"Kejadian ialah konsekuensi dari khudi//Langkahmu ialah rahasia
khudi//
Dijelmakannya alam cita dan pikiran murni// Ratusan alam terlingkup
dalam intisarinya//
Apa gunanya eksistensimu//Kecuali untuk mengembangkan dayamu? //
Kalau kau perkuat dirimu dengan khudi, Kau akan pecahkan dunia
sesuka khudimu//
Jika mau hidup, isislah dirimu dengan khudi//Apa itu mati?
Melepaskan semua khudi//
Bermukimlah dalam khudi!//Majulah dari satu kerumunan menuju yang
lain//
Pikirkanlah khudimu dan jadilah orang beraksi//
Jadilah manusia-Tuhan! Kandunglah rahasia dalammu.//”
a. Biografi
Ia adalah
satu nama yang tak bisa kita kesampingkan dalam sejarah filsafat Islam
kontemporer. Filsafat Islam harus menanti lima
ratus untuk bangkit lagi pasca abu al-iqtishad Ibnu Khaldun. Bukan dari
madzhab Baghdad atau Andalus, tapi dari India, ya Muhammad Iqbal namanya, ia
lahir pada 1289 H/1873 M di Sialkot dan memulai petualangan intelektualnya pada
ayahnya, Nur Muhammad yang dikenal seorang ulama. Dari surau ke surau ia
belajar ke Scotch Mission College di Sialkot di bawah bimbingan Maulawi Mir
Hasan—teman ayahnya yang ahli bahasa Persia dan Arab. Tahun 1895 ia ke Lahore , salah satu kota di India yang
menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni. Di kota ini ia bergabung dengan himpunan
sastrawan yang sering diundang musya'arah, yakni pertemuan di mana
penyair membacakan sajak-sajaknya. Ini merupakan tradisi yang masih berkembang
di Pakistan dan India hingga
kini. Di kota
ini pula ia mengajar filsafat pada Government Collage sampai memperoleh gelar
BA pada 1897 dan melanjutkan S2 di bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu
Sir Thomas Arnold—orientalis Inggris yang sangat terkenal—yang mengajarkan
filsafat Islam di Collage tersebut,
kedua sangat karib sebagaimana tertuang dalam antologi puisi Bang-i Dara.[1]
Dialah yang sangat berpengaruh bagi intelektualitas Iqbal.
Sebagaimana
mahasiswa/i STF-A, Iqbal tak cukup puas dengan hanya jadi penyair dan filsuf, pada
1905 ia ke Cambrigde untuk belajar sufisme pada pada RA. Nicholson dan Mc
Taggart, kemudian ke Heidelberg dan di Munich ia selesaikan studi
doktoralnya pada tahun 1908 dengan disertasi The Develoment of Metaphysics
in Persia.[2] (terbitk
di London , dan
dihadiahkan kepada Sir Thomas Arnold). Dari
sana ia belajar hukum sembari mengajar bahasa
dan sastra Arab di Universitas London .
Selama di Eropa, Iqbal selalu ber- munadharah dengan banyak ilmuwan
untuk membincang peradaban Islam, dan sama sekali tidak tertarik dengan budaya
dan gemerlap Barat.
Setelah
menjadi benceramah di hampir seluruh Eropa, pada 1908 Iqbal kembali ke Lahore
dan mengajar di Government collage, menulis puisi dan prosa, menjadi advokat,
bekerja pada departemen pendidikan, menjadi politisi melalui partai Liga Muslim
India dan menulis banyak buku untuk melahirkan interpretasi baru pada Islam.[3]
Ketika konfrensi tahunan Liga Muslim di Allahabad tanggal 29 Desember 1930
digelar, Iqbal adalah orang pertama yang menyerukan negara otonom bagi orang
Islam di India, karena dalam pandangannya, hal itu tidak bertentangan dengan
persatuan umat Islam dan pan-Islamis. Atas dasar inilah ia dijuliki sebagai
Bapak Pakistan .[4]
Pada tahun 1931 dan 1932, Iqbal mengikuti
Konferensi Meja Bundar di London. Sepulang dari sana ia lewat Spanyol untuk menyaksikan
peninggalan peradaban Islam. Kunjungan ini memberi inspirasi dalam puisinya
yang terkenal Di Masjid Cordoba. Puisi ini digubah Iqbal dan diterbitkan
dalam Bal-i Jibril, salah satu karyanya yang sangat terkenal.
Pada
tahun 1922 seorang wartawan Inggris mengusulkan kepada pemerintah untuk memberi
gelar Sir kepada Iqbal. Atas dorongan sahabatnya, Mirza Jalaluddin , ia
menerima gelar itu meski sebelumnya sempat menolak. Gelar Sir ia terima
dengan syarat gurunya, Mir Hasan, mendapat gelar Syams al-Ulama. Setelah
isterinya meninggal pada 1935 kesehatan Iqbal terus memburuk, namun sebelum
meninggal ia berpesan kepada sahabat-sahabaatnya:[5]
"Kukatakan kepadamu tanda seorang mu'min, ketika maut datang
akan merekah senyum dibibir". Menjelang fajar 21 April 1939 dalam usia
60 tahun menurut kalender Masehi, atau 63 tahun dalam kalender Hijriyah Iqbal
berpulang ke rahmatullah.
b. Prisma Pemikirannya
Diperkirakan
Muhammad Iqbal meninggalkan tidak kurang dari 21 karya monumental, yaitu: Ilm
al-Iqtisahd, (1903); Develoment of Metaphycics in Persia: A Constibution
to the History of Muslim Phylosophy, (1908); Islam as a Moral and
Political Ideal, (1909); Asrar al-Khudi [Rahasia Pribadi], (1915); Rumuz-I
Bekhudi [Rahasia Peniadaan Diri], (1918); Payam-i Masyriq [Pesan
Dari Timur] (1923); Bang-i Dara [Seruan dari Perjalanan], (1924); Self
in Light of Relavifity Speecehes and Statements of Iqbal, (1925); Zaboor-i
'Ajam [Kidung Persia], (1927); Khusal Khan Khattak, (1928); Deeper
Study of Muslim Scientist, (1929); Pesidental Adress to the All-India
Muslim liaque, (1930); Javid Nama [kitab keabadian], (1932); McTaggart
Phylosophy, (1932); The Recontruction of Religious Thought in Islam
(pembangunan kembali pemikiran keagamaan dalam Islam), (1934); Letters of
Iqbal to Jinnah, (1934); Bal-i Jibril [Sayap Jibril], (1935); Pas
Chill Bayad Card Aqwam-i Sharq, (1936); Matsnawi Musafir, (1936); Zarb-i
Kalim [tongkat/ pukulan Nabi Musa], (1936); dan Armughan-i Hejaz [Hadiah
dari Hijaz], (1938). Secara umum prisma pemikiran Iqbal secara umum dapat diklasifikasi
menjadi:
I. Ego (Khudi)
Hakikat individualitas merupkan konsep dasar dari filsafat Iqbal,
dan ini pula yang menjadi pijakan seluruh struktur pemikirannya yang tertuang
dalam Asrar-i al-Khudi untuk kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi
dibukukan dengan judul The Recontruction of Religious Thoought in Islam.
Dalam pandangan Iqbal, khudi atau ego (self) merupakan
satu-kesatuan yang riil dan menjadi landasan dari semua kehidupan, sebab ego
adalah iradah kreatif yang terarah secara rasional. Ego bukan arus,
melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, ia adalah sintesis
yang melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan dari organisme yang hidup ke arah satu tujuan
konstruktif. Hal ini tercantum dalam beberapa matsnawi (kumpulan puisi)nya
dalam Asrar-i Khudi.[6]
Selain dalam matsnawi di atas, Iqbal juga menjelaskan khudi
dalam bukunya The Recontruction of Religious Thoought in Islam, bahwa
Realitas Tertinggi (ultimate-reality) sebagai satu ego, dan bahwa hanya
dari Ego-Tertinggi itulah ego-ego bermula. Dunia dengan segala isinya, sejak
dari gerakan mekanis berupa atom materi sampai gerakan pikiran berawal dari ego.
Ego tak lain merupakan “penjelmaan diri” (self-relavition) dari Tuhan.
Setiap atom, betapa kecilpun adalah skala wujud (scale of exinstence),
adalah ego. Namun ada tingkat-tingkat pernyataan ke-ego-an. Semesta wujud
adalah ibarat sebuah lapangan bunyi, di mana terdengar tapak-tapak meninggi,
ego akhirnya mencapai tingkat kesempurnaan dalam manusia.[7]
Hanya, ia tidak menyetujui pandangan GWF Hegel, yang melenyapkan ego ke dalam
Ego Yang Abadi.[8]
Pak Iqbal menandaskan bahwa manusia bukanlah tetesan air yang
melarutkan diri dalam lautan luas, melainkan yang berusaha untuk mewujudkan
diri dan berjuang untuk dapat mengukuhkan realitasnya serta memantapkan
ego-insaninya dalam suatu pribadi yang kukuh. Kodrat ego, meskipun mempunyai
kemampuan berhubungan dengan ego-ego yang lain, bersifat sentralistik pada
dirinya sendiri, mempunyai lingkungan individualitas khusus yang tidak
memungkinkan ego-ego yang lain ada di dalamnya. Jadi, ego itu unik dan tidak
sama dengan ego yang lain. Demikian pula suatu ego, menurut Iqbal mempunyai
satu watak, yakni suatu cara tata laku yang seragam.
Iqbal membandingkan watak ego dengan watak alam. Menurutnya, alam
bukanlah seonggok materi murni yang mengisi suatu rongga, akan tetapi ia
sesuatu struktur peristiwa-peristiwa, fenomena yang sistematis, sama organisnya
dengan ego yang hakiki. Alam bagi ego Ilahiyat sama dengan watak bagi ego
manusia, dengan bahasa agama: "alam adalah prilaku Tuhan" (the
habbit of God). Dengan demikian, dari sudut pandang manusia, merupakan
suatu penafsiran bahwa alam adalah kegiatan kreatif dari Ego Yang Mutlak. Karena
ego meiliki geraka organis, maka bersifaat kreatif. Gerakan itupun bertumbuh,
karena itu tak mempunyai batas, dalam arti tak ada batasan-batasan final bagi
perluasannya.
Semesta ini bagi Iqbal bukanlah sesuatu yang statis, tetapi sebagai
sesuatu yang struktur kejadian-kejadian yang mempunyai sifat mengalir
terus-menerus secara kreatif. Analog dengan pengalaman kesadaran kita dengan
demikian alam semesta merupakan gerakan kreatif yang merdeka. Hanya al-aql
as-salim yang bisa menangkap ini. Maka, menurut Iqbal, pikiran bukanlah “mesin”
yang bekerja atas benda-benda dari “luar” benda itu. Pikiran adalah landasan
yang membentuk hakikat wujud mereka. Iqbal mengatkan: "situasi manusia
tidaklah final, pikiran dengan realitas sesungguhnya merupakan kesatuan tak
terpisahkan".[9]
Sebongkah materi bukan merupakan benda yang tetap dengan keadaan yang
bermacam-macam, tetapi merupakan sistem peristiwa-peristiwa yang saling
berhubungan. Ini mirip dengan teori Relativitas Einstein. Karena itu Iqbal
menyetujui pendapat bahwa alam bukanlah merupakan sesuatu yang statis yang terletak
pada suatu rongga yang adinamis, tetapi sesuatu struktur peristiwa-pristiwa
yang memiliki sifat mengalir terus menerus secara kreatif, yang oleh pikiran
dipotong-potong menjadi bentuk.[10]
II. Metafisika dan Proses
Kreatif Iqbal
Teori metafisika Iqbal
mengalami tiga tahap perkembangan, sesuai dengan pengalaman yang dilaluinya
dari tahap pencarian sampai tahap kematangan.
Pertama, Sepanjang 1901-1908 Iqbal cenderung menjadi mistikus-panteistik.
Hal itu terlihat pada kekagumannya pada kosepsi mistik yang berkembang di Persia , Arab
dan Andalus malalui tokoh-tokoh tasawuf falsafi seperti Ibn Arabi. Puncak
kekagumannya itu tergambar dalam disertasi doktornya, berjudul Development
of Metaphysics in Persia: A Constribution to the History of Muslim Phylosophy.
Pada tahap ini Iqbal menyakini bahwa Tuhan sebagai Keindahan Abadi, keberadaanNya
tanpa bergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu, bahkan menampakkan
diri dalam semuanya itu, Dia menyatakan dirinya di langit dan di bumi, di
matahari dan di bulan, di semua tempat
dan keadaan. Tuhan sebagai Keindahan Abadi, menarik segala sesuatu, sepeti
magnet menarik besi, Tuhan juga sekaligus menjadi penyebab gerak segala
sesuatu. Tuhan bersifat Universal dan melengkupi segalanya seperti lautan, dan
individu adalah seperi halnya tetes air, atau seperti matahari dengan lilin.
Pemikiran Iqbal yang demian terpengaruh oleh Plotinus yang mengeembangkan
pikiran Plato yang menganggap bahwa Tuhan sebagai Keindahan Abadi.
Kedua, Dari tahun 1908-1920. Iqbal mulai menyangsikan sifat kekal dari
keindahan dan efisiensinya serta kausalitas akhinya. Sebaliknya, tumbuh
keyakinan akan keabadian cinta, hasrat dan upaya atau gerak. Kondisi ini
tergambaar pada karyanya, Haqiqt-i Husna (Hakikat Keindahan). Tahap ini
Iqbal tertarik pada Rumi yang dijadikannya sebagai pembimbing rohaninya. Pada
tahap ini Tuhan bukan lagi dianggap sebagai Keindahan Luar, tetapi sebagai
Kemauan Abadi, Smentara keindahan hanyalah sifat Tuhan di samping ke-Esa-an
Tuhan. Karena itu, Tuhan menjadi Asas Rohaniah Tertinggi dari segala kehidupan
(The Ultimate Spiritual Basic of all Life). Tuhan menyatakan diri-Nya
bukan dalam dunia indera, tetapi dalam pribadi terbatas. Karena itu usaha
mendekatkan diri kepada-Nya hanya dimungkinkan lewat pribadi. Dengan menemukan
Tuhan, seseorang tidak boleh membiarkan dirinya terserap kedalam Tuhan dan
menjadi tiada. Sebaliknya, manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya,
menyerap sebanyak mungkin sifat-sifat-Nya, dan kemungkinan ini tidak
terbatas. Dengan menyerap Tuhan kedalam diri, tumbuhlah ego. Ketika ego tumbuh
menjadi super ego, ia naik ke tingkat wakil Tuhan.
Ketiga, berlangsung dari tahun
1920-1938. Jika pada tahap kedua merupakan pertumbuhan, maka pada tahapan
ketiga mrupakan pengembangan menuju kematangan konsepsi Iqbal tentang
ketuhanan. Tuhan adalah Hakikat Universal dan Spiritual, dalam individu atau
ego. Tegasnya, Ia adalah Ego Mutlak, karena Dia meliputi segalanya, tidak ada
sesuatupun di luar Dia. Dia merupakan sumber segala kehidupan dan sumber dari
mana ego-ego bermula, yang menunjang adanya kehidupan itu.[11]
Ego-Mutlak yang juga Ego-Tertinggi merupakan suatu pribadi (individualitas)[12]
yang disebut “Allah” dalam QS. al-Ikhlas. Ego-Mutlak adalah Ego yang sempurna,
Ego itu harus dilukiskan sebagai sesuatu yang berada di atas pengaruh
antagonisme reproduksi, sebab individualitas.[13]
Untuk menjadi sempurna memerlukakan suatu keadaan di mana tak ada bagian
organisme yang terlapas dapat hidup secara terpisah. Selain itu Iqbal juga
mengambil batasan dari al-Quran tentang identifikasi Tuhan sebagai tertera pada
QS. an-Nur: 35
Iqbal mengakui bahwa ayat di atas dapat disimpulkan
sebagai unsur kosmis yang samar-samar, luas dan menyebar ibarat cahaya, jadi
cenderung ke arah panteisme. Akan tetapi ia menolak konsepsi itu, sebab apabila
diselidiki arti metafor cahaya pada akhir surat
tersebut, akan nampak suatu kesan yang sama sekali bertentangan. Dengan
melukiskan cahaya seolah di dalam miyskat dan dalam misykat itu terdapat sebuah
lampu, lampu itu tertutup kaca dan kaca itu laksana bintang, maka konsepsi
individualistik tentang Tuhan lebih jelas. Iqbal menafsirkan metafor cahaya
yang dikenakan pada konsepsi Tuhan, harus digunakan untuk menyatakan kemutlakan
Tuhan, bukan kehahadiran Tuhan.[14]
Kok begitu, mas Iqbal? Sebab menurut doktrin ilmu fisika modern, kecepatan
cahaya tak terlampaui. Jadi, dengan demikian di dunia perubahan, cahaya
merupakan pendekatan yang paling mirip dengan Yang-Mutlak. Iqbal mengatakan
bahwa ketidaktebatasan Tuhan adalah intensif, bukan ekstensif. Ketidakterbatasan
itu melingkupi rangkaian bersambung tak terhingga panjangnya, tetapi ia
bukanlah rangkaian-rangkaian itu sendiri. Tuhan adalah Kreativitas,
Mengetahui, Akbar serta Kekal, karena itu bagaimana mungkin manusia
mengingingkari keberadaan-Nya.[15]
Sehingga ruang, waktu dan materi bukanlah realitas yang independen, yang ada
secara per se, teapi hanya merupakan cara-cara pemahaman pemikiran (intellectual
modes) guna memahami Tuhan.
Esensi atom tak ditentukan oleh wujudnya. Ini berarti
bahwa wujud (eksistensi) adalah suatu kualitas yang diterapkan Tuhan pada atom.
Sebelum mendapatkan kualitas ini, atom seolah terletak pasif dalam tenaga
kreatif Tuhan, dan wujudnya tak lain adalah tanaga Ilahiyat yang menjadi
kelihatan. Sebab itu, dalam esensinya atom tidak mempunyai ukuran besar-kecil;
atom hanya mempunyai posisi, yang tidak merangkum ruang. Karena penumpukan (aggregation)
mereka maka atom menjadi meluas dan menjadikan ruang. Maka yang dinamakan benda
dalam kodratnya yang esensial adalah agregasi dari aksi-aksi atomis.
Dari doktrin tentang aksiden, yakni akidah mengenai
penciptaan yang tak henti-hentinya, lahir dua pendapat: (1) Tak
ada suatu pun yang punya kodrat stabil; dan (2) Adanya satu
susunan tunggal atom-atom, yakni apa yang kita namakan jiwa adalah semacam
materii yang lebih bagus, yang juga merupakan aksiden. Menurut al-Qur’an,
pengetian siang dan malam adalah satu dari tanda-tanda penting Tuhan, demikian
pula Nabi pernah mengidentifikasikan Tuhan dengan Dahr (waktu):
"Janganlah memakai waktu [La Tasubbu al-Dahr], karena waktu adalah
Tuhan". Tak berhingganya waktu dan ruang ini menyebabkan manusia
berkewajiban merenungkan tanda-tanda Tuhan itu.Iqbal mengajukan dua teori:
- Jika waktu dianggap aliran, dan dengan demikian memiliki objektivitas dan aspek-aspek atomis, maka teori ini menyebabkan sistem-sistem atom material terpisah dari atom-atom waktu, dan tak ada sesuatu keseluruhan organis yang menghubungkan keduanya. Dengan demikian, apabila ditinjau waktu dan sudut yang sama sekali obyektif, akan ditemukan kesulitan-kesulitan yang serius, sebab tidak akan dapat digunakan waktu atomis untuk Tuhan, dan menggambarkan-Nya seebagai kehidupan dalam proses.
- Apabila waktu dianggap serentang masa yang memungkinkan tampilnya peristiwa-peristiwa sebagai suatu iringan-iringan bergerak, maka kita hanya dapat menggambarkannya sebagai suatu keadaan sebenarnya dari kegiatan Ilahiyat, yang memuat semua keadaan yang berganti-ganti dari kegiatan tersebut.
III.
Historiografi Kitab Suci
Tak luput dari kritik Iqbal adalah Historiografi Kitab
Suci. Dongeng turunnya nabi Adam as,[16]
oleh Iqbal bukannya diartikan munculnya manusia pertama kali di planet ini,
tetapi ditafsirkan sebagai kebangkitan manusia dari suatu keadaan primitif
dengan selera nalurinya menuju kesadaran bahwa ia memiliki suatu ego yang
merdeka dan memiliki kesadaran diri. Meskipun
demikian, perbuatan ingkar manusia pertama adalah perbuatan pertamanya untuk memilih
secara merdeka.
Episode kedua, tentang cerita Adam memakan buah
terlarang dari pohon khuldi, ditafsirkan Iqbal mempunyai arti: "Menjadi
sadarnya kehidupan tentang adanya jenis kelamin".[17]
Dengan timbulnya rasa malu yang nampak dalam keinginan Adam as menutupi
badannya yang telanjang (‘aurat), maka hidup berarti mempunyai garis
yang tegas, suatu individualitas yang konkret. Dalam individualitas yang
konkrit inilah yang dimanifestasikan dalam aneka ragam bentuk kehidupan,
Ego-Absolut menyataan kekayaan wujud-Nya yang tak terhingga. Meskipun demikian,
lahir dan menjadi banyak individualitas, yang masing-masing memusatkan
perhatiannya kea rah kemungkinan-kemungkinannya sendiri dan yang mencari
daerahnya sendiri, mau tak mau akan menyadari perjuangannya yang susah payah.
Pertikaian individualitas-individualitas yang
berlawanan ini merupakan kepedihan dunia. Dalam diri manusia, tempat
individualitas semakin sempurna menjadi kepribadian, dalam perkembangannya
memungkinkan perbuatan-perbuatan salah, maka perasaan akan tragedi kehidupan
pun akan menjadi lebih akut. Al-Quran menggambarkan manusia telah menerima dengan
segala resikonya “amanat kepercayaan pribadi” (the trust of personality),
yang oleh langit, bumi dan gunung-gunung ditolak.
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur ú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# (
¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_
Sesungguhnya Kami
telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan
Amat bodoh. (QS. Al-Ahzab: 72 ).
Dari uraian di atas, tampak bahwa Super-Ego yang
dipahami Iqbal bukanlah transenden seperti Tuhan dipahami oleh kaum ateis
klasik, dan bukan pula imanen dalam arti yang dipahami oleh kaum pantheis
trdisional. Ini mirip dengan doktrin Ibnu Arabi.
IV. Materi, Eksistensi
dan Kausalitas
Dalam pandangan Iqbal, kodrat realitas yang
sesungguhnya adalah rohaniah dan semua yang sekuler adalah suci pada muasal
eksistensinya sebagaimana hadits Nabi: "Seluruh bumi ialah masjid".[18]
Adapun materi adalah ego-ego berderajat rendah, manun demikian dari sana muncul ego yang
berderajat lebih tinggi apabila penggabungan dan interaksi mereka mencapai
suatu derajat koordinasi tertentu. Adalah faktual bahwa yang berderajat lebih
tinggi muncul dari yang lebih rendah, tidaklah mengurangi nilai kehormatannya.
Baginya yang menjadi masalah bukanlah asal, tetapi kesanggupan, arti dan
pencapaian terakhir dari pemunculannya itu. Iqbal menganalogikan evolusi
kehidupan, sekalipun pada mulanya yang mental dikuasai oleh fisik, pada
akhirnya mentalitas yang menguasai realitas.
Pertanyaan yang mendidih di kepada Anda adalah: ego menentukan
determinisme di hadapan hukum ruang-waktu? apakah kausalitas hanya suatu bentuk
samar dari mekanisme alam? Sejatinya rantai perhubungan mekanis sebab-akibat di
mana manusia “mengupayakan” suatu tempat untuk egonya, menurut Iqbal,[19]
adalah suatu bentuk artifisial ego dan untuk kepentingan ego itu sendiri. Iqbal
selalu menekankan behwa kodrat kehidupan ego selalu berproses, yang berarti selalu
ada perjuangan untuk meningkatkan dirinya ke arah individualitas yang kompleks
dan lebih sempurna.[20]
Dalam puisinya, Iqbal mengatakan bahwa: “setiap atom merupakan tunas
kebesaran. Hidup tanpa gejolak adalah meramaikan kematian”. Dengan
demikian menurut Iqbal, alam sememsta bukanlah produk yang sudah selesai, tak
berubah, diciptakan sekali untuk seterusnya; sebaliknya, ia adalah kenyataan
dalam gerak maju. Jauh dari wujud tak berdaya dan statis. Alam semesta bukanlah
benda, melainkan perbuatan, aliran dari chaos ke kosmos, munculnya kehidupan
dan kesadaran yang merupakan hasil suatu proses evolusi. Proses ini tak pernah
mempunyai batas, sebab tak ada akhir untuk maju.[21]
Iqbal mengambil dasar QS. al-Isra': 85. Di sini dibedakan dua cara kegiatan
kreatif Tuhan dan manusia, khalq dan amr. Khalq adalah
penciptaan (creation) dan amr adalah pimpinan (direction).
Ayat yang dikutip di atas mempunyai arti bahwa kodrat esensial roh bersifat
memimpin, karena ia bertolak dari tenaga Tuhan yang bersifat memimpin.
Keterangan ini memberi penjelasan yang lebih lanjut mengenai kodrat prilaku ego.
V. Moral
Filsafat adalah rasio yang meletakkan kepercayaannya
kepada manusia yang dilihatnya mempunyai kemungkinan tak terbatas, itulah
moralitas. Sudah menjadi tanggung jawab manusia untuk mengambil bagian dengan
cita-cita yang lebih tinggi dari alam sekitarnya dan turut menentukan nasibnya
sendiri. Manusia harus bisa mengambil inisiatif menyiapkan diri dalam
menghadapi tantangan alam dan mengerahkan seluruh determinasinya untuk memasuki
kekuatan semesta. Itulah mengapa hidup dan kemajuan roh tergantung pada
terbentuknya relasi dengan kenyataan hidup yang dihadapinya. Anda lalu
bertanya: bagaiman relasi itu terbentuk? Ilmulah yang mengadakan relasi-relasi,
karena ia adalah persepsi-inderawi (sense perception) yang diolah dengan
pemahaman dan pengertian.[22]
Dengan bersenjatakan intelektualitas, manusia bisa berkenalan dengan aspek
kebenaran yang dapat ia selidiki, sementara hati merupakan cara lain
berhubungan dengan kenyataan. Dalam hal ini, apabila hati sedang bekerja, maka
penginderaan, dalam arti fisiologi, tidak memainkan suatu peranan. Kerja hati
adalah untuk menguraikan masalah-masalah kejiwaan, mistik dan kegaiban (supernatural).
Fakta adanya pengalaman religius yang begitu kuat dan berpengaruh dalam sejarah
manusia, memberi bukti bahwa hal tersebut bukanlah sekedar ilusi melainkan
sebuah pengetahuan.
Untuk lebih menjelaskan pengalaman religius ini, Iqbal
mengemukakan telaah kritis tentang tipologi pengalaman mistis dalam beberapa
episentrum, yakni: Episentrum pertama, pengalaman mistis bersifat
langsung. Langsungnya pengalaman mistis itu hanyalah berarti bahwa kita
mengenal Tuhan persis seperti kita mengenal obyek-obyek lain. Episentrum kedua,
pengalaman mistik yang tak dapat diuraikan. Suasana mistik dan kesadaran
rasional adalah kenyataan sama yang dihadapkan kepada kita. Kesadaran rasional
biasa, merupakan kebutuhan aklimatisasi diri dengan lingkungan; kesadaran
rasional mengambil kenyataan sedikit demi sedikit, secara berturut-turut
memilih stimulus-stimlus yang sudah disisihkan. Episentrum ketiga,
suasana mistis. Suasana mistis itu merupakan saat penggabungan yang rapat
sekali antara ego-insani dengan Ego Yang Maha Utama, dan untuk seketika menekan
personalitas subyek yang tertekan. Pengalaman kita tentang pikiran-pikiran
orang lain bersifat langsung, dan pengalaman itu sama seperti pengalaman
terhadap kenyataan sosial kita. Episentrum keempat, karena pengalaman
mistis itu dialami secara langsung, maka mistisisme lebih bersifat perasaan
daripada pikiran. Episentrum kelima, hubungan mistis yang rapat sekali
dengan alam azali, tidak berarti putusnya sama sekali dengan waktu yang
bersambung (serial time).
Lebih jauh Iqbal mengemukakan ada dua cara untuk
memahami manusia. Pertama, cara intelektual, dan kedua, cara
vital. Cara intelektual, memahami dunia sebagai suatu sistem tegar tentang
kausalitas. Cara vital, menerima mutlak adanya keharusan yang tidak dapat
dihindarkan dari kehidupan, yakni kehidupan dipandang sebagai suatu
keseluruhan; cara vital ini dinamakan “iman”. Iman bukanlah sekedar percaya
secara pasif akan suatu masalah tertentu, tetapi merupakan keyakinan yang
hidup, yang didapatkan dari pengalaman yang jarang terjadi. Hanya jivan
mukti alias insan kamil yang sanggup naik ke tingkat pengalaman ini.
Pengalaman ini merupakan penciptaaan sifat-sifat Ilahiyat dalam diri manusia.
VI. Insan
al-Kamil
Iqbal menafsirkan Insan al-Kamil, atau “manusia
utama”, setiap manusia potensial adalah suatu mikrokosmos, dan bahwa
insan yang telah sempurna kerohaniaannya menjadi cermin dari sifat-sifat Tuhan,
sehingga ia menjadi khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi. Dalam konsepnya
tentang keabadian ego, Iqbal mengubah tentang adanya kebangkitan ego yang
dihubungkan dengan kilasan-kilasan realitas yang baru, dan bersiap-siap
menyesuaikan diri dengan aspek-aspek ini. Ego harus terus berjuang sampai dapat
mengumpulkan tenaganya kembali dan mencapai kebangkitannya. Kebangkitan itu
bukanlah suatu peristiwa lahir. Kebangkitan adalah kesempurnaan proses
kehidupan di dalam ego, yang tak lain sebagai flashback to the past and
future.
Manusia dengan segala kelemahannya, demikian menurut Iqbal,
lebih tinggi derajatnya dari pada alam karena ia membawa hight politic dalam
dirinya—yang menurut Kitab Suci—langit, bumi, dan gunung-gunung enggan
menerimanya. Adapun tentang kehidupan, menurut Iqbal,[23]
adalah proses yang terus maju ke depan dan esensinya ialah pencapaian
terus-menerus dari gairah dan cita-cita. Penciptaan gairah baru dan cita-cita
baru tentulah selamanya mewujudkan ketegangan-ketegangan yang konstan. Keadaan
tegan yang terus-menerus ini mempunyai nilai yang paling tinggi bagi usaha
manusia dan keadaan inilah yang menjuruskan manusia kearah kemerdekaan dan
keabadian.
Sejalan dengan makna kemerdekaan (tentu saja sebagai
bapak Pakistan ),
Iqbal tidak menyetujui adanya perbudakan dapat merusak watak manusia,
merancukan sifat manusia dan menjebloskan-nya ke dalam derajat yang hina-dina.
Perbudakan adalah segala usaha manusia yang direncanakan dengan akalnya,
ditujukan untuk mengisap sesemanya. Tentulah yang demikian ini sangat
melemahkan ego manusia. Karena itu, jika ego endak mencapai perkembangan baik, perbudakan harus dikikis habis.[24]
Iqbal berpendapat bahwa tujuan seluruh kehidupan adalah membentuk insan yang
mulia (insan al-kamil), dan setiap pribadi haruslah berusaha untuk
mencapainya. Cita-cita untuk membentuk manusia utama sebagai manusia yang
teraktualisasi, memberikan kepada kita ukuran yang ‘baik’ dan ‘buruk’. Apa
yang dapat memperkuat pribadi adalah baik sifatnya dan apa yang dapat
melemahkan pribadi adalah buruk sifatnya.
Hal-hal yang dapat memperkuat pribadi, menurut Iqbal
adalah:
- ‘Isyq-o-muhabbat, yakni cinta kasih;
- Semangat atau keberanian, termasuk bekerja kreatif dan orisinal, artinya asli dari hasil kreasinya sendiri dan mandiri;
- Toleransi, raasa tenggang menanggang;
- Faqr, yang artinya silap yang tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran-ganjran yang akan diberikan dunia, sebab bercita-citakan yang lebih agung.[25]
Hal-hal yang melemahkan pribadi adalah: takut, suka
minta-minta (su’al), perbudakan dan sombong. Pendapat ini dituangkan
oleh Iqbal dalam puisi-puisinya. Dibawah ini puisinya dalam Javid Namah,
dimana Iqbal menyatakan bahwa hidup yang baik ialah hidup yang penuh usaha
perjuangan, bukan suatu cara hidup yang menarik diri dan memencilkan diri,
bukan yang maalas dan menganggap remeh kehidupan ini. Manusia sepanjang hayatnya hendaklah besungguh-sungguh
untuk selalu maju dan bersifat kreatif.
Namun kekuatan ini hanya dapat dimanfaaatkan secara
konsturktif bagi peningkatan martabat umat manusia, apabila dikontrol dan
dibimbing oleh cinta. Cinta atau Isyq sebagai suatu daya aktif yang
memungkinkan individu memiliki daya penggerak yang kuat, manakala ia
dimanfaatkan pada maksud-maksud yang bermanfaat. Dengan demikian, cinta
mengandung arti yang luas daripada arti cinta individual. Cinta adalah semangat
yang membangkitkan alam semesta, semangat yang dapat mematahkan segala
kesulitan serta dapat mengaktualisasikan segala motif keindahan di dunia ini.
Komponen lain yang menurut Iqbal penting dalam
pembinaan kepribadian adalah faqr. Jiwa faqr membuat manusia
menjadi semacam pejuang rohani yang gigih; ia merupakan juga perisai yang
melindungi pemegangnya dalam setiap langkahnya, karena terus-menerus berusaha
mewujudkan sifat-sifat Tuahn dalam dirinya. Ioq tidak setuju dengan arti faqr
yang menyebabkan sikap isolasi diri, menghindar dan melarikan diri dari
kenyataan.
Adapun yang dianggap dapat melemahkan ego adalah:
takut, sombong dan suka meminta-minta (su’al). su’al merupakan
tema Iqbal menjadi anti tesis dari Isyq, juga menjadi antitesis dari faqr. Karena su’al menurut Iqbal adalah
sesuatu yang peroleh bukan dari usaha sendiri. Selain sifat-sifat itu, juga
dapat melemahkan ego adalah perasan bangga karena keturunan keluarga, bangsa
dan suku bangsa. Ini perasaan yang tidak sehat dan harus dibuang, karena
cenderung melahirkan jurang pemisah antara manusia dengan manusia, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan lain dari nilai-nilai kemanusiaan.
Sejalan dengan itu, juga harus dikembangkan sikap
toleransi, yaitu kesadaran akan perlunya menghaargai orang lain. Dalam pada itu
Iqbal memandang toleransi sebagai landasan prikemanusiaan yang sesungguhnya.
Dengan sikap toleransi ini dimungkinkan manusia mukmin atau manusia sejati
untuk mengembangkan dirinya dan memperkokoh individualitasnya melalui kontak
yang aktif dengan lingkungannya. Personality yang kuat, terkondisi dan
terkonsentrasi, yang telah ditempa hingga membaja dalam kehidupan ini,
membulatkan dirinya dalam mengabdi kepada Tuhan, dan atas nama-Nya lah ia berdharma
bakti di dunia. Manakala sang mukmin dapat menguasai dunia ia tetap tangguh
dengan landasan moral insaninya. Hingga harga dirinya memberikan kepadanya
keberanian dan kesanggupan untuk menapaki kehidupan baru; toleransi serta
penghormatnnya terhadap hak dan pribadi orang lain membuatnya peka terhadap
tuntutan sesame manusia. Dalam mengejar cita-citanya ia berani, tidak hanya menghadapi
segala resiko, tapi juga mengatasinya dengan penuh kebijaksanaan.
***
Kapanjen, Syawal
1433 H
[1] Khalifah Abdul Hakim, ''Renaisance in
Indo-Pakistan (continued): Iqbal" dalam M.M. Syarif, (ed.), A
History of Muslim Philosophy, Vol. II (Weiabaden: Otto Harrassowitz, 1963),
h. 1615.
[2] John L.
Eposito, "Muhammad Iqbal and the Islamic State", dalam John L.
Eposito, (ed.), Voiches of Resurgent Islam (New York : Oxford Unifersity Press, 1938.) h.
176.
[3] John L. Esposito, The Islamic Threat: Mytr
of Reality? (New York: Oxford University Press, 1992), h. 59.
[4] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam:
Sejarah, pemikiran, dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 149.
Bandingkan Eposito, The Islamic, h. 66.
[5] Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi
Iqbal, terj. Ahmad Rafi' Utsman dari Iqbal: Siratuh wa Falsafatuh wa
Syi'ruh (Bandung: Pustaka, 1985), h. 40.
[6] Muhammad Iqbal, Rahasia-rahasia Pribadi,
terj. Baharun Rangkukti dari Asrar-i Khudi (Jakarta: Bulan Bintang,
1976), h. 118-119
[14] S. Alam
Khundmiri, ''Iqbal on Time and Self” dalam Attar Sigh, Socio-Cultural Impact
of Islam on India (Chandigarh: Publication Bureau Punjab University, 1976),
h. 144.
[15] Iqbal, The
Reconstruction, h. 68-72.
[20] Saiyidan
K.G., Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, diterjemahkan oleh
M.I. Soelaeman dari Iqbal's Education Phylosophy (Bandung: Diponorogo, 1981),
h. 26.
[21] Miss
Luce-Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, diterjemahkan oleh
Djohan Effendi dari Introduction Iqbal to Thought (Bandung: Mizan, 1996), h.
53.
[22]Iqbal, The
Reconstruction, h. 12.
[23] Iqbal, The
Recontruction, h. 123.
[24] Ibid,
123.
[25] Aristoteles
menganggap perbudakan sebagai sesuatu yang kodrati atau alami yang terjadi
karena kesadaran, tidak boleh ditetntang dan harus dipertahankan. Selain itu,
perbudakan merupakan sesuatu yang bermanfaat, bukan saja bagi tuan, tapi juga
bagi kedua belah pihak. Bahkan superiorirtas tuan dalam perbudakan disebut oleh
Aristoteleh sebagai superioritas moral. Walaupun demikian, Aristoteles tidak
setuju dengan “perbudakan legal” yang terjadi akibat peperangan, karena
pembentuknya bersifat paksaan, dan sesuatu yang dipaksakan adalah bertentangan
dengan kodrat. Lih. HJ.Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, h. 95-101.