi ini, yang
diyakininya akan menghasilkan pengetahuan atemporal dan langsung tentang
seluruh realitas. Shadr Al-Din ternyata menerima diktum-diktum ini dengan
sungguh-sungguh. Semua biografernya menyinggung soal praktik asketis (riyadlah)
dan pengalaman visioner (musyahadah, mukasyafah)nya.[9]
Banyak di antara tulisan-tulisan filosofis Shadr Al-Din menginformasikan kepada
pembaca bahwa esensi argument filosofisnya pertama kali disingkapkan kepadanya
dalam pengalaman visioner, yang kemudian dianalisisnya dalam sistem diskursif.[10]
Juga selama periode kehidupan inilah
Shadr Al-Din mendidik dan melatih sejumlah pelajar. Aktivitas ini kemudian
menjadi signifikan dalam aktivitas-aktivitas filosofis selanjutnya di Persia.
Dua murid terpentingnya menghasilkan karya-karya yang dikaji dan diteliti
secara luas hingga sekarang. Yang pertama, di antara para siswanya yang layak
diperhatikan di sini, yaitu Muhammad Ibn Al-Murtadla yang masyhur dengan
panggilan Mulla Muhsin Faidh Kasyani, yang menulis sebuah risalah berjudul Al-Kamalat
Al-Makmunah, yang menekankan dua sisi pemikiran sang guru, yakni gnostik
(‘irfan) dan interpretasi Syi’ah terhadap alam al-ghaib yang
termaktub dalam Al-Quran sebagai sumber ilham. Yang kedua, Abd Al-Razzaq Ibn
Al-Husain Al-Hiji, yang ringkasan-ringkasan berbahasa Persia-nya tentang
kecenderungan Peripatetik gurunya sangat populer di Persia. Syawariq
Al-Ilham-nya layak disebut secara khusus di sini karena memasukkan
pandangan Ibn Sina tentang etika. Kedua pemikir muda ini juga menikahi kedua
putri Shadr Al-Din, mengungkapkan hubungan yang semakin akrab antara Syaikh dan
pengajar dalam lingkaran terpelajar Syi’ah yang masih terus berlangsung hingga
hari ini. Beberapa murid lainnya disinggung pula dalam sejumlah sumber
biografis, termasuk dua putra sang guru ini.
Walaupun pengaruh karya dan pemikiran
Mulla Shadra atas sejarah intelektual Islam sangat monumental, amat sedikit
studi sistematis dan komprehensif tentang filsafatnya yang tersedia dalam
terjemahan bahasa-bahasa Barat. Studi ekstensif paling awal dilakukan oleh Max
Horten, karyanya “Das Dhilosophische System von Schirazi (1913)” masih menjadi
sumber yang cukup andal meskipun penulisnya menggunakan termenologi filsafat
pramodern dan pandangan lama Orientalis.
Dalam dekade-dekade lebih
belakangan, suntingan-suntingan teks dan studi-studi rintisan Henry Corbin
membuka sebuah babak baru dalam kesarjanaan Barat tentang filsafat Islam,
melahirkan kesadaran akan eksistensi tren-tren orisinal pada periode pasca Ibn
Sina, jika bukan pemahaman analitis lengkap dan tuntas tentang signifikansi
filosofis mereka. Namun, penekanan Corbin pada dimensi yang diduga esoterik
dari pemikiran Mulla Shadra cenderung menutupi analisis filosofis Barat modern
terhadap “filsafat metafisika”.[11]
Mengikuti Corbin, kajian Sayyed Hossien
Nasr terhadap pemikiran Shadra[12]
dan kajian serta terjemahan James Morris dari karya filosofis Shadra kurang
begitu penting, yang berjudul Hikmah ‘Arsyiyyah (diterjemahkan
Morris dengan Wisdom of the Throne),[13]
juga menekankan aspek non-sistematik filsafat ini. Pilihan mereka pada
istilah-istilah seperti “teosofi transendent” tidak menunjukkan sisi filosofis
kegeniusan orisinal pemikiran Shadr Al-Din. Hingga kini, satu-satunya yang
mendalam tentang filsafat metafisika Shadr Al-Din adalah karya Fazlur Rahman, The
Philosophy of Mulla Shadra, penggunaan terminology filsafat kontemporer
oleh Fazlur Rahman dan pendekatannya terhadap sistem pemikiran filsafat Islam
menjadi pengantar berharga yang dapat disejajarkan, dari segi ruang lingkup dan
analisisnya, dengan banyak karya yang lahir pada abad ke-17 hingga ke-19.
Seberapa jauh Shadr Al-Din dapat
dianggap sebagai pemikir orisinal? Dan sejauh manakah sintesis barunya dan
reformulasinya atas apa yang diyakininya sebagai keseluruhan filsafat, yang
kemudian diberinya nama filsafat metafisika itu secara logis konsisten dan
secara filosofis masuk akal? Pertanyaan itu bisa dijawab jika studi-studi
lanjut dilakukan oleh para filososf yang berminat pada pertanyaan itu, dan oleh
orang-orang yang dengan mata terlatih dapat melihat aspek-aspek yang lebih
mendalam daripada aspek-aspek yang diduga “teosofis” dari pemikiran Shadr Al-Din.
Ini bukanlah tugas mudah, karena hingga sekarang beberapa karyanya yang telah
disunting dengan baik; dan, lebih sedikit lagi jika ada yang telah
diterjemahkan penuh arti dari sudut pandang filsafat teknis.
Sarjana yang menganalisis dan
menulis berbagai aspek filsafat Islam dari perspektif modern dengan menggunakan
bahasa kontemporer dan pendekatan analitis adalah filosof Islam terkemuka Mehdi
Ha’iri Yazdi. Meskipun sebagian besar karyanya berbahasa Persia sehingga sulit
diakses secara luas, studinya paling mutakhir dalam bahasa inggris, berjudul Knowledge
by Presence, menggambarkan suatu upaya serius untuk membuka dialog dengan
filosof Barat kontemporer.[14]
Dalam karya ini, para pengkaji filsafat modern dapat mengikuti argument
filosofis yang sudah berumur berabad-abad berkenaan dengan keunggulan
epistemologis modus pengetahuan intuitif dan eksperiensial tertentu yang
seluruhnya diuji ulang dan diverifikasi oleh Shadr Al-Din. Para peneliti
mungkin lebih menyukai modus yang murni predikatif-proporsional, yang menerima
pandangan logikawan, tetapi mereka tidak lagi dikacaukan oleh banyaknya karya
polemic yang umumnya mengabaikan konsep epistemologis Iluminasionis tentang
“melihat” (Musyahadah), modus pengetahuan dengan kehadiran yang hanya
dianggap semata “pengalaman mistik” yang umumnya disebut pengalaman sufi.
Sebagian pembaca argument-argumen epistemologis Islam dapat melihat kemiripan
menonjol dengan gagasan-gagasan Barat, seperti “intuisi primer”-nya Brouwer
dalam fondasi Intuisionisnya bagi matematika, misalnya. Sebagian barangkali
menemukan kesejajaran dan kesepadanan dengan pemikiran kontemporer tentang
masalah intuisi yang menganggap pemikiran itu sebagai hasil pemahaman subjek
yang mengetahui atas suatu objek ketika dikotomi subjek-subjek tidak berlaku,
dengan kata lain, ketika subjek dan objek satu. Sederhananya, inilah yang
dimaksud dengan “kesatuan orang yang mengetahui , apa yang diketahui”, dan akal
(ittihad al-‘aqli wa al-ma’qul wa al-‘aql), yang diperkenalkan oleh
Suhrawardi dan selanjutnya dianalisis oleh Shadr Al-Din.[15]
Masih banyak karya keilmuan yang harus dikerjakan, tahap pertama adalah editing
dan penerjemahan teks-teks Arab dan Persia. Generasi-geneasi filosof dalam
Islam, yang sebagian besar tidak menganggap diri mereka sebagai sufi, telah
mengkaji teks-teks Iluminasionis dan juga teks-teks dalam tradisi “filsafat
metafisika” Shadr Al-Din dan menganggap mereka telah mewakili system yang
sangat rasional seraya menegaskan pentingnya Iluminasi.
Karya-Karya
Utama
Lebih lima
puluh judul karya yang diduga disusun oleh Mulla Shadra.[16]
Karya-karya itu bisa dibagi menjadi dua tren utama pemikirannya: ilmu-ilmu naqliah
dan ilmu-ilmu ‘aqliah. Karya-karya Mulla Shadra tentang subjek yang
berkaitan erat dengan ilmu-ilmu naqliah, yang mencakup subjek-subjek
tradisional fiqih Islam, tafsir Al-Quran, ilmu hadits, dan teologi, dicontohkan
dengan baik sekali oleh: (1) Syarh Ushul Al-Kafi, sebuah komentar atas
terkenal Kulaini, kumpulan hadits Syi’ah pertama tentang masalah-masalah
spesifik fiqih dan teologi; (2) Mafatih Al-Ghaib, tafsir Al-Quran yang
tak tuntas; (3) sejumlah risalah pendek yang masing-masing dicurahkan atas
tafsir atas surat tertentu Al-Quran; (4) risalah pendek yang berjudul Imamah
tentang teologi Syi’ah; dan (5) sejumlah komentar ringkas tentang teks-teks kalam
standar, seperti Syarh Al-Tajrid, karya Qusychi.[17]
Karya-karya Shadr Al-Din yang lebih
penting, yang diterima luas oleh kaum Muslim sebagai puncak perkembangan
filsafat Islam, adalah karya-karya dalam bidang ilmu-ilmu aqliah. Karya-karya
utamanya dalam kelompok ini, antara lain: (1) Al-Asfar Al-Arba’ah
Al-Aqliyyah,[18]
korpus filosofis definitif Shadr Al-Din, yang memuat bahasan-bahasan terperinci
tentang semua subjek filsafat; (2) Al-Syawahid Al-Rububiyyah,[19]
umumnya diterima sebagai ringkasan Asfar, dan (3) komentar-komentar
ringkas atas karya Ibn Sina, Syifa, dan atas karya Suhrawardi, Hikmah
Al-Isyraq.[20]
Kedua komentar ringkas ini, yang hanya tersedia dalam edisi faksimile,
merupakan petunjuk tentang kepiawaian dan kepakaran Shadr Al-Din dalam
mengembangkan, menolak, atau mempertajam argument-argument filosofis. Tidak
seperti sebagian besar komentar dan komentar ringkas sebelumnya, ia tidak puas
dengan hanya menguraikan butir-butir yang sulit, tetapi juga hendak
mendemonstrasikan atau menolak konsistensi dan keabsahan filosofis
argument-argumen orisinal. Mulla Shadra juga menulis sejumlah risalah yang
lebih pendek yang sebagian di antaranya, seperti Al-Hikmah Al-Arsyiyyah,
Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad, dan Kitab Al-Masya’ir telah sangat dikenal
dan diajarkan di lingkungan-lingkungan filsafat di Persia. Di India Syarh
Al-Hidayah (Komentar atas Buku tentang Petunjuk Karya Atsar Al-Din Abhari),
karya Mulla Shadra, menjadi karya paling terkenal di antara karya-karyanya dan
diajarkan di madrasah-madrasah tradisional sampai sekarang.
Kesimpulannya, kita dapat mengatakan
bahwa dalam lebih dari satu cara “filsafat metafisika” Shadr Al-Din melakukan
berbagai usaha untuk menguji setiap pandangan dan argument filosofis yang
pernah dikenal berkenaan denga prinsip dan metode. Ia kemudian menyeleksi apa
yang dinilainya sebagai argument terbaik, merumuskannya kembali dan akhirnya
mencoba merekonstruksi suatu sistem yang konsisten. Filsafat sistematikanya
bukan Peripatetik ataupun Iluminasionis, melainkan rekonstruksi baru dari
keduanya, yang berfungsi sebagai saksi bagi kesinambungan pemikiran filsafat
dalam Islam. Bahwa sistem Shadr Al-Din berbeda dengan penekanan pada aspek
spesifik “rasionalitas” seperti sekarang ini tidak berarti bahwa pendirinya
memahaminya sebagai “irasional” dan juga tidak diberikan terutama pada
“pengalaman mistis”. Namun, sistem itu menandaskan suatu pandangan dunia bahwa
visi intuitif adalah bagian tak terpisahkan dari pengetahuan.
Ajaran-Ajaran
Mulla Shadra
Shadr Al-Din Syirazi lahir hampir
seribu tahun setelah turunnya Islam dan karya-karyanya mentashawwurkan suatu
sintesis pemikiran Islam satu milenium sebelumnya. Ia benar-benar memahami
Al-Quran dan Hadits, filsafat dan teologi Islam, tasawwuf dan bahkan sejarah
pemikiran Islam, dan tentu mempunyai akses pada perpustakan yang melimpah ruah.
Terhadap semua pengetahuannya ini, masih harus ditambahkan pula daya
intelektualnya sebagai filosof dan kapabilitas visioner dan intuitifnya sebagai
seorang gnostikus (arif) yang berhasil mengalami langsung Realitas
Tertinggi atau apa yang dalam mazhab filsafat dan teosofi Islam terkemudian
disebut “pengalaman gnostik” (tajruba-yi ‘irfani). Pengetahuannya
tentang sumber-sumber wahyu Islam dianggap lebih luas dibandingkan dengan semua
filosof Islam lainnya. Pengetahuan itu meliputi keakrabannya bukan hanya dengan
Al-Quran, melainkan juga dengan komentar-komentar yang termasyhur, bukan hanya atas
hadits Nabi, melainkan juga atas semboyan para Imam Syi’ah yang signifikansi
filosofisnya ia ungkap untuk pertama kalinya. Tafsir Al-Quran, Syarah Ushul
Al-Kafi dan tafsirnya atas ayat al-Nur dalam Al-Quran, menjadi dua adikarya
pemikiran Islam, memperlihatkan kepiawaiannya yang tak diragukan lagi tentang
Al-Quan dan hadits.
Mulla Shadra juga mempunyai
pengetahuan sangat mendalam tentang mazhab-mazhab pemikiran filsafat Islam
sebelumnya. Ia tahu betul filsafat peripatetik (masya’i), terutama filsafat
Ibn Sina, komentarnya atas Kitab Al-Syifa sangat penting. Namun, kemudia
ia juga dikenal akrab sebagai kaum peripatetik, layaknya Nashir Al-Din Thusi
dan Atsir Al-Din Abhari. Shadra juga mengomentari Al-Hidayah sebuah
kitab karya Abhari yang nantinya menjadi mahakarya yang sangat terkenal
khususnya di India. Ia juga mengajar filsafat Isyraqi dan menyalin
sebuah cerita visioner Suhrawardi, dengan tangannya sendiri ia menulis komentar
penting dalam bentuk ringkasan (ikhtisar) atas Hikmah Al-Isyraqi
karya guru mazhab Iluminasi. Ia juga mendalami teologi Sunni dan Syi’ah,
khususnya karya-karya Imam Abu Hamid Al-Gazali dan Imam Fakhr Al-Din Al-Razi,
ia kerap mengutip terutama dalam Asfar yang merupakan adikaryanya dan
menjadi induk dari buku-bukunya yang lain. Lebih jauh lagi, ia juga benar-benar
menguasai teologi Syi’ah termasuk Syi’ah Dua Belas Imam yang dianutnya serta
Ismailiyyah, karya-karyanya ia kaji secara saksama, termasuk risalah-risalah
filosofis mereka, seperti Rasa’il Ikhwan Al-Shafa.
Akhirnya, penting juga disadari
tentang kepiawaian dan kepakaran Shadra mengenai doktrin-doktrin tasawwuf
umumnya dan gnosis khususnya seperti yang diajarkan oleh Ibn Arabi. Dalam
problem tertentu seperti eskatologi, ia banyak meminjam dari guru Andalusia
itu, dan dalam bagian akhir buku Asfar ia menguraikan al-Ma’ad
atau eskatologi yang pada kenyataannya, sarat dengan kutipan-kutipan luas dari Al-Futuhat
Al-Makkiyyah. Selanjutnya, ia sangat mengkagumi puisi sufi Persia dan menukil
dari guru sufi, seperti Fariduddin Al-Ththar dan Julaluddin Al-Rumi, bahkan
ditengah-tengah karyanya yang berbahasa Arab. Sebagian pengetahuan Shadra
berasal dari para guru mazhab Ishfahan, suatu mazhab yang ia ikuti, tapi
pengetahuannya dalam masalah ini melebihi guru-gurunya dan melukiskan kajian
ekstensifnya terhadap karya-karya dan sumber utama pemikiran islam.
Sintesis
Mazhab-Mazhab Pemikiran dan Pola-Pola Pengetahuan
Shadr Al-Din tidak hanya menyintesis
berbagai mazhab pemikiran Islam, melainkan juga berbagai jalan pengetahuan
manusia. Kehidupannya sendiri, yang didasarkan atas kesalehan, introspeksi
filosofis dan penalaran yang mendalam serta penyucian diri sampai mata hatinya
terbuka sehingga mempunyai visi langsung terhadap dunia spiritual, membuktikan
kesatuan tiga jalan utama pengetahuan dalam diri pribadinya. Tiga jalan ini
menurutnya, adalah wahyu (al-wahyu), demonstrasi atau inteleksi (al-burhan,
al-ta’aqqul), dan visi spiritual atau mistis (al-mukasyafah,
al-musyahadah). Atau memakai terminologi lain yang lumrah di kalangan
mazhabnya, ia mengikuti suatu cara dengan menyintesiskan Al-Quran,
al-burhan, dan al-irfan.
Epistemologi Mulla Shadra berkaitan
langsung dengan epistemologi Suhrawardi dan mazhab Iluminasi, sebuah mazhab
yang membuat perbedaan antara pengetahuan konseptual (al-ilm al-hushuli)
dan pengetahuan dengan kehadiran (al-ilm al-hudluri), bentuk pegetahuan
yang menyatu dalam diri pemilik pengetahuan pada tingkat tertinggi, seseorang
yang oleh Suhrawardi Al-Maqtul disebut hakim muta’allih, yang secara
harfiah berarti manusia bijaksana, filosof atau teosof yang dikarunai dengan
sifat-sifat Ilahi dan menjadi menyerupai Tuhan. Pengetahuan konseptual
diperoleh melalui konsep-konsep dalam pikiran tentang yang diketahui, sedangkan
pengetahuan dengan kehadiran mengimplikasikan kehadiran realitas yang diketahui
dalam intelek manusia tanpa perantaraan konsep-konsep mental seperti ketika
seseorang mengetahui diri sendiri, intelijibel-intelijibel atau
realitas-realitas Ilahi. Pengetahuan tersebut bersifat iluminatif dan melampui
alam rasio, tetapi itu bukan berarti tanpa bobot intelektual. Mulla Shadra
menerima tesis isyraqi ini, akan tetapi ia menambahkan signifikansi
wahyu sebagai sumber asasi bagi pengetahuan tentang masalah filosofis dan
teosofis. Tradisi filsafat Islam di Persia sepenuhnya mengakui dan menerima
kebenaran ini dan memberikan kepada Mulla Shadra gelar Shadr Al-Muta’allihin,
maksudnya yang tertinggi diantara orang-orang, menurut istilah Suhrawardi
tergolong dalam kategori tertinggi pemilik pengetahuan metafisis. Tidak ada
gelar lebih tinggi yang diberikan kepada siapa pun dalam konteks konsepsi
dunia, di dalamnya filsafat Islam kemudian berfungsi.
Bagaimanapun, sintesis besar
pemikiran Islam yang diciptakan oleh Mulla Shadra didasarkan atas tiga cara
untuk mengetahui tersebut, sehingga ia dapat menginterpretasikan
madzhab-madzhab pemikiran Islam terdahulu ke dalam sebuah pandangan dunia yang
menyatu, dan menciptakan sudut pandang intelektual baru yang dikenal sebagai al-hikmah
al-muta’aliyyah. Sejumlah sarjana filsafat Islam terkemuka yang telah
menulis tentangnya dalam bahasa-bahasa Eropa, seperti Henry Corbin dan
Thoshihiko Itzusu, menerjemahkan al-hikmah al-muta’ailyyah dengan
“teosofi transendent”, sementara sejumlah sarjana lainnya memprotes penggunaan
istilah tersebut. Yang jelas, “teosofi transendent” menandai kelahiran
perspektif intelektual baru di Dunia Islam, perspektif yang mempunyai pengaruh
mendalam pada abad-abad belakangan di Persia, di samping di Irak dan India.
Istilah al-hikmah al-mut’aliyyah itu sendiri sudah digunakan sejumlah
pemikir Islam sebelumnya, seperti Quthb Al-Din Syirazi. Dalam menganalisis
berbagai aspek pemikiran Shadr Al-Din, kita sebenarnya mengkaji hikmah
al-muta’ailyah menjadi madzhab pemikiran Islam tersendiri, sebagaimana
halnya dengan madzhab Pripatetik (masysya’i) dan Iluminasionis (isyraqi).
Mulla Shadra sangat setia pada istilah ini sehingga ia menggunakannya sebagai
judul magnum opus-nya, Al-Asfar Al-Arba’ah fi Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah.
Landasan “teosofi transendent” dan
seluruh metafisika Mullah Shadra adalah ilmu tentang (wujud), yang
dipergunakannya untuk menunjuk eksistensi, baik dalam pengertian eksistensi
objek-objek maupun eksistensi yang sama sekali bukan privatif (menegasikan),
melainkan malah memuat Prinsip Ilahi, Wujud Murni, dan bahkan Yang Mutlak, yang
berada di luar Wujud seperti yang lazim dipahami. Kebanyakan tulisan Mulla
Shadra, termasuk hampir semua bagian pertama Asfar, dipusatkan pada
masalah ini, ia kembali lagi pada masalah ini dalam karya-karyanya yang lain,
seperti Al-Syawahid Al-Rububiyyah, Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah, Al-Mabda’
wa Al-Ma’ad, dan khususnya Kitab Al-Masya’ir yang merupakan ikhtisar
terpenting subjek ini dalam tulisan-tulisannya.
Studi tentang
Wujud
Pada inti seluruh penjelasan
filosofis Mullah Shadra terdapat pengalaman gnostik tentang Wujud sebagai
Realitas. Pengalaman kita tentang dunia biasanya adalah pengalaman tentang
sesuatu yang ada, pengalaman biasa inilah yang menjadi basis metafisikan
Aristotelian yang didasarkan atas hal-hal yang ada (exitent, maujud).
Namun, menurut Mulla Shadra, disini ada suatu visi yang di dalamnya ia melihat
keseluruhan eksistensi bukan sebagai objek-objek yang wujud (exis) atau maujud-maujud
(existens), melainkan sebagai realitas tunggal (wujud) yang karena
dibatasi oleh berbagai kuiditas (mahiyyat) memunculkan suatu kemajemukan
yang “ada” dengan berbagai maujud yang saling berdiri sendiri satu sama
lain. Heidegger mengeluh bahwa metafisika Barat telah tersesat sejak zaman
Aristoteles karena terlalu memfokuskan kajiannya pada yang maujud (das Seiende),
meminjam kosa kata yang digunakannya, padahal subjek metafisika yang sebenarnya
adalah eksistensi itu sendiri atau das Sein yang dengan studinya ia
memulai suatu babak baru dalam pemikiran filsafat Barat. Sejauh filsafat Islam
dikaji, pemisahan semacam itu telah dilakukan tiga abad sebelum Heidegger oleh
Mulla Shadra, menurutnya ia telah menerima sebuah visi tentang realitas melalui
inspirasi yang di dalamnya segala sesuatu itu tampak sebagai tindakan-tindakan
eksistensi (wujud), bukan objek-objek yang ada (maujud). Perkembangan
luas metafisika Shadra sesungguhnya didasarkan atas pengalaman dasar akan
Realitas tersebut dan perbedaan-perbedaan konseptual selanjutnya yang dibuat
atas dasar pengalaman tentang wujud ini adalah satu, bertingkat-tingkat, dan
sejati.
Mulla Shadra membedakan dengan tegas
antara konsep tentang wujud (mafhum al-wujud) dan realitas wujud (haqiqat
al-wujud). Pertama: adalah konsep terjelas dan paling mudah dipahami dari
semua konsep, kedua: adalah paling terkabur dan tersulit, karena ia
mensyaratkan persiapan mental ekstensif dan juga penyucian jiwa agar
memungkinkan intelek yang berada dalam diri seseorang berfungsi sepenuhnya
tanpa selubung-selubung nafsu, dan agar dapat melihat wujud sebagai Realitas.
Itulah sebabnya mengapa salah seorang pengikutnya yang terkenal. Hajji Mulla
Hadi Sabzawari, menulis dalam Syarh Al-Manzhumah yang merupakan rangkuman
doktrin-doktrin gurunya. Berikut ini:
Gagasan
tentang wujud adalah sesuatu yang sudah umum diketahui. Namun, realitas
terdalamnya berada diujung ketersembunyiannya.
Konsekuensi dari pengalaman gnostik
tentang wujud adalah realisasi (kesadaran) akan kesatuannya, yang disebut
sebagai wahdat al-wujud. Doktrin metafisika sufi yang mendasar ini
dinisbatkan pada Ibn ‘Arabi. Sedangkan Ibn Sab’in berpendapat bahwa hanya
Tuhan-lah yang riil dan tidak ada lainnya yang riil, interpretasi Ibn ‘Arabi
melihat tatanan wujud nyata sebagai penampakan-penampakan (tajalliyyat)
dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Tuhan pada cermin ketiadaan, Mulla Shadra
memahami kesatuan wujud dalam hubungannya dengan kemajemukan eksistensi
bagaikan cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri.
Cahaya-cahaya matahari bukanlah matahari dan pada saat yang sama tidak lain,
kecuali matahari. Dalam Asfar yang berisi sejarah filsafat Islam dan
ajaran-ajarannya sendiri, Mulla Shadra menguraikan secara ekstensif berbagai
pemahaman mengenai doktrin penting ini sebelum menjelaskan pemahamannya
sendiri. Bagaimanapun, wahdat al-wujud adalah batu fondasi metafisika Shadrian,
yang tanpa itu seluruh pandangan dunianya akan runtuh.
Doktri lainnya adalah doktrin
tasykiku al-wujud atau gradasi wujud. Wujud tidak hanya satu, tetapi merentang
dalam suatu gradasi atau hierarki, dari wujud Tuhan hingga eksistensi sebutir
pasir di pantai. Setiap tingkat wujud yang lebih tinggi mengandung semua
realitas yang termanifestasi pada tingkat dibawahnya. Disini, Mulla Shadra
mendasarkan diri pada doktrin Suhrawardian tentang deferensiasi (pembedaan) dan
gradasi. Segala sesuatu dapat dibedakan satu sama lain melalui sesuatu yang
menyatukan mereka, sebagaimana cahaya lilin dan cahaya matahari dipersatukan
oleh cahaya, tetapi juga dibedakan satu sama lain oleh cahaya yang ada dalam
dua benda itu berdasarkan perbedaan derajat intensitas masing-masing. Wujud
adalah seperti cahaya tersebut dalam arti ia memiliki derajat intensitas,
meskipun sebagai realitas tunggal. Karena itu, alam semesta dalam
kemajemukannya yang luas bukan hanya satu dan menyatu, melainkan juga
hierarkis. Kita barangkali dapat mengatakan bahwa Sahdr Al-Din menerima gagasan
“mata rantai wujud” yang mempunyai riwayat hidup panjang di Barat sejak
Aristoteles hingga abad ke-18 M, tetapi berdasarkan sudut pandang kesatuan
wujud yang memberikan makna yang sama sekali berbeda pada doktrin tentang
hierarki kosmik dan alam semesta.
Pandangan tentang wujud di atas
dilengkapi dengan prinsip ashalah al-wujud atau keutamaan eksistensi. Untuk
memahami doktrin ini, pertama-tama kita perlu beralih ke perbedaan klasik dalam
filsafat Islam antara eksistensi wujud dalam maknanya yang terkait dengan dunia
yang majemuk dan mahiyyah atau kuiditas yang dalam bentuk orisinal Latinnya
diturunkan langsung dari bahasa Arab, mahiyya. Semua objek tersusun dari dua
komponen, pertama, yang berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan “apa?”, dan
kedua, atas pertanyaan “bagaiman?”. Pertanyaan yang diajukan dalam filsafat
Islam terkemudian, dan khususnya oleh Mulla Shadra, adalah manakah di antara
kedua unsur ini yang lebih utama dan memberikan realitas kepada suatu objek.
Guru Mulla Shadra sendiri, Mir Damad dan Suhrawardi, dianggap sebagai pengikut
madzhab keutamaan kuiditas (ashalah al-mahiyyah), sementara itu Ibn Sina
dipandang sebagai pengikut (ashalah al-wujud), walaupun dalam kasus Ibn Sina,
doktrin ini mendapat makna yang sama sekali berbeda dengan makna yang terdapat
dalam karya-karya Mulla Shadra karena Ibn Sina tidak percaya pada wahdat
al-wujud.
Betapapun, pada masa mudanya, Mulla
Shadra , mengikuti pandangan Mir Damad, dan baru setelah pengalaman visioner
dan gnostiknya ia mulai menyadari bahwa wujud-lah yang memberikan realitas
kepada sesuatu dan bahwa mahiyyah secara literal bukan apa-apa dalam dirinya
sendiri, melainkan diabstraksikan oleh akal dari keterbatasan-keterbatasan
suatu tindakan tertentu wujud. Ketika kita mengatakan ada seekor kuda, dengan
mengikuti akal sehat kita berpikir bahwa kuda itu adalah suatu dan realitas,
apa yang kita pahami adalah tindakan tertentu wujud yang melalui fakta itulah
ia tampak secara terbatas pada bentuk tertentu yang kita pahami sebagai kuda.
Bagi orang-orang yang telah menyadari kebenaran tersebut, fakta bahwa seekor
kuda itu ada kemudian ditransformasikan ke dalam realitas yang telah
dimanifestasikan oleh tindakan wujud itu sendiri ke dalam suatu bentuk tertentu
yang kita sebut kuda. Bentuk atau mahiyyah kuda tidak mempunyai realitas
sendiri, tetapi mendapatkan semua realitasnya dari tindakan wujud.
Jadi, realitas itu tak lain dan tak
bukan adalah wujud, yang satu sekaligus bergradasi, yang
mengeksistensiasikan realitas segala sesuatu. Metafisika Shadra sebenarnya
dapat dipahami bukan hanya dengan memahami prinsip-prinsip ini, melainkan juga
dengan memahami antar prinsip itu. Wujud bukan hayat satu,
melainkan juga bergradasi. Dan wujud bukan hanya bergradasi, melainkan
juga sejati, atau dengan kata lain, yang memberikan realitas kepada semua
kuiditas, yang itu tidak memiliki realitas sama sekali dalam diri mereka. Bangunan
metafisis raksasa yang diciptakan Shadra serta teologi, kosmologi, psikologi,
dan eskatologinya semua bertumpu pada tiga prinsip wahdat al-wujud, tasykik
al-wujud, dan ashalah al-wujud, hanya dari sudut pandang ketiga
prinsip inilah doktrin-doktrin Shadra yang lain dapat dipahami.
Gerak Trans-Subtansial
dan Penciptaan Dunia
Salah satu doktrin Shadr Al-Din yang
paling khas adalah gerak trans-subtansial (al-harakah al-jauhariyyah)
yang menjadi basis penjelasannya tentang banyak maslah filsafat tradisional
yang sangat sulit seperti penciptaan dunia dan semua makna “menjadi” dari sudut
pandang Yang Maha Tetap dan Maha Kekal. Sebagaiman diketahui, para filosof
Muslim sebelumnya, khususnya Ibn Sina, mengikuti filsafat alam Aristoteles
dengan menerima gerak (al-harakah) hanya dalam kategori-kategori kuantita
(kamm), kualita (kaif), situasi (wadh), dan ruang/tempat (‘ain),
yang semuanya adalah aksident dan secara eksplisit menolak kemungkinan gerak dalam
kategori substansi. Argument utama Ibn Sina adalah bahwa gerak mensyaratkan
suatu objek yang bergerak, dan jika substansi suatu objek berubah melalui gerak
trans-subtansial, maka tidak aka nada subjek bagi gerak.
Shadr Al-Din menentang langsung
tesis ini dengan mengatakan bahwa setiap perubahan aksident tidak mempunyai
eksistensi yang bebas dari substansi. Ia menegaskan bahwa selalu ada “beberapa
subjek” (maudlu’un ma) bagi gerak sekalipun kita tidak bisa menetapkan
dan menentukannya berdasarkan logika. Mulla Shadra mengeskan bahwa seluruh alam
fisik dan bahkan alam psikis atau khayali hingga arketipe yang tetap (al-a’yan
al-tsabitah) atau bersinar terus bergerak atau berada dalam posisi menjadi.
Sebab jika tidak demikian, emanasi (faidh) Wujud tidak mungkin
menjangkau segala sesuatu. Walaupun demikian, gerak trans-subtansial ini, yang
oleh Henry Corbin disebut l’inquietude de l’ietre yang menunjuk
pada eksistensi alam semesta yang berada di bawah tingkat realitas-realitas
intelijibel dan arketipe, tidak harus dikacaukan dengan penciptaan ulang dunia
setiap saat sebagaimana diajarkan oleh para sufi. Dalam doktrin sufi, setiap
saat alam semesta ini rusak dan diciptakan kembali. Bentuk-bentuk terdahulu
kembali ke tatanan Ilahi dan bentuk-bentuk baru terjelma sebagai teofani.
Itulah sebabnya mengapa doktrin ini baru disebut: berpakaian setelah
menanggalkan bentuk-bentuk (al-labs ba’da al-hal ).
Sebaiknya, doktrin Mulla Shadra
disebut al-labs ba’da al-hal (maksudnya, berpakian setelah berpakian).
Ini menunjukkan bahwa bentuk dan materi suatu maujud menjadi materi bagi bentuk
yang baru dan bahwa proses berlangsung terus-menerus seakan-akan seseorang
meletakkan sebuah lapisan di atas lapisan lainnya. Semua wujud di dunia ini
bergerak secara vertikal sebagai akibat dari gerak trans-subtansial hingga
wujud-wujud ini mencapai dataran realitas arketipe mereka. Sperma menjadi janin
dan tumbuh menjadi bentuk bayi yang kemudian lahir dan terus berkembang dari
satu bentuk ke bentuk yang lain sehingga mencapai kematangan penuh, kemudian
tumbuh menjadi melemah justru ketika jiwa berkembang semakin kuat sampai
seseorang meninggal dunia dan mencapai “dunia khayali” (maginal word)
dan puncaknya kehadiran Ilahi. Setiap keadaan dari gerak trans-subtansial ini
berlanjut terus sepanjang tahapan-tahapan tersebut.
Perlu ditekankan di sini bahwa visi
dinamika Mulla Shadra tentang dunia yang terus-menerus dalam proses menjdai,
yang mengimplikasikan intensifikasi tindakan wujud berkelanjutan dalam
suatu wujud tertentu, sama sekali tidak boleh dikacaukan dengan evolusi Darwinian.
Bagi Shadr Al-Din, wujud-wujud di dunia ini merupakan manifestasi dari cahaya wujud
yang memancar ke realitas-realitas arketipe mereka dan melalui pemancaran
menurut (al-qaus al-nuzuli) menjelmakan berbagai ciptaan ke dalam alam
maujud yang bersifat fisik. Gerak trans-subtansial menandai pancaran menaik (al-qaus
al-su’udi) yang melaluinya intensitas cahaya wujud yang selalu
meningkat memungkinkan eksisten kembali pada realitas-realitas arketipe mereka
dalam alam samawi. Sementara itu, bagi Darwinisme, tidak ada hal-hal seperti
itu karena realitas-realitas arketipe dan spesies-spesies, bukannya
mencerminkan arketipe langit. Hanyalah bentuk-bentuk yang ditimbulkan oleh
aliran materi dalam waktu. Lebih jauh, bagi evolusi, peran wujud,
kesatuan, gradasi, dan kesejatiannya tidaklah bermakna, sedangkan bagi Shadr
Al-Din, gerak trans-substansial itu bersifat teologis dan memainkan peran
spiritual penting. Alam bergerak menuju kesempurnaan yang menjadi tujuan
akhirnya, dan kemajuan spiritual manusia juga dicapai melalui pola gerak
trans-substansial. Seorang wali bukan saja lebih sempurna dari-pada orang lain.
Ia dikatakan lebih dari-pada orang lain dalam pengertian bahwa tindakan wujud
dalam dirinya mempunyai derajat lebih intens dari-pada alam diri orang yang
kurang sempurna. Karena itu, seperti dilakukan oleh sejumlah pemikir Muslim,
modernis, jika al-harakah al-jauhariyyah disamakan dengan evolusi
Darwinian.
Doktrin gerak trans-substansial
adalah kunci pemahaman banyak masalah menurut Mulla Shadra, termasuk masalah
penciptaan dunia yang sudah diperdebatkan sepanjang delapan abad sebelumnya
oleh para filosof dan teolog Islam. Seperti sudah banyak diketahui, falasifah
meyakini bawa dunia tidak mempunyai permulaan dalam waktu, tetapi
diciptakan diluar waktu oleh Tuhan. Karena itu dunia adalah kekal (qadim),
sedangkan mutakllimun mengkalim bahwa dunia diciptakan dalam waktu (hadits).
Persoalan diperbincangkan dalam banyak karya klasik pemikiran Islam seperti tahafut
al-falasifah Al-Ghazalai. Para filosof mangkalim bahwa dunia diciptakan
dalama waktu, itu berarti mensyaratkan perubahan dalam Zat Ilahi, dan itu
mustahil karena Tuhan tidak berubah. Para teolog percaya bahwa jika dunia itu qadim,
maka ada sesuatu yang kekal disamping Tuhan, dan itu tidak mungkin disebabkan
oleh-Nya. Berbagai pemikir Islam mencoba untuk menyelesaikan maslah ini dengan
beragam cara, termasuk guru Mulla Shadra sendiri, Mir Damad, yang tampil dengan
gagasan al-huduts al-dahri, yang artinya adalah penciptaan dunia buka
dalam waktu (zaman) dan juga dalam kekekalan (sarmad), malainkan
dalam dahr atau aeon, dan ia dipuji karena penjelasannya mengenai
doktrin ini.
Shadr Al-Din menolak dikotomi
pandangan ini dengan menunjuk pada doktrin gerak trans-subtansial. Jika kosmos
berubah setiap saat, disetiap waktu proses menjadinya, ia berbeda dengan yang
sebelumnya dan yang sekarang ada belum ada sebelumnya (masbuq bi al-adam).
Karena itu, kita bisa menerima doktrin bahwa dunia diciptakan dari ketiadaan (ex
nihilo) sembari menerima pelimpahan (faidh) berkesinambungan tanpa
sela dari cahaya Wujud yang tak lain dan tak bukan adalah Cahaya Ilahi. Karena
itu, ia mencoba memberikan penjelasan filosofis tentang salah satu masalah
filsafat paling musykil bukan hanya dalam pemikiran Islam. Melainkan juga dalam
pemikiran Yahudi dan Kristen.
Kesatuan
‘Aql dan Ma’qul
Salah satu
doktrin Shadr Al-Din yang juga terkait erat dengan metafisikanya, yaitu doktrin
tentang kesatuan intelek dan intelijibel (ittihad al-‘aqil wa ma’qul).
Doktrin ditandaskan oleh Abu Al-Hasan Al-Amiri pada abad ke-4 H/ke-10 M, tetapi
ditolak sengit oleh Ibn Sina dan para filosof Muslim berikutnya. Namun, doktrin
itu dihidupkan kembali oleh Shadr Al-Din dan diberi makna baru dalam koneks
kesatuan wujud dan gerak trans-subtansial. Menurut Shadr Al-Din, pada saat
intelek, bentuk intelijibel, pemilik intelek, dan bahkan intelek itu sendiri
menyatu sehingga yang satu adalah juga yang lain selama tindakan inteleksi
berlangsung.
Doktrin ini bukan hanya penting bagi
pengetahuan Shadr Al-Din, melainkan juga mempunyai seginifikansi besar untuk
memahami peran pengetahuan dalam kesempurnaan manusia. Melalui gerak-gerak
trans-substansial tindakan mengetahui akan meningkatkan derajat eksistensi
orang yang mengetahui (al-’alim). Berdasarkan hadits Nabi: “pengetahuan
adalah cahaya” (al-‘ilmu nur) merupakan suatu prinsip yang juga mendasar
bagi pemikiran Shadr Al-Din. Kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang
diketahui pada akhirnya mempunyai implikiasi kesatuan pengetahuan dengan wujud.
Wujud manusia ditransformasikan melalui cahaya pengetahuan, tetapi modus wujud
kita juga menentukan modus pengetahuan kita. Dalam hubungan timbal balik yang
mendasar ini, akan ditemukan kunci signifikansi pengetahuan bagi Shadr Al-Din
dan signifikansi gagasan bahwa pengetahuan mentransformasikan wujud kita bahkan
ketika kita sudah meninggal. Tulisan-tulisan Shadr Al-Din sarat dengan berbagai
penerapan doktrin ini dan ia kembali dan kembali lagi pada prinsip kesatuan
wujud dan pengetahuan.
Dunua
Imaginal dan Arketipe
Mulla Shadra menerima realitas arketipe (al-a’yan al-tsabitah atau
al-mutsul al-nuriyyah) selaras dengan pandangan Suhrawardi dan
bertentangan dengan klaim kaum Peripatetik Muslim, seperti Ibn Sina. Mulla
Shadra banyak menawarkan banyak argument filosofis untuk menangkis
pendapat-pendapat pihak yang menolaknya. Sebenarnya, tidak ada keraguan dalam
pemikiran Mulla Sahdra mengenai peran utama yang dijelaskan oleh arketipe atau
“gagasan-gagasan Platonik”, intelijibel-intelijibel murni yang termasuk dalam
wilayah kekekalan yang oleh banyak orang dikacaukan dengan bentuk-bentuk dalam
dunia imaginal yang meskipun berada di luar materi, ia masih ikut
berpartisipasi dalam gerak dan menjadi dan trans-substansial. Yang terakhir ini
memainkan peran sangat penting dalam “teosofi transendent” tanpa harus
meniadakan sama sekali arketipe yang tak berubah atau “gagasan-gagasan”
bersinar dalam pengertian Platonik.
Melihat lenyapnya dunia Imaginal
dalam filsafat Barat selama berabad-abad, perlu diselamatkan lebih dalam makna ‘alam
al-khayal, mundus imaginalis, yang Sayyid H. Nasr dan Corbin
terjemahkan dengan dunia imaginal dan bukab bukan dunia imaginer, mengingat
istilah yang terakhir ini berkonotasi peyoratif dalam bahasa-bahasa Eropa
modern. Hierarki wujud tradisional dalam arus utama dalam pemikiran Barat
bertolak dari alam eksistensi material, lalu dunia psikis, dunia intelijibel
atau malakuti dengan hierarkinya yang luas, dan akhirnya sampai kepaa Tuhan yang
merupaakan Wujud Murni dan bagi sejumlah metafisikawan Barat, di Luar Wujud.
Skema ini lebih kurang diikuti oleh para filosof Islam awal dengan
penyesuaian-penyesuaian yang berhubungan dengan fakta bahwa mereka hidup dan
berfilsafat di alam Islami, Suhrawardi adalah orang pertama yang
berbicara tentang dunia imaginal, paling tidak dalam mikro-kosmos. Ia segera
diikuti oleh Ibn ‘Arabi yang mengelaborasi tema ini dan memperluas pemahaman
tentang dunia imaginal dengan menjadikannya sebagai pilar utama metafisikanya.
Dari sini, dunia imaginal menjadi bagian dan bidang pemahaman tentang alam
Islami yang tentang banyak sekali sufi dan filosof menulis risalah penting.
Namun, Shadra-lah yang memberikan
penjelasan sistematis dan filosofis mengenai dunia imaginal ini. Ia menambahkan
pada pandangan Suharawardi bahwa dunia imaginal ini berhubungan dengan realitas
mikro-kosmik manusia (khayali al-muttashil) dengan tesis bahwa dunia
imaginal juga mempunyai dunia realitas makro-kosmik dan objektif yang mandiri dan
terpisah dari manusia (khayal al-munfashil). Ia menandaskan bahwa dunia
imaginal ini bahkan mempunyai realitas lebih besar dunia fisik. Namun,
berkaitan dengan karakterisitiknya, ia merupakan dunia yang memiliki
bentuk-bentuk yang disebut al-shuwar al-khayaliyyah (bentuk-bentuk
imaginal) yang tidak terkait dengan materi, paling tidak dengan materi dari
dunia fisik. Itulah sebabnya mengapa bentuk-bentuk disebut al-mutsul
al-mu’allaqah (bentuk-bentuk yang menggantung). Meskipun demikian,
bentuk-bentuk itu adalah bentuk-bentuk yang memiliki waran, bentuk, bau, aroma,
dan hal lainnya yang berkaitan dengan bentuk-bentuk dunia ini. Dunial imaginal
ini adalah dunia yang mempunyai realitas-realitas konkret, tetapi bukan
realitas fisik, yang diidentikkan dengan kota-kota mitis Jabulqa dan Jabulsa,
suatu dunia yang dapat dialami oleh para penyaksi dikehidupan ini dan suatu
dunia yang dimasuki oleh manusia pada saat kematian. Ini adalah dunia tempat
kita mempunyai raga-raga halus (subtil) atau imaginal (al-jism al-khayali)
sebagaimana kita mempunyai raga fisik di dunia sekarang ini.
Eskatologi
dan Kebangkitan
Tak seorang-pun filosof Islam yang
menangani masalah eskatologi dan kebangkitan (al-ma’ad) individu dan
kosmos sesudah mati begitu terperinci sebagaimana Mulla Shadra. Buku keempat Asfar,
yang sebagian besar berpijak pada ajaran Ibn ‘Arabi, merupakan jiwa (nafs)
dari kelahirannya hingga pertemuan akhirnya dengan Tuhan, termasuk di dalamnya
unsur-unsur yang berhubungan fenomenologi kematian. Jika kita hendak mencari
sesuatu yang menyerupai Tibetan Book of Dead dalam sumber-sumber Islam,
barangkali buku keempat Asfari ini bisa menjadi calon terbaik. Lebih
jauh, Mulla Shadra banyak memberikan ruang dalam tulisan-tulisan utamnya yang
lain, seperti Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad dan Al-Syawahid Al-Rububiyyah
bagi subjek tersebut dan menulis risalah-risalah tersendiri yang dicurahkan
hanya untuk subjek ini, seperti Risalah Al-Hasyr.
Dengan menyandarkan diri sepenuhnya
pada deskripsi Islam tradisonal tentang keadaan-keadaan setelah mati dan
kejadian-kejadian eskatologis. Mulla Shadra mencoba menafsirkan istilah-istilah
seperti Jembatan (Shirath). Timbangan (Mizan), dan
keadaan-keadaan surga dan neraka dalam hubungannya dengan dunia imajinal. Semua
kejadian ini berkaitan erat dengan kematian, pengadilan dan semacamnya seperti
termaktub dalam Al-Quran dan Al-Hadits, yang terjadi di dunia imajinal ini,
yang merupakan dunia antara (al-barzakh) yang berada diantara dunia
fisik dan dunia substansi malakut atau substansi intelijibel. Lebih dari itu,
dunia ini tersusun dari banyak alam antara (al-barzakh) yang merentang
dari al-barzakh al-a’la atau antara alam-alam paling tinggi sampai al-barzakh
al-asfal atau alam antara paling bawah. Yang tertinggi meliputi
keadaan-keadaan surgawi, meskipun tetap bukan langit tertinggi, dan alam antara
paling bawah meliputi keaadaan-keadaan neraka. Alam ini sesungguhnya juga
merupakan sejenis persinggahan yang dilalui jiwa menuju kebahagiaan atau
kutukan akhir.
Mulla Shadra berbicara tentang
doktrin yang mula-mula tampak agak aneh dan hanya dapat dipahami dari sudut
pandang doktrin grak trans-subtansial. Ia mengklaim bahwa jiwa (nafs)
itu diciptakan bersama raga, tetapi kemudian menjadi kekal dan spritual melalui
ruh, atau menggunakan terminologinya sendiri, nafs atau jiwa adalah jasmaniyyah
al-huduts wa ruhaniyyah al-baqa’. Pendakian vertikalnya melalui gerak
trans-substansial kenyataannya tidak berhenti di dunia kini, tetapi terus berlanjut
setelah mati karena jiwa mengarungi berbagai alam antara sesuai dengan jenis
amalan yang telah dilakukan dan modus wujudnya di dunia kini.
Dalam perdebatan sengit tentang
apakah kebangkitan setelah mati itu bersifat spritual (ruhani) ataukah bersifat
(jasmani). Mulla Shadra secara kategoris cenderung pada kebangkitan jasmani
walaupun ia menyatakan bahwa, setelah mati, individu dikaruniai raga halus (al-jism
al-lathif) yang banyak hal sesuai dengan gugusan bintang Paracelsus. Karena
itu, setelah mati ia bukan hanya jiwa yang tidak beraga, melainkan mempunyai
raga yang “teranyam” dari perbuatan-perbuatan yang telah diamalkan di dunia
kini. Jiwa juga memasuki dunia yang sesuai dengan sifat batin-nya.
Dalam satu pengertian, jiwa yang
jahat memilih neraka karena sifat wujudnya saat kematian. Lebih jauh, realitas
raga di dunia antara ini adalah bentuk dan bukan materi raga itu. Dalam
kebangkitan terakhir, semua tingkat wujud seseorang terintegrasi, termasuk raga
bentuk fisik, yang merupakan realitas raga, sehingga seseorang dapat menerima
secara definitif kebangkitan jasmani seperti dinyatakan oleh Al-Quran dan
Hadits dan pada saat yang sama memberikan demonstrasi (istidlal)
intelektual tentangnya berdasarkan prinsip-prinsip umum metafisika Shadrian.
Pengetahuan
Tuhan tentang Dunia
Persoalan pelik lin yang dibahas
oleh banyak filosof dan teolog Islam adalah masalah pengetahuan Tuhan tentang
dunia. Al-Ghazali sebenarnya menilai pandangan kaum Peripatetik bahwa Tuhan
hanya mengetahui yang universal dan tidak mengetahui yang partikular sebagai
salah satu pandangan filosof yang bukan Cuma keliru, melainkan juga zindiq.
Dalam Asfar-nya. Mulla Shadra membahas dan menolak tujuh pandangan
berbeda dari para pemikir terdahulu berkenaan dengan perkara ini, sementara
dalam Al-Syawahid Al-Rububiyyah, ia mengklaim bahwa Tuhan mengetahui
segala sesuatu dalam cara khusus yang disingkapkan oleh Tuhan kepada dirinya,
tetapi karena kompleksitas dan sulitnya dipahami oleh mayoritas manusia, ia
merasa lebih arif untuk tidak mengungkapkan hal itu seluruhnya. Dalam
tulisan-tulisan lainnya, termasuk salah satu suratnya yang ditujukan kepada
gurunya Mir Damad, ia menegaskan bahwa ia telah memperoleh pengetahuan yang
utuh tentang misteri besar ini melalui inspirasi (ilham), penyingkapan (kasyaf),
dan “”keyakinan yang pasti (‘ain al-yaqin).
Yang diungkapkan Shadra mengenai
pengetahuan Tuhan tentang dunia didasarkan atas tesis bahwa ketika wujud
tidak tercampur dengan non-eksistensi dan tidak terselubungi olehnya, maka ia
memanifestasikan kepada dirinya dan tidak pernah hilang dari dirinya. Karena
itu, esensi wujud ini mengetahui dirinya, dan esensinya adalah
pengetahuan tentang dirinya dan objek yang diketahui oleh dirinya, karena
cahaya wujud itu satu, maka tabir yang menutupi realitas sesuatu tidak
lain hanyalah non-eksistensi.
Dan karena Wujud Niscaya memiliki
Esensi yang berada di luar komposisi dan kontingensi (kebergantungan), maka ia
berada pada tingkat tertinggi untuk memahami dan dipahami, mengetahui dan
diketahui. Ini berarti bahwa karena pada dasarnya hanya ada satu wujud
yang merupakan wujud dari segala sesuatu, maka Esensi-Nya mengetahui
segala wujud yang ada dan tidak ada sebutir atom pun yang tidak diketahui
oleh-Nya sebagaimana ditandaskan oleh Al-Quran. Kehadiran atau keberadaan
Esensi Ilahi pada diri-Nya sendiri tak lain tak bukan adalah wujud
segala sesuatu. Pengetahuan Tuhan tentang maujud-maujud merupakan sebab
eksistensi mereka.
Mulla Shadra juga menegaskan bahwa
pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu mempunyai hierarkinya sendiri. Yang pertama:
adalah tingkat pemeliharaan (al-‘inayah), yaitu pengetahuan-Nya
tentang sesuatu pada tingkat esensi-Nya sendiri. Tingkat kedua: adalah
tingkat ketetapan global (al-qadla’ al-ijmali) yang diinterpretasikan
sebagai pena (Al-Qalam). Tentang bentuk-bentuk yang diwujudkan oleh Qalam,
subsistensinya adalah subsistensi dengan kemunculan (al-qiyam al-shuduri)
karena Qalam mempunyai kekuasaan penuh atas semua bentuk yang berada di
bawahnya. Tingkat ketiga: adalah lembaran (al-lauh), yang juga
disebut ketetapan terpilah-pilah (al-qadla’ al-tafshili), yang
mengandung arketipe dan ide-ide Platonik, dan hubungan mereka dengan
bentuk-bentuk di dunia adalah prinsip-prinsip bagi cerminan. Tingkat keempat:
adalah ketentuan melalui pengetahuan (al-qadlar al-‘ilmi) yang terdiri
dari dunia imajinal dan bentuk-bentuk menggantung yang dibahas di atas tadi.
Tingkat kelima: adalah ketentuan melalui objektifitas (al-qadar
al-‘aini), yang terdiri atas bentuk-bentuk yang ada dalam dunia fisik.
Mulla Shadra menganggap tingkat terakhir ini berada di bawah tingkat
pengetahuan Ilahi langsung karena menandai percampuran antara bentuk-bentuk dan
materi. Namun, secara tak langsung ini merupakan subjek pengetahuan Ilahi
karena prinsip-prinsip dari bentuk-bentuk ini termasuk dalam dunia-dunia di
atasnya, yang diketahui Tuhan dalam pengertian mutlak dan langsung. Lebih jauh,
setiap tingkat yang disebutkan Mulla Shadra itu mempunyai wujud yang memberinya
realitas, dan menurut argument yang diberikan tadi, karena hanya ada satu wujud
sebagaimana ditandaskan oleh doktrin wahdat al-wujud, Tuhan
mengetahui semua maujud berdasarkan pengetahuan-Nya tentang esensi-Nya sendiri
yang tak lain dan tak bukan adalah wujud mutlak.
Beberapa
Prinsip Ajaran Mulla Shadra lainnya
Ada sejumlah prinsip lain yang
dijelaskan oleh Mulla Shadra dan unsur-unsur yang mendasari “teosofi
transenden”. Sebenarnya, jika kaum Muslim hanya mewarisi sekitar dua ratus
topik dari filsafat Yunani, Shadra membahas lebih dari enam ratus topik.
Sebagian besar diantara topik-topik diambil dari pertalian lebih jauh antara
filsafat dan wahyu Islam, dan sisanya hasil renungan filosofis dan teosofis
terhadap ucapan para Imam Syi’ah di samping Al-Quran dan Hadits. Di sini,
karena keterbatasan ruang, hanya akan disinggung dua dari prinsip-prinsip yang
terkenal ini, yang belum dibahas sebelumnya. Yang pertama: adalah tesis
termasyhur bahwa kebenaran dalam ketunggalan/kesederhanaannya meliputi segala
hal (basith al-haqiqah kull al-asyya’) yang merupakan akibat langsung
dari kesatuan dan kesejatian wujud. Dengan prinsip ini, yang Mulla
Shadra maksudkan adalah bahwa kebenaran (al-haqiqah) dalam keadaan yang
betul-betul sederhana/tunggal dan belum tercampur dengan kuiditas (al-mahiyyah),
yakni Wujud Murni, meliputi segala sesuatu karena realitas sesuatu adalah
eksistensi mereka, dan Wujud Murni adalah sumber semua wujud dan, karena
itu, meliputi realitas segala sesuatu. Mulla Shadra menggunakan prinsip ini
dalam banyak tulisannya untuk memecahkan sebagian masalah termuskil filsafat.
Prinsip terkenal lainnya, yaitu:
jiwa kesatuannya mencakup semua fakultas (al-nafs wahdatihi kull al-quwa).
Prinsip ini juga merupakan konskuensi dari ontologinya dan doktrinnya tentang
gerak trans-substansial. Ini berarti bahwa sebagai fakultas yang dimiliki jiwa
tidaklah seperti aksiden-aksiden yang ditambahkan pada substansi jiwa tersebut.
Namun, jiwa itu mencakup tiap-tiap fakultasnya ketika ia menyatukan diri dengan
fungsi ini atau itu yang terkait dengan fakultas tertentu. Itulah sebabnya
mengapa penyempurnaan setiap fakultas mempengaruhi jiwa itu sendiri dalam
kesatuannya, dan kesempurnaan jiwa melalui gerak trans-substansial juga
mempengaruhi fakultas-fakultasnya. Ini juga menekankan kesatuan jiwa di atas
dan melampaui apa yang kita jumpai dalam psikologi fakultas kaum Peripatetik.
Banyak juga topik lama dalam
filsafat berubah sama sekali dilihat dari sudut pandang metafisika Shadrian.
Contohnya adalah soal kausalitas (al’illah wa al-ma’lul dan illiyah).
Mulla Shadra menerima doktrin Aristotelian tentang empat sebab dan
komentar-komentar atas doktrin itu oelh
Ibn Sina dan para filosof Islam lain sebelumnya, tetapi mengubahnya sama sekali
dengan melihat hubungan antara sebab dan akibat dari sudut pandang doktrin
keutamaan wujud. Karena itu, ia menggabungkan sebab-sebab horizontal dan
vertikal dan pembahasannya terhadap gnostik (‘irfan)-nya yang paling
mengagumkan. Untuk mengkaji pikiran maupun hati, dan yang secara praktis dapat
membimbing orang yang paham dan mempunyai simpati terhadap gnosis dan
kebijaksanaan menuju keadaan ekstase. Ada sejumlah prinsip lainnya yang
dirombak oleh metafisika Shadrian yang tak mungkin kita bicarakan di sini
karena keterbatasan ruang. Apa yang dipaparkan di sini hanya sebagai contoh.
Tafsir-Tafsir
Al-Quran Mulla Shadra
Tak seorang pun filosof sepanjang
sejarah filsafat Islam yang memberikan perhatian begitu besar pada Al-Quran
sebagai sumber pengetahuan filosofis dan teosofis, dan banyak penulis tafsir
Al-Quran seperti yang dilakukan Mulla Shadra. Tafsir-tafsir Al-Quran Mulla
Shadra merupakan kelanjutan dari “teosofi transendent” dan teosofi
transcendent-nya merupakan hasil perkembangan dari makna batin Al-Quran
sebagaimana dipahami Mulla Shadra, yang tak henti-hentinya menegaskan
keselarasan antara wahyu dan intelek. Ia menegaskan bahwa intelek, yang darinya
akal merupakan refleksi atas tataran mental, adalah nabi batin kemanusiaan yang
memanifestasikan diri hanya pada orang yang dalam bahasa Al-Quran, “mendalam
pengetahuan” (al-rasikhun fi al-‘ilmi).
Mulla Shadra menulis tafsir atas
sejumlah surat dan ayat Al-Quran, seperti Al-Fatihah, Al-Baqarah ayat Al-Aursy,
Al-Nur, Al-Sajadah, Ya Sin, Al-Waqi’ah, Al-Hadid, Al-Jumu’ah, al-‘A’la, Al-Thariq
dan Al-Zalzalah. Lebih jauh, ia menulis sejumlah karya berkenaan dengan
ilmu tafsir Al-Quran, antara lain Asror Al-Ayat, yang membahas secara
panjang lebar khususnya persoalan-persoalan eskatologis seperti yang disebutkan
Al-Quran: Mutasyabihat Al-Quran, yang meneliti ayat-ayat Al-Quran yang
makna lahirnya kurang jelas dibandingkan ayat-ayat Muhkamat yang makna
lahirnya cukup jelas dan tegas, dan Mafatih Al-Ghaib, yang merupakan
salah satu karya kepentingannya yang di dalamnya ia mengulas metode tafsir Al-Qurannya.
Shadr Al-Din membedakan antara para
penafsir yang hanya melihat makna lahir atau eksoteris Al-Quran dan mereka yang
diibaratkan seperti orang yang hanya melihat kulit kacang dan mengabaikan biji
di dalamnya, dengan orang yang hanya memberikan perhatian pada apa yang
dianggap sebagai makna batin atau esoteric tersebut dan menyatakan bahwa jika
hanya ada satu pilihan, ia lebih menyukai tafsir eksoteris karena ia paling
tidak menjaga dan memelihara wadah lahir wahyu. Namun, metode terbaik komentar
Al-Quran, adalah metode yang membahas makna esoteric tanpa bertentangan dengan
pengertian eksoteris kata-kata Al-Quran sebagai mana dipahami oleh kaum Muslim.
Ia menambahkan bahwa hanya orang-orang yang oleh Al-Quran disebut “mendalam
dalam pengetahuan” (al-rasikuhn fi al-‘ilmi), yang menerima pengetahuan
melalui inspirasi Ilahi tanpa secercah keraguan dalam pikiran dan hatinyalah
yang berhak menjalankan hermeneutika spiritual (ta’wil) atas firman
Tuhan.
Mulla Sahdra menilai Al-Quran sama
dengan Wujud itu sendiri, Wujud, seperti Al-Quran, sebagaimana Al-Quran
mempunyai (huruf-huruf) yang merupakan “kunci-kunci menuju ghaib” dan
dari gabungan huruf terbentuklah ayat-ayat dan dari ayat-ayat tersusun
surat-surat Kitab Suci. Selanjutnya, dari kombinasi surat dihasilkan “kitab
wujud” yang memanifestasikan diri dalam dua cara: sebagai pembeda (al-furqan),
dan bacaan (al-quran), kedua istilah ini merupakan Al-Quran. Aspek furqani
kitab suci adalah makrokosmos dengan segala keragamannya, sedangkan aspek qurani-nya
adalah realitas spiritual dan arketipe manusia atau yang umum disebut manusia
universal/sempurna (al-insan al-kamil). Oleh karena itu, kunci-kunci
menuju dunia ghaib, sejauh Al-Quran dikaji, juga merupaka kunci-kunci bagi
pemahaman akan dimensi tak tampak dari dunia eksistensi eksternal dan wujud
batin manusia dan sebaliknya. Tafsir-tafsir Al-Quran Mulla Shadra menempati
kedudukan tinggi dalam tarikh tafsir Al-Quran dan juga dalam hermeneutika
filosofis atau sebuah teks suci, dan, sayangnya, tidak banyak perhatian
diberikan terhadapnya dalam lingkungan akademik, terutama di Indonesia.
Pengaruh
Mulla Shadra
Sintesis besar yang dibangun oleh
Mulla Shadra mempunyai pengaruh mendalam terhadap pemikiran Persia, India,
serta Irak, tidak benar bila pemikirannya dinggap mendominasi seluruh
lingkungan filsafat di Persia, karena tidak sedikit yang menentang pemikirannya
hingga sekarang, tetapi ia justru mempunyai pengaruh sangat penting terhadap
dunia intelektual di Persia selama tiga setengah abad terakhir. Pudar sesaat
paska kematiannya karena kondisi politik yang tidak bersahabat, “teosofi
transendent ” bangkit kembali selama periode Qajar baik di Ishfahan, pusat
filsafat Islam yang lebih tua, maupun Teheran, yang sekarang menjadi pusat
studi ‘ilmu hikmah. Mula-mula dibangkitkan kembali oleh para guru agung
dari Ishfahan, yaitu Mulla ‘Ali Nuri dan Mulla Isma’il Khwaju’I, hikmah ini
kemudian dilanjutkan oleh para ahli Khurasan dan Mulla Ali Mudarris di Teheran.
Mereka banyak mengikuti alurMulla Shadra walaupun mereka kemudian lebih banyak
menulis dalam bahasa Persia daripada Arab sesuai dengan kecendrungan umum masa
itu yang menjadi saksi kebangkitan kembali bahasa Persia filosofis. Tradisi ini
terus berkesinambungan sampai hari ini sehingga sebagian besar pelajar yang
mengkaji subjek-subjek Islam di madrasah-madrasah tradisonal, khususnya di Qum,
dan orang-orang yang berminat pada “ilmu-limu intelektual” (al-‘ulum
al-‘aqliyyah), adalah pengikut Mulla Shadra.
Di India pengaruh Mulla Shadra
muncul sejak pertengahan abad ke-11 H/ke-17 M tidak lama setelah kematiannya.
Tulisan-tulisannya, terutama Syarh Al-Hidayah, beredar luas, bahkan buku
asli tulisan Abhari pun mulai disebut Shadra: orang merasa terhormat,
jika mengatakan bahwa mereka telah mempelajari Shara. Tradisi ini
mempengaruhi banyak figur terkemudian dan bertahan sampai hari ini. Menarik
disebutkan bahwa Maulana Maududi, pendiri Jama’at Al-Islam Pakistan dan India,
pendiri salah satu gerakan polotik keagamaan sangat penting di Dunia Islam abad
ke-14 H/ke20 M, menerjemahkan bagian-bagian tertentu Asfar ke dalam
bahasa Urdu pada masa mudanya. Di Irak, pimikiran Mulla Shadra terus diajarkan selama
tiga abad terakhir terutama di pusat-pusat pendidikan Syi’ah, seperti di Najaf,
salah seorang pemikir Islam termasyhur abad ke-14 H/ke-20 M, Muhammad Baqir
Al-Shadr, memperlihatkan pengaruh Mulla Shadra atas para ulama Irak kontemporer
yang mempunyai kecendrungan pada filsafat.
Implikasinya, menarik untuk dicatat
bahwa kebangkitan kembali filsafat Islam di Iran selama periode Pahlavi,
khususnya sejak 1950-an ke belakang bahkan di lingkaran-lingkaran semi modern,
berkisar seputar figur Mulla Shadra. Banyak karyanya sudah disunting dan
dicetak dalam lima puluh tahun terakhir ini. Di samping itu, telah banyak pula
dilakukan analisis atas “teososfi transendent” dalam bahasa Persia dan Arab.
Pada saat yang sama, Mulla Shadra kini telah diperkenalkan di Barat dan
bagian-bagian lain dunia non Islam oleh sejumlah sarjana, seperti Henry Corbin,
Toshihiko Izutsu, S. H. Nasr, dan Mehdi Mohaghegh, di Indonesia oleh kelompok
pemikir Syi’ah, terutama Jalaluddin Rachmat. Hasilnya, sekarang ini banyak
minat pada karya-karyanya bi Barat dan juga bagian-bagian lain dibelahan Dunia
Islam, seperti nagara Arab, Turki, Indonesia, dan Malaysia yang semula tidak
menunjukkan minat besar kepada para filosofis Islam terkemudian umumnya dan
Mulla Shadra khususnya belakangan ini. Lebih dari itu, seluruh dunia telah
banyak disusun tentangnya dan mazhabnya. Bagaimanapun Mulla Shadra bukan hanya
salah satu sosok intelektual terbesar sejarah Islam, melainkan pemikirannya
merupakan bagian dari Dunia Islam kontemporer dan terus memberikan pengaruh
atas banyak aspek pemikiran Islam yang ada, khususnya filsafat, teologi, dan teososfi.
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar