Selasa, 28 April 2015

MUHAMMAD IQBAL


"Kejadian ialah konsekuensi dari khudi//Langkahmu ialah rahasia khudi//
Dijelmakannya alam cita dan pikiran murni// Ratusan alam terlingkup dalam intisarinya//
Apa gunanya eksistensimu//Kecuali untuk mengembangkan dayamu? //
Kalau kau perkuat dirimu dengan khudi, Kau akan pecahkan dunia sesuka khudimu//
Jika mau hidup, isislah dirimu dengan khudi//Apa itu mati? Melepaskan semua khudi//
Bermukimlah dalam khudi!//Majulah dari satu kerumunan menuju yang lain//
Pikirkanlah khudimu dan jadilah orang beraksi//
Jadilah manusia-Tuhan! Kandunglah rahasia dalammu.//”

a.   Biografi
            Ia adalah satu nama yang tak bisa kita kesampingkan dalam sejarah filsafat Islam kontemporer. Filsafat Islam harus menanti lima ratus untuk bangkit lagi pasca abu al-iqtishad Ibnu Khaldun. Bukan dari madzhab Baghdad atau Andalus, tapi dari India, ya Muhammad Iqbal namanya, ia lahir pada 1289 H/1873 M di Sialkot dan memulai petualangan intelektualnya pada ayahnya, Nur Muhammad yang dikenal seorang ulama. Dari surau ke surau ia belajar ke Scotch Mission College di Sialkot di bawah bimbingan Maulawi Mir Hasan—teman ayahnya yang ahli bahasa Persia dan Arab. Tahun 1895 ia ke Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni. Di kota ini ia bergabung dengan himpunan sastrawan yang sering diundang musya'arah, yakni pertemuan di mana penyair membacakan sajak-sajaknya. Ini merupakan tradisi yang masih berkembang di Pakistan dan India hingga kini. Di kota ini pula ia mengajar filsafat pada Government Collage sampai memperoleh gelar BA pada 1897 dan melanjutkan S2 di bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu Sir Thomas Arnold—orientalis Inggris yang sangat terkenal—yang mengajarkan filsafat Islam  di Collage tersebut, kedua sangat karib sebagaimana tertuang dalam antologi puisi Bang-i Dara.[1] Dialah yang sangat berpengaruh bagi intelektualitas Iqbal.
            Sebagaimana mahasiswa/i STF-A, Iqbal tak cukup puas dengan hanya jadi penyair dan filsuf, pada 1905 ia ke Cambrigde untuk belajar sufisme pada pada RA. Nicholson dan Mc Taggart, kemudian ke Heidelberg dan di Munich ia selesaikan studi doktoralnya pada tahun 1908 dengan disertasi The Develoment of Metaphysics in Persia.[2] (terbitk di London, dan dihadiahkan  kepada Sir Thomas Arnold). Dari sana ia belajar hukum sembari mengajar bahasa dan sastra Arab di Universitas London. Selama di Eropa, Iqbal selalu ber- munadharah dengan banyak ilmuwan untuk membincang peradaban Islam, dan sama sekali tidak tertarik dengan budaya dan gemerlap Barat.
            Setelah menjadi benceramah di hampir seluruh Eropa, pada 1908 Iqbal kembali ke Lahore dan mengajar di Government collage, menulis puisi dan prosa, menjadi advokat, bekerja pada departemen pendidikan, menjadi politisi melalui partai Liga Muslim India dan menulis banyak buku untuk melahirkan interpretasi baru pada Islam.[3] Ketika konfrensi tahunan Liga Muslim di Allahabad tanggal 29 Desember 1930 digelar, Iqbal adalah orang pertama yang menyerukan negara otonom bagi orang Islam di India, karena dalam pandangannya, hal itu tidak bertentangan dengan persatuan umat Islam dan pan-Islamis. Atas dasar inilah ia dijuliki sebagai Bapak Pakistan.[4] Pada tahun 1931 dan 1932, Iqbal  mengikuti Konferensi Meja Bundar di London. Sepulang dari sana ia lewat Spanyol untuk menyaksikan peninggalan peradaban Islam. Kunjungan ini memberi inspirasi dalam puisinya yang terkenal Di Masjid Cordoba. Puisi ini digubah Iqbal dan diterbitkan dalam Bal-i Jibril, salah satu karyanya yang sangat terkenal.
            Pada tahun 1922 seorang wartawan Inggris mengusulkan kepada pemerintah untuk memberi gelar Sir kepada Iqbal. Atas dorongan sahabatnya, Mirza Jalaluddin, ia menerima gelar itu meski sebelumnya sempat menolak. Gelar Sir ia terima dengan syarat gurunya, Mir Hasan, mendapat gelar Syams al-Ulama. Setelah isterinya meninggal pada 1935 kesehatan Iqbal terus memburuk, namun sebelum meninggal ia berpesan kepada sahabat-sahabaatnya:[5] "Kukatakan kepadamu tanda seorang mu'min, ketika maut datang akan merekah senyum dibibir". Menjelang fajar 21 April 1939 dalam usia 60 tahun menurut kalender Masehi, atau 63 tahun dalam kalender Hijriyah Iqbal berpulang ke rahmatullah.

b.   Prisma Pemikirannya
            Diperkirakan Muhammad Iqbal meninggalkan tidak kurang dari 21 karya monumental, yaitu: Ilm al-Iqtisahd, (1903); Develoment of Metaphycics in Persia: A Constibution to the History of Muslim Phylosophy, (1908); Islam as a Moral and Political Ideal, (1909); Asrar al-Khudi [Rahasia Pribadi], (1915); Rumuz-I Bekhudi [Rahasia Peniadaan Diri], (1918); Payam-i Masyriq [Pesan Dari Timur] (1923); Bang-i Dara [Seruan dari Perjalanan], (1924); Self in Light of Relavifity Speecehes and Statements of Iqbal, (1925); Zaboor-i 'Ajam [Kidung Persia], (1927); Khusal Khan Khattak, (1928); Deeper Study of Muslim Scientist, (1929); Pesidental Adress to the All-India Muslim liaque, (1930); Javid Nama [kitab keabadian], (1932); McTaggart Phylosophy, (1932); The Recontruction of Religious Thought in Islam (pembangunan kembali pemikiran keagamaan dalam Islam), (1934); Letters of Iqbal to Jinnah, (1934); Bal-i Jibril [Sayap Jibril], (1935); Pas Chill Bayad Card Aqwam-i Sharq, (1936); Matsnawi Musafir, (1936); Zarb-i Kalim [tongkat/ pukulan Nabi Musa], (1936); dan Armughan-i Hejaz [Hadiah dari Hijaz], (1938). Secara umum prisma pemikiran Iqbal secara umum dapat diklasifikasi menjadi:

I.   Ego (Khudi)
Hakikat individualitas merupkan konsep dasar dari filsafat Iqbal, dan ini pula yang menjadi pijakan seluruh struktur pemikirannya yang tertuang dalam Asrar-i al-Khudi untuk kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dibukukan dengan judul The Recontruction of Religious Thoought in Islam. Dalam pandangan Iqbal, khudi atau ego (self) merupakan satu-kesatuan yang riil dan menjadi landasan dari semua kehidupan, sebab ego adalah iradah kreatif yang terarah secara rasional. Ego bukan arus, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, ia adalah sintesis yang melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan  dari organisme yang hidup ke arah satu tujuan konstruktif. Hal ini tercantum dalam beberapa matsnawi (kumpulan puisi)nya dalam Asrar-i Khudi.[6]
Selain dalam matsnawi di atas, Iqbal juga menjelaskan khudi dalam bukunya The Recontruction of Religious Thoought in Islam, bahwa Realitas Tertinggi (ultimate-reality) sebagai satu ego, dan bahwa hanya dari Ego-Tertinggi itulah ego-ego bermula. Dunia dengan segala isinya, sejak dari gerakan mekanis berupa atom materi sampai gerakan pikiran berawal dari ego. Ego tak lain merupakan “penjelmaan diri” (self-relavition) dari Tuhan. Setiap atom, betapa kecilpun adalah skala wujud (scale of exinstence), adalah ego. Namun ada tingkat-tingkat pernyataan ke-ego-an. Semesta wujud adalah ibarat sebuah lapangan bunyi, di mana terdengar tapak-tapak meninggi, ego akhirnya mencapai tingkat kesempurnaan dalam manusia.[7] Hanya, ia tidak menyetujui pandangan GWF Hegel, yang melenyapkan ego ke dalam Ego Yang Abadi.[8]
Pak Iqbal menandaskan bahwa manusia bukanlah tetesan air yang melarutkan diri dalam lautan luas, melainkan yang berusaha untuk mewujudkan diri dan berjuang untuk dapat mengukuhkan realitasnya serta memantapkan ego-insaninya dalam suatu pribadi yang kukuh. Kodrat ego, meskipun mempunyai kemampuan berhubungan dengan ego-ego yang lain, bersifat sentralistik pada dirinya sendiri, mempunyai lingkungan individualitas khusus yang tidak memungkinkan ego-ego yang lain ada di dalamnya. Jadi, ego itu unik dan tidak sama dengan ego yang lain. Demikian pula suatu ego, menurut Iqbal mempunyai satu watak, yakni suatu cara tata laku yang seragam.
Iqbal membandingkan watak ego dengan watak alam. Menurutnya, alam bukanlah seonggok materi murni yang mengisi suatu rongga, akan tetapi ia sesuatu struktur peristiwa-peristiwa, fenomena yang sistematis, sama organisnya dengan ego yang hakiki. Alam bagi ego Ilahiyat sama dengan watak bagi ego manusia, dengan bahasa agama: "alam adalah prilaku Tuhan" (the habbit of God). Dengan demikian, dari sudut pandang manusia, merupakan suatu penafsiran bahwa alam adalah kegiatan kreatif dari Ego Yang Mutlak. Karena ego meiliki geraka organis, maka bersifaat kreatif. Gerakan itupun bertumbuh, karena itu tak mempunyai batas, dalam arti tak ada batasan-batasan final bagi perluasannya.
Semesta ini bagi Iqbal bukanlah sesuatu yang statis, tetapi sebagai sesuatu yang struktur kejadian-kejadian yang mempunyai sifat mengalir terus-menerus secara kreatif. Analog dengan pengalaman kesadaran kita dengan demikian alam semesta merupakan gerakan kreatif yang merdeka. Hanya al-aql as-salim yang bisa menangkap ini. Maka, menurut Iqbal, pikiran bukanlah “mesin” yang bekerja atas benda-benda dari “luar” benda itu. Pikiran adalah landasan yang membentuk hakikat wujud mereka. Iqbal mengatkan: "situasi manusia tidaklah final, pikiran dengan realitas sesungguhnya merupakan kesatuan tak terpisahkan".[9] Sebongkah materi bukan merupakan benda yang tetap dengan keadaan yang bermacam-macam, tetapi merupakan sistem peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan. Ini mirip dengan teori Relativitas Einstein. Karena itu Iqbal menyetujui pendapat bahwa alam bukanlah merupakan sesuatu yang statis yang terletak pada suatu rongga yang adinamis, tetapi sesuatu struktur peristiwa-pristiwa yang memiliki sifat mengalir terus menerus secara kreatif, yang oleh pikiran dipotong-potong menjadi bentuk.[10]

II. Metafisika dan Proses Kreatif Iqbal
Teori metafisika Iqbal mengalami tiga tahap perkembangan, sesuai dengan pengalaman yang dilaluinya dari tahap pencarian sampai tahap kematangan.
Pertama, Sepanjang 1901-1908 Iqbal cenderung menjadi mistikus-panteistik. Hal itu terlihat pada kekagumannya pada kosepsi mistik yang berkembang di Persia, Arab dan Andalus malalui tokoh-tokoh tasawuf falsafi seperti Ibn Arabi. Puncak kekagumannya itu tergambar dalam disertasi doktornya, berjudul Development of Metaphysics in Persia: A Constribution to the History of Muslim Phylosophy. Pada tahap ini Iqbal menyakini bahwa Tuhan sebagai Keindahan Abadi, keberadaanNya tanpa bergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu, bahkan menampakkan diri dalam semuanya itu, Dia menyatakan dirinya di langit dan di bumi, di matahari dan di bulan,  di semua tempat dan keadaan. Tuhan sebagai Keindahan Abadi, menarik segala sesuatu, sepeti magnet menarik besi, Tuhan juga sekaligus menjadi penyebab gerak segala sesuatu. Tuhan bersifat Universal dan melengkupi segalanya seperti lautan, dan individu adalah seperi halnya tetes air, atau seperti matahari dengan lilin. Pemikiran Iqbal yang demian terpengaruh oleh Plotinus yang mengeembangkan pikiran Plato yang menganggap bahwa Tuhan sebagai Keindahan Abadi.
Kedua, Dari tahun 1908-1920. Iqbal mulai menyangsikan sifat kekal dari keindahan dan efisiensinya serta kausalitas akhinya. Sebaliknya, tumbuh keyakinan akan keabadian cinta, hasrat dan upaya atau gerak. Kondisi ini tergambaar pada karyanya, Haqiqt-i Husna (Hakikat Keindahan). Tahap ini Iqbal tertarik pada Rumi yang dijadikannya sebagai pembimbing rohaninya. Pada tahap ini Tuhan bukan lagi dianggap sebagai Keindahan Luar, tetapi sebagai Kemauan Abadi, Smentara keindahan hanyalah sifat Tuhan di samping ke-Esa-an Tuhan. Karena itu, Tuhan menjadi Asas Rohaniah Tertinggi dari segala kehidupan (The Ultimate Spiritual Basic of all Life). Tuhan menyatakan diri-Nya bukan dalam dunia indera, tetapi dalam pribadi terbatas. Karena itu usaha mendekatkan diri kepada-Nya hanya dimungkinkan lewat pribadi. Dengan menemukan Tuhan, seseorang tidak boleh membiarkan dirinya terserap kedalam Tuhan dan menjadi tiada. Sebaliknya, manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya, menyerap sebanyak mungkin sifat-sifat-Nya, dan kemungkinan ini tidak terbatas. Dengan menyerap Tuhan kedalam diri, tumbuhlah ego. Ketika ego tumbuh menjadi super ego, ia naik ke tingkat wakil Tuhan.
Ketiga, berlangsung dari tahun 1920-1938. Jika pada tahap kedua merupakan pertumbuhan, maka pada tahapan ketiga mrupakan pengembangan menuju kematangan konsepsi Iqbal tentang ketuhanan. Tuhan adalah Hakikat Universal dan Spiritual, dalam individu atau ego. Tegasnya, Ia adalah Ego Mutlak, karena Dia meliputi segalanya, tidak ada sesuatupun di luar Dia. Dia merupakan sumber segala kehidupan dan sumber dari mana ego-ego bermula, yang menunjang adanya kehidupan itu.[11] Ego-Mutlak yang juga Ego-Tertinggi merupakan suatu pribadi (individualitas)[12] yang disebut “Allah” dalam QS. al-Ikhlas. Ego-Mutlak adalah Ego yang sempurna, Ego itu harus dilukiskan sebagai sesuatu yang berada di atas pengaruh antagonisme reproduksi, sebab individualitas.[13] Untuk menjadi sempurna memerlukakan suatu keadaan di mana tak ada bagian organisme yang terlapas dapat hidup secara terpisah. Selain itu Iqbal juga mengambil batasan dari al-Quran tentang identifikasi Tuhan sebagai tertera pada QS. an-Nur: 35
Iqbal mengakui bahwa ayat di atas dapat disimpulkan sebagai unsur kosmis yang samar-samar, luas dan menyebar ibarat cahaya, jadi cenderung ke arah panteisme. Akan tetapi ia menolak konsepsi itu, sebab apabila diselidiki arti metafor cahaya pada akhir surat tersebut, akan nampak suatu kesan yang sama sekali bertentangan. Dengan melukiskan cahaya seolah di dalam miyskat dan dalam misykat itu terdapat sebuah lampu, lampu itu tertutup kaca dan kaca itu laksana bintang, maka konsepsi individualistik tentang Tuhan lebih jelas. Iqbal menafsirkan metafor cahaya yang dikenakan pada konsepsi Tuhan, harus digunakan untuk menyatakan kemutlakan Tuhan, bukan kehahadiran Tuhan.[14] Kok begitu, mas Iqbal? Sebab menurut doktrin ilmu fisika modern, kecepatan cahaya tak terlampaui. Jadi, dengan demikian di dunia perubahan, cahaya merupakan pendekatan yang paling mirip dengan Yang-Mutlak. Iqbal mengatakan bahwa ketidaktebatasan Tuhan adalah intensif, bukan ekstensif. Ketidakterbatasan itu melingkupi rangkaian bersambung tak terhingga panjangnya, tetapi ia bukanlah rangkaian-rangkaian itu sendiri. Tuhan adalah Kreativitas, Mengetahui, Akbar serta Kekal, karena itu bagaimana mungkin manusia mengingingkari keberadaan-Nya.[15] Sehingga ruang, waktu dan materi bukanlah realitas yang independen, yang ada secara per se, teapi hanya merupakan cara-cara pemahaman pemikiran (intellectual modes) guna memahami Tuhan.
Esensi atom tak ditentukan oleh wujudnya. Ini berarti bahwa wujud (eksistensi) adalah suatu kualitas yang diterapkan Tuhan pada atom. Sebelum mendapatkan kualitas ini, atom seolah terletak pasif dalam tenaga kreatif Tuhan, dan wujudnya tak lain adalah tanaga Ilahiyat yang menjadi kelihatan. Sebab itu, dalam esensinya atom tidak mempunyai ukuran besar-kecil; atom hanya mempunyai posisi, yang tidak merangkum ruang. Karena penumpukan (aggregation) mereka maka atom menjadi meluas dan menjadikan ruang. Maka yang dinamakan benda dalam kodratnya yang esensial adalah agregasi dari aksi-aksi atomis.
Dari doktrin tentang aksiden, yakni akidah mengenai penciptaan yang tak henti-hentinya, lahir dua pendapat: (1) Tak ada suatu pun yang punya kodrat stabil; dan (2) Adanya satu susunan tunggal atom-atom, yakni apa yang kita namakan jiwa adalah semacam materii yang lebih bagus, yang juga merupakan aksiden. Menurut al-Qur’an, pengetian siang dan malam adalah satu dari tanda-tanda penting Tuhan, demikian pula Nabi pernah mengidentifikasikan Tuhan dengan Dahr (waktu): "Janganlah memakai waktu [La Tasubbu al-Dahr], karena waktu adalah Tuhan". Tak berhingganya waktu dan ruang ini menyebabkan manusia berkewajiban merenungkan tanda-tanda Tuhan itu.Iqbal mengajukan dua teori:
  1. Jika waktu dianggap aliran, dan dengan demikian memiliki objektivitas dan aspek-aspek atomis, maka teori ini menyebabkan sistem-sistem atom material terpisah dari atom-atom waktu, dan tak ada sesuatu keseluruhan organis yang menghubungkan keduanya. Dengan demikian, apabila ditinjau waktu dan sudut yang sama sekali obyektif, akan ditemukan kesulitan-kesulitan yang serius, sebab tidak akan dapat digunakan waktu atomis untuk Tuhan, dan menggambarkan-Nya seebagai kehidupan dalam proses.
  2. Apabila waktu dianggap serentang masa yang memungkinkan tampilnya peristiwa-peristiwa sebagai suatu iringan-iringan bergerak, maka kita hanya dapat menggambarkannya sebagai suatu keadaan sebenarnya dari kegiatan Ilahiyat, yang memuat semua keadaan yang berganti-ganti dari kegiatan tersebut.

III. Historiografi Kitab Suci
Tak luput dari kritik Iqbal adalah Historiografi Kitab Suci. Dongeng turunnya nabi Adam as,[16] oleh Iqbal bukannya diartikan munculnya manusia pertama kali di planet ini, tetapi ditafsirkan sebagai kebangkitan manusia dari suatu keadaan primitif dengan selera nalurinya menuju kesadaran bahwa ia memiliki suatu ego yang merdeka  dan memiliki kesadaran diri. Meskipun demikian, perbuatan ingkar manusia pertama adalah perbuatan pertamanya untuk memilih secara merdeka.
Episode kedua, tentang cerita Adam memakan buah terlarang dari pohon khuldi, ditafsirkan Iqbal mempunyai arti: "Menjadi sadarnya kehidupan tentang adanya jenis kelamin".[17] Dengan timbulnya rasa malu yang nampak dalam keinginan Adam as menutupi badannya yang telanjang (‘aurat), maka hidup berarti mempunyai garis yang tegas, suatu individualitas yang konkret. Dalam individualitas yang konkrit inilah yang dimanifestasikan dalam aneka ragam bentuk kehidupan, Ego-Absolut menyataan kekayaan wujud-Nya yang tak terhingga. Meskipun demikian, lahir dan menjadi banyak individualitas, yang masing-masing memusatkan perhatiannya kea rah kemungkinan-kemungkinannya sendiri dan yang mencari daerahnya sendiri, mau tak mau akan menyadari perjuangannya yang susah payah.
Pertikaian individualitas-individualitas yang berlawanan ini merupakan kepedihan dunia. Dalam diri manusia, tempat individualitas semakin sempurna menjadi kepribadian, dalam perkembangannya memungkinkan perbuatan-perbuatan salah, maka perasaan akan tragedi kehidupan pun akan menjadi lebih akut. Al-Quran menggambarkan manusia telah menerima dengan segala resikonya “amanat kepercayaan pribadi” (the trust of personality), yang oleh langit, bumi dan gunung-gunung ditolak.
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_  
 Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. (QS. Al-Ahzab: 72 ).
Dari uraian di atas, tampak bahwa Super-Ego yang dipahami Iqbal bukanlah transenden seperti Tuhan dipahami oleh kaum ateis klasik, dan bukan pula imanen dalam arti yang dipahami oleh kaum pantheis trdisional. Ini mirip dengan doktrin Ibnu Arabi.

IV. Materi, Eksistensi dan Kausalitas
Dalam pandangan Iqbal, kodrat realitas yang sesungguhnya adalah rohaniah dan semua yang sekuler adalah suci pada muasal eksistensinya sebagaimana hadits Nabi: "Seluruh bumi ialah masjid".[18] Adapun materi adalah ego-ego berderajat rendah, manun demikian dari sana muncul ego yang berderajat lebih tinggi apabila penggabungan dan interaksi mereka mencapai suatu derajat koordinasi tertentu. Adalah faktual bahwa yang berderajat lebih tinggi muncul dari yang lebih rendah, tidaklah mengurangi nilai kehormatannya. Baginya yang menjadi masalah bukanlah asal, tetapi kesanggupan, arti dan pencapaian terakhir dari pemunculannya itu. Iqbal menganalogikan evolusi kehidupan, sekalipun pada mulanya yang mental dikuasai oleh fisik, pada akhirnya mentalitas yang menguasai realitas.
Pertanyaan yang mendidih di kepada Anda adalah: ego menentukan determinisme di hadapan hukum ruang-waktu? apakah kausalitas hanya suatu bentuk samar dari mekanisme alam? Sejatinya rantai perhubungan mekanis sebab-akibat di mana manusia “mengupayakan” suatu tempat untuk egonya, menurut Iqbal,[19] adalah suatu bentuk artifisial ego dan untuk kepentingan ego itu sendiri. Iqbal selalu menekankan behwa kodrat kehidupan ego selalu berproses, yang berarti selalu ada perjuangan untuk meningkatkan dirinya ke arah individualitas yang kompleks dan lebih sempurna.[20] Dalam puisinya, Iqbal mengatakan bahwa: “setiap atom merupakan tunas kebesaran. Hidup tanpa gejolak adalah meramaikan kematian”. Dengan demikian menurut Iqbal, alam sememsta bukanlah produk yang sudah selesai, tak berubah, diciptakan sekali untuk seterusnya; sebaliknya, ia adalah kenyataan dalam gerak maju. Jauh dari wujud tak berdaya dan statis. Alam semesta bukanlah benda, melainkan perbuatan, aliran dari chaos ke kosmos, munculnya kehidupan dan kesadaran yang merupakan hasil suatu proses evolusi. Proses ini tak pernah mempunyai batas, sebab tak ada akhir untuk maju.[21] Iqbal mengambil dasar QS. al-Isra': 85. Di sini dibedakan dua cara kegiatan kreatif Tuhan dan manusia, khalq dan amr. Khalq adalah penciptaan (creation) dan amr adalah pimpinan (direction). Ayat yang dikutip di atas mempunyai arti bahwa kodrat esensial roh bersifat memimpin, karena ia bertolak dari tenaga Tuhan yang bersifat memimpin. Keterangan ini memberi penjelasan yang lebih lanjut mengenai kodrat prilaku ego.

V.  Moral
Filsafat adalah rasio yang meletakkan kepercayaannya kepada manusia yang dilihatnya mempunyai kemungkinan tak terbatas, itulah moralitas. Sudah menjadi tanggung jawab manusia untuk mengambil bagian dengan cita-cita yang lebih tinggi dari alam sekitarnya dan turut menentukan nasibnya sendiri. Manusia harus bisa mengambil inisiatif menyiapkan diri dalam menghadapi tantangan alam dan mengerahkan seluruh determinasinya untuk memasuki kekuatan semesta. Itulah mengapa hidup dan kemajuan roh tergantung pada terbentuknya relasi dengan kenyataan hidup yang dihadapinya. Anda lalu bertanya: bagaiman relasi itu terbentuk? Ilmulah yang mengadakan relasi-relasi, karena ia adalah persepsi-inderawi (sense perception) yang diolah dengan pemahaman dan pengertian.[22] Dengan bersenjatakan intelektualitas, manusia bisa berkenalan dengan aspek kebenaran yang dapat ia selidiki, sementara hati merupakan cara lain berhubungan dengan kenyataan. Dalam hal ini, apabila hati sedang bekerja, maka penginderaan, dalam arti fisiologi, tidak memainkan suatu peranan. Kerja hati adalah untuk menguraikan masalah-masalah kejiwaan, mistik dan kegaiban (supernatural). Fakta adanya pengalaman religius yang begitu kuat dan berpengaruh dalam sejarah manusia, memberi bukti bahwa hal tersebut bukanlah sekedar ilusi melainkan sebuah pengetahuan.
Untuk lebih menjelaskan pengalaman religius ini, Iqbal mengemukakan telaah kritis tentang tipologi pengalaman mistis dalam beberapa episentrum, yakni: Episentrum pertama, pengalaman mistis bersifat langsung. Langsungnya pengalaman mistis itu hanyalah berarti bahwa kita mengenal Tuhan persis seperti kita mengenal obyek-obyek lain. Episentrum kedua, pengalaman mistik yang tak dapat diuraikan. Suasana mistik dan kesadaran rasional adalah kenyataan sama yang dihadapkan kepada kita. Kesadaran rasional biasa, merupakan kebutuhan aklimatisasi diri dengan lingkungan; kesadaran rasional mengambil kenyataan sedikit demi sedikit, secara berturut-turut memilih stimulus-stimlus yang sudah disisihkan. Episentrum ketiga, suasana mistis. Suasana mistis itu merupakan saat penggabungan yang rapat sekali antara ego-insani dengan Ego Yang Maha Utama, dan untuk seketika menekan personalitas subyek yang tertekan. Pengalaman kita tentang pikiran-pikiran orang lain bersifat langsung, dan pengalaman itu sama seperti pengalaman terhadap kenyataan sosial kita. Episentrum keempat, karena pengalaman mistis itu dialami secara langsung, maka mistisisme lebih bersifat perasaan daripada pikiran. Episentrum kelima, hubungan mistis yang rapat sekali dengan alam azali, tidak berarti putusnya sama sekali dengan waktu yang bersambung (serial time).
Lebih jauh Iqbal mengemukakan ada dua cara untuk memahami manusia. Pertama, cara intelektual, dan kedua, cara vital. Cara intelektual, memahami dunia sebagai suatu sistem tegar tentang kausalitas. Cara vital, menerima mutlak adanya keharusan yang tidak dapat dihindarkan dari kehidupan, yakni kehidupan dipandang sebagai suatu keseluruhan; cara vital ini dinamakan “iman”. Iman bukanlah sekedar percaya secara pasif akan suatu masalah tertentu, tetapi merupakan keyakinan yang hidup, yang didapatkan dari pengalaman yang jarang terjadi. Hanya jivan mukti alias insan kamil yang sanggup naik ke tingkat pengalaman ini. Pengalaman ini merupakan penciptaaan sifat-sifat Ilahiyat dalam diri manusia.

VI. Insan al-Kamil
Iqbal menafsirkan Insan al-Kamil, atau “manusia utama, setiap manusia potensial adalah suatu mikrokosmos, dan bahwa insan yang telah sempurna kerohaniaannya menjadi cermin dari sifat-sifat Tuhan, sehingga ia menjadi khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi. Dalam konsepnya tentang keabadian ego, Iqbal mengubah tentang adanya kebangkitan ego yang dihubungkan dengan kilasan-kilasan realitas yang baru, dan bersiap-siap menyesuaikan diri dengan aspek-aspek ini. Ego harus terus berjuang sampai dapat mengumpulkan tenaganya kembali dan mencapai kebangkitannya. Kebangkitan itu bukanlah suatu peristiwa lahir. Kebangkitan adalah kesempurnaan proses kehidupan di dalam ego, yang tak lain sebagai flashback to the past and future.
Manusia dengan segala kelemahannya, demikian menurut Iqbal, lebih tinggi derajatnya dari pada alam karena ia membawa hight politic dalam dirinya—yang menurut Kitab Suci—langit, bumi, dan gunung-gunung enggan menerimanya. Adapun tentang kehidupan, menurut Iqbal,[23] adalah proses yang terus maju ke depan dan esensinya ialah pencapaian terus-menerus dari gairah dan cita-cita. Penciptaan gairah baru dan cita-cita baru tentulah selamanya mewujudkan ketegangan-ketegangan yang konstan. Keadaan tegan yang terus-menerus ini mempunyai nilai yang paling tinggi bagi usaha manusia dan keadaan inilah yang menjuruskan manusia kearah kemerdekaan dan keabadian.
Sejalan dengan makna kemerdekaan (tentu saja sebagai bapak Pakistan), Iqbal tidak menyetujui adanya perbudakan dapat merusak watak manusia, merancukan sifat manusia dan menjebloskan-nya ke dalam derajat yang hina-dina. Perbudakan adalah segala usaha manusia yang direncanakan dengan akalnya, ditujukan untuk mengisap sesemanya. Tentulah yang demikian ini sangat melemahkan ego manusia. Karena itu, jika ego endak mencapai perkembangan  baik, perbudakan harus dikikis habis.[24] Iqbal berpendapat bahwa tujuan seluruh kehidupan adalah membentuk insan yang mulia (insan al-kamil), dan setiap pribadi haruslah berusaha untuk mencapainya. Cita-cita untuk membentuk manusia utama sebagai manusia yang teraktualisasi, memberikan kepada kita ukuran yang ‘baik’ dan ‘buruk’. Apa yang dapat memperkuat pribadi adalah baik sifatnya dan apa yang dapat melemahkan pribadi adalah buruk sifatnya.
Hal-hal yang dapat memperkuat pribadi, menurut Iqbal adalah:
  1. ‘Isyq-o-muhabbat, yakni cinta kasih;
  2. Semangat atau keberanian, termasuk bekerja kreatif dan orisinal, artinya asli dari hasil kreasinya sendiri dan mandiri;
  3. Toleransi, raasa tenggang menanggang;
  4. Faqr, yang artinya silap yang tidak mengharapkan imbalan dan ganjaran-ganjran yang akan diberikan dunia, sebab bercita-citakan yang lebih agung.[25]
Hal-hal yang melemahkan pribadi adalah: takut, suka minta-minta (su’al), perbudakan dan sombong. Pendapat ini dituangkan oleh Iqbal dalam puisi-puisinya. Dibawah ini puisinya dalam Javid Namah, dimana Iqbal menyatakan bahwa hidup yang baik ialah hidup yang penuh usaha perjuangan, bukan suatu cara hidup yang menarik diri dan memencilkan diri, bukan yang maalas dan menganggap remeh kehidupan ini. Manusia  sepanjang hayatnya hendaklah besungguh-sungguh untuk selalu maju dan bersifat kreatif.
Namun kekuatan ini hanya dapat dimanfaaatkan secara konsturktif bagi peningkatan martabat umat manusia, apabila dikontrol dan dibimbing oleh cinta. Cinta atau Isyq sebagai suatu daya aktif yang memungkinkan individu memiliki daya penggerak yang kuat, manakala ia dimanfaatkan pada maksud-maksud yang bermanfaat. Dengan demikian, cinta mengandung arti yang luas daripada arti cinta individual. Cinta adalah semangat yang membangkitkan alam semesta, semangat yang dapat mematahkan segala kesulitan serta dapat mengaktualisasikan segala motif keindahan di dunia ini.
Komponen lain yang menurut Iqbal penting dalam pembinaan kepribadian adalah faqr. Jiwa faqr membuat manusia menjadi semacam pejuang rohani yang gigih; ia merupakan juga perisai yang melindungi pemegangnya dalam setiap langkahnya, karena terus-menerus berusaha mewujudkan sifat-sifat Tuahn dalam dirinya. Ioq tidak setuju dengan arti faqr yang menyebabkan sikap isolasi diri, menghindar dan melarikan diri dari kenyataan.
Adapun yang dianggap dapat melemahkan ego adalah: takut, sombong dan suka meminta-minta (su’al). su’al merupakan tema Iqbal menjadi anti tesis dari Isyq, juga menjadi antitesis dari faqr.  Karena su’al menurut Iqbal adalah sesuatu yang peroleh bukan dari usaha sendiri. Selain sifat-sifat itu, juga dapat melemahkan ego adalah perasan bangga karena keturunan keluarga, bangsa dan suku bangsa. Ini perasaan yang tidak sehat dan harus dibuang, karena cenderung melahirkan jurang pemisah antara manusia dengan manusia, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain dari nilai-nilai kemanusiaan.
Sejalan dengan itu, juga harus dikembangkan sikap toleransi, yaitu kesadaran akan perlunya menghaargai orang lain. Dalam pada itu Iqbal memandang toleransi sebagai landasan prikemanusiaan yang sesungguhnya. Dengan sikap toleransi ini dimungkinkan manusia mukmin atau manusia sejati untuk mengembangkan dirinya dan memperkokoh individualitasnya melalui kontak yang aktif dengan lingkungannya. Personality yang kuat, terkondisi dan terkonsentrasi, yang telah ditempa hingga membaja dalam kehidupan ini, membulatkan dirinya dalam mengabdi kepada Tuhan, dan atas nama-Nya lah ia berdharma bakti di dunia. Manakala sang mukmin dapat menguasai dunia ia tetap tangguh dengan landasan moral insaninya. Hingga harga dirinya memberikan kepadanya keberanian dan kesanggupan untuk menapaki kehidupan baru; toleransi serta penghormatnnya terhadap hak dan pribadi orang lain membuatnya peka terhadap tuntutan sesame manusia. Dalam mengejar cita-citanya ia berani, tidak hanya menghadapi segala resiko, tapi juga mengatasinya dengan penuh kebijaksanaan.
***
Kapanjen, Syawal 1433 H



[1]   Khalifah Abdul Hakim, ''Renaisance in Indo-Pakistan (continued): Iqbal" dalam M.M. Syarif, (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. II (Weiabaden: Otto Harrassowitz, 1963), h. 1615.
[2] John L. Eposito, "Muhammad Iqbal and the Islamic State", dalam John L. Eposito, (ed.), Voiches of Resurgent Islam (New York: Oxford Unifersity Press, 1938.) h. 176.
[3]   John L. Esposito, The Islamic Threat: Mytr of Reality? (New York: Oxford University Press, 1992), h. 59.
[4]   Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah, pemikiran, dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 149. Bandingkan Eposito, The Islamic, h. 66.
[5]   Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Ahmad Rafi' Utsman dari Iqbal: Siratuh wa Falsafatuh wa Syi'ruh (Bandung: Pustaka, 1985), h. 40.
[6]   Muhammad Iqbal, Rahasia-rahasia Pribadi, terj. Baharun Rangkukti dari Asrar-i Khudi (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 118-119
[7]   Iqbal, The Recontruction of Religious Thoought in Islam, h. 71-72.
[8]   Iqbal , The Recontruction of Religious Thoought in Islam, h.110-111.
[9] Iqbal, The Recontruction of Religious Thoought in Islam, h.31.
[10] Ibid, h. 34.
[11] Iqbal, The Recontruction of Religious Thoought in Islam, h. 147
[12] Iqbal, The Recontruction of Religious Thoought in Islam, h. 80
[13] Iqbal, The Recontruction of Religious Thoought in Islam, h. 64
[14] S. Alam Khundmiri, ''Iqbal on Time and Self” dalam Attar Sigh, Socio-Cultural Impact of Islam on India (Chandigarh: Publication Bureau Punjab University, 1976), h. 144.
[15] Iqbal, The Reconstruction, h. 68-72.
[16] Iqbal, The Reconstruction, h. 80-81.
[17] Iqbal, The Reconstruction, h. 85.
[18] Iqbal, The Reconstruction, h. 155.
[19] Ibid,. h. 108.
[20] Saiyidan K.G., Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, diterjemahkan oleh M.I. Soelaeman dari Iqbal's Education Phylosophy (Bandung: Diponorogo, 1981), h. 26.
[21] Miss Luce-Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, diterjemahkan oleh Djohan Effendi dari Introduction Iqbal to Thought (Bandung: Mizan, 1996), h. 53.
[22]Iqbal, The Reconstruction, h. 12.
[23] Iqbal, The Recontruction, h. 123.
[24] Ibid, 123.
[25] Aristoteles menganggap perbudakan sebagai sesuatu yang kodrati atau alami yang terjadi karena kesadaran, tidak boleh ditetntang dan harus dipertahankan. Selain itu, perbudakan merupakan sesuatu yang bermanfaat, bukan saja bagi tuan, tapi juga bagi kedua belah pihak. Bahkan superiorirtas tuan dalam perbudakan disebut oleh Aristoteleh sebagai superioritas moral. Walaupun demikian, Aristoteles tidak setuju dengan “perbudakan legal” yang terjadi akibat peperangan, karena pembentuknya bersifat paksaan, dan sesuatu yang dipaksakan adalah bertentangan dengan kodrat. Lih. HJ.Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, h. 95-101.