Berbulan madu dengan
cahaya Rabiah al-Adawiyah
A. Biografi
Nama lengkapnya adalah Rabiah binti Ismail al-Adawiyah
al-Qissiyah. Ia berasal dari keluarga miskin, ditinggal mati oleh ayahnya dan
dirundung keprihatinan hidup pada masa remajanya.
Fariduddin Atthar (w.627 H),[1]
penyair mistik asala Persia, melukiskan keprihatinan hidup Rabiah, dalam Tazdkirah
al-Auliya’nya, bahwa ia dilahirkan di sebuah rumah yang tidak ada sesuatu
pun untuk dimakan dan barang berharga untuk dijual. Malam gelap gulita lantaran
minyak sebagai sumber penerangan telah habis.
Pada suatu hari, menjelang usia remajanya, ketika keluar
rumah, ia ditangkap oleh penjahat dan dijual dengan harga 6 dirham. Orang yang
membeli Rabiah selalu menyuruhnya mengerjakan pekerjaan berat dan tak jarang
memperlakukannya dengan keras dan kasar. Namun demikian, Rabiah tetap tabah
menghadapi penderitaan. Siang hari untuk melayani majikannya, sedang ketika
malam tiba, lebih-lebih saat manusia telah berdamai dengan kepentingannya dan
rela berbagi jubah kesunyian dalam dengkur tidur, ia menghadap Sang Rabb guna
mendapat ridha dan cinta-Nya.
Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui
jendela melihat dan mendengar Rabiah sedang sujud dan berdoa, “Ya Allah,
Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk memenuhi perintah-Mu; jika aku
dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan istirahat barang sebentar
dari mengabdi kepada-Mu”.
Menyaksikan peristiwa itu, majikannya merasa takut. Semalaman
ia termenung hingga subuh menjemput fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil
Rabiah, bersikap lunak padanya dan dengan suka hati membebaskannya.
Setelah kebebasan dirasakannya, Rabiah semakin giat menapaki
hidup dengan ajaran sufistiknya, beribadah dan berkhalwat, lebih memilih
kemiskinan daripada gemerlap kehidupan dunia. Ia hidup menyendiri, tidak
menikah dan enggan menerima bantuan dari orang lain. Dengan sikap dan
kesalehannya itu, namanya kian menggema sebagai orang suci. Penghormatan dari
orang-orang zuhud dimasanya dan kunjungan untuk ‘tukar-menukar’ pengalaman
mengenai kesufian tak jarang ia dapatkan.
Pengalaman kesufiannya ia peroleh bukan dari gurunya,
melainkan dari pengalaman pribadnya. Ia juga tidak meniggalkan ajaran tertulis.
Murid-muridnyalah yang berjasa mengenalkan ajaran Rabiah pasca wafatnya beliau.
B. Mahabbah Rabiah
Rabiah dipandang sebagai pelopor
tasawwuf mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada
Sang Kekasih. Bertolak dari konsep hubb al-ilah (mencintai Tuhan) inilah segala ibadah ia
kerjakan, bukan semata-mata karena memenuhi kewajiban, takut akan siksa neraka
atau pengharapannya pada surga.[2]
Cinta Rabiah kepada Allah Swt telah
memenuhi seluruh jiwa dan raganya, bahkan ketika datang pertanyaan kepadanya
mengenai cintanya kepada Rasulullah Saw, ia menjawab “Aku, demi Allah sangat
mencintai Rasul, akan tetapi cintaku pada Sang Khaliq (Maha Pencipta)
telah memalingkanku dari setiap mahluk.”[3]
Berbeda dengan Al-Ghazali[4], bagi
Rabiah cinta (mahabbah) mendahului ma’rifah; cinta yang tulus
kepada Tuhan akan dibalas oleh-Nya dengan terbukanya tabir antara manusia dan
Tuhan, dan sufi melihat Tuhan dengan mata-hatinya. Karena itu, tatkala Rabiah ditanya
apakah ia melihat Tuhan yang ia sembah, Rabi’ah menjawab, “Jika aku tak
melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya.” Selanjutnya tentang ma’rifah,
Rabi’ah al-Adawiyah menyatakan bahwa “Buah ilmu ruhani adalah agar engkau
palingkan wajahmu dari makhluk, sehingga engkau dapat memusatkan perhatianmu
hanya kepada Allah saja, sebab ma’rifah itu adalah mengenal Allah
sebaik-baiknya”.[5]
Jadi, berangkat dari sinilah pendapat Rabi’ah al-Adawiyah tentang mahabbah
yang mendahului ma’rifah—sekalipun keduanya berdampingan dan tidak dapat
dipisahkan.
Syair tentang mahabbah Rabiah
yang masyhur, salah satunya, ialah
أحـبّك حبّــين حبّ الهوئ وحبّا لأنّك أهل لذاك
فأما الذي هو حب الهوئ فشغلى بذكرك عن من سواك
وأما الذي أنت أهل له فكشفك لي الحجب حتى أراك
فلا الحمد فى ذا وذاك لي ولكن لك الحمد فى ذا وذاك
يا حبيب القلب ما لي سواك فارحم اليوم مذنبا قد أتاك
يارجائي وراحتي وسروري قد أبى القلب أن يحب سواك
فأما الذي هو حب الهوئ فشغلى بذكرك عن من سواك
وأما الذي أنت أهل له فكشفك لي الحجب حتى أراك
فلا الحمد فى ذا وذاك لي ولكن لك الحمد فى ذا وذاك
يا حبيب القلب ما لي سواك فارحم اليوم مذنبا قد أتاك
يارجائي وراحتي وسروري قد أبى القلب أن يحب سواك
“Aku mencintaiMu dengan dua cinta: cinta karena
diriku
dan cinta (kepadaMu) karena Kau memang pantas dicinta”
“Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa
mengingatMu”
“Cinta karena diriMu telah menyingkap tabir,
sehingga diriMu dapat kupandang”
“Baik untuk ini, maupun untuk itu, pujianku bukanlah untuk
diriku; bagiMulah pujian itu semua”
“Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi; berilah ampun pembuat dosa
yang datang menghadapMu”
“Hanya Engkaulah harapanku, kebahagiaanku dan kesenanganku;
hati ini tak lagi sanggup mencintai selain padaMu”
dan cinta (kepadaMu) karena Kau memang pantas dicinta”
“Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa
mengingatMu”
“Cinta karena diriMu telah menyingkap tabir,
sehingga diriMu dapat kupandang”
“Baik untuk ini, maupun untuk itu, pujianku bukanlah untuk
diriku; bagiMulah pujian itu semua”
“Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi; berilah ampun pembuat dosa
yang datang menghadapMu”
“Hanya Engkaulah harapanku, kebahagiaanku dan kesenanganku;
hati ini tak lagi sanggup mencintai selain padaMu”
Menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali,[6]
yang
dimaksudkan Rabi’ah dengan “cinta karena diriku” ialah cinta kepada
Allah disebabkan oleh kebaikan dan karunia-Nya, sedangkan “cinta karena Kau pantas
dicinta” ialah cinta yang disebabkan oleh keindahan dan keagungan-Nya (al-jamaal
dan al-jalaal) yang menyingkap rahasia diri-Nya. Kedua cinta tersebut
merupakan cinta paling luhur dan dalam, dan merupakan kelezatan dalam
menyaksikan keindahan Tuhan. Cinta model pertama itu perspektifnya ialah cinta
rindu (syawq), sedangkan cinta model kedua perspektifnya ialah cinta
peleburan (fanaa) “...cinta karena diriMu telah menyingkap tabir, sehingga
diriMu dapat kupandang”. Di sini kemudian gagasan Rabi’ah tentang cinta
memunculkan pentingnya peran dzikir demi meningkatkan pengalaman keagamaan dan
mempertebal perasaan ketuhanan dalam kalbu. Wallahu a’lam.
[1] Fariduddin al-Atthar, Tazdkirah al-Auliya, h. 33-41.
[2] Ensiklopedi Islam, Jilid 4, h. 148.
[3] Ibid., h. 149.
[4] Bagi al-Ghazali, ma’rifat haruslah mendahului mahabbah,
sebab “Cinta tanpa ma’rifah tidak mungkin. Orang hanya dapat mencintai
sesuatu yang dikenalnya”. Lih. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam
(Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.II, 2003), hal.166.
[5] Muhammad Atiyah Khamis, 1993, h.69.
[6] Abu al-Wafa al-Taftazani, Sufi dari Zaman
ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani: cet.II,
1997, h. 87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar