“…kenalilah dirimu. Makanlah untuk hidup,
bukan hidup untuk makan…” (Socrates)
a.
Biografi
Socrates (Yunani:
Σωκράτης, Sǒcratēs) merupakan salah satu figur paling penting dalam
tradisi filsafat. Pak Crates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama
dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates
adalah yang mengajar Plato, dan Plato pada gilirannya juga mengajar
Aristoteles.
Ia diperkirakan lahir dari ayah yang berprofesi sebagai seorang
pemahat patung dari batu (stone mason) bernama Sophroniskos. Ada juga
yang beranggapan bahwa ia bekerja di bank alias kuli bang(unan). Ibunya bernama
Phainarete berprofesi sebagai bidan, dari sinilah Socrates menamakan metodenya
berfilsafat dengan metode kebidanan nantinya. Socrates beristeri seorang
perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak. Secara historis,
filsafat Socrates mengandung pertanyaan karena Socrates sediri tidak pernah
diketahui menuliskan buah pikirannya. Apa yang dikenal sebagai pemikiran Socrates
pada dasarnya adalah berasal dari catatan oleh Plato, Xenophone (430-357) SM,
dan siswa-siswa lainnya. Yang paling terkenal di antaranya adalah Socrates
dalam dialog Plato di mana Plato selalu menggunakan nama gurunya itu sebagai
tokoh utama karyanya sehingga sangat sulit memisahkan mana gagasan Socrates
yang sesungguhnya dan mana gagasan Plato yang disampaikan melalui mulut
Sorates. Nama Plato sendiri hanya muncul tiga kali dalam karya-karyanya sendiri
yaitu dua kali dalam Apologi dan sekali dalam Phaedrus.
Socrates dikenal sebagai seorang yang tidak tampan, berbadan gempal,
berpakaian sederhana, tanpa alas kaki dan berkeliling mendatangi masyarakat Athena
berdiskusi soal filsafat
dan banyak hal tentang Athena. Dia melakukan ini pada mulanya didasari satu
motif religius untuk membenarkan
suara gaib yang didengar seorang kawannya dari Oracle Delphi
yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates. Merasa
diri tidak bijak dia berkeliling membuktikan kekeliruan suara tersebut, dia
datangi satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak oleh masyarakat pada saat itu
dan dia ajak diskusi tentang berbagai masalah kebijaksanaan. Metode
berfilsafatnya inilah yang dia sebut sebagai metode kebidanan (maieutik
tékhne). Dia menganalogikan dirinya sebagai
seorang bidan yang membantu
kelahiran seorang bayi
dengan caranya berfilsafat yang membantu lahirnya pengetahuan melalui diskusi
panjang-mendalam. Dia selalu mengejar definisi absolut tentang satu masalah
kepada orang-orang yang dianggap bijak meski kerap kali mereka gagal melahirkan
definisi tersebut. Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib tersebut
berdasar satu pengertian bahwa dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya
tahu bahwa dia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya
adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.
Cara berfilsatnya inilah yang memunculkan rasa sakit hati terhadap
Sokrates karena setelah penyelidikan itu maka akan tampak bahwa mereka yang
dianggap bijak oleh masyarakat ternyata tidak mengetahui apa yang sesungguhnya
mereka duga mereka ketahui. Rasa sakit hati inilah yang nantinya akan berujung
pada kematian Sokrates melalui peradilan dengan tuduhan resmi merusak generasi
muda, sebuah tuduhan yang sebenarnya dengan gampang dipatahkan melalui
pembelaannya sebagaimana tertulis dalam Apologi karya Plato. Socrates
pada akhirnya meninggsl pada usia 70 tahun dengan cara menenggak racun sebagaimana
keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280
mendukung hukuman mati
dan 220 menolaknya.
Socrates sebenarnya dapat lari dari penjara, sebagaimana
ditulis dalam Krito, dengan bantuan para sahabatnya namun dia menolak
atas dasar kepatuhannya pada satu "kontrak" yang telah dia jalani
dengan hukum di kota Athena. Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan
dengan indah dalam Phaedo karya Plato.
b.
Karya
dan Pemikirannya
Sokrates, disebut ustadz karena ia adalah guru
besar yang banyak menanamkan pengaruh signifikan bagi filsuf sesudahnya.
Sokrates, sekalipun lahir dari keluarga terpandang—ibunya seorang dukun beranak
dan bapaknya (ada yang mengatakan pematung)—tapi ia lebih senang hidup
menggelandang menyusuri pasar dan keramaian untuk berdialegestai
(berdialog) dengan semua kalangan, termasuk kaum Sofis—yang konon juga dikecam
sebagai gerombolan orang yang sok ilmiah. Sokrates selalu bersikap kritis dan
mempertanyakan banyak hal dalam dialog-dialognya, di antaranya adalah: apa
kebaikan itu? apa hidup yang baik itu? bagaimana seorang bisa mendapatkan eudaimonia
(kebahagiaan)? Manusia harus punya arété (kebajikan, moral).
Mempunyai arete, bagi Sokrates berarti memiliki kesempurnaan manusia
sebagai manusia[1].
Inilah inti ajaran filsafat Sokrates, yakni filsafat manusia.
Doktrin Sokrates yang paling terkenal yakni: keutamaan adalah pengetahuan.
Ustadz Sokrates tidak berpolitik, karena saat itu polis
sangat erat dengan keyakinan tentang dewa-dewa dan mitologi Yunani kuno.
Sokrates menganggap mitos-mitos yang berkembang di Yunani tidaklah benar,
baginya mitologi hanyalah ciptaan penyair-penyair yang penuh kebohongan dan
mengharap imbalan dari penguasa. Dari sanalah corak filsafat Sokrates sangat
kental. Memasuki usia tua, Socrates, belajar musik[2]. Lalu
ada orang berkata padanya, ”apakah engkau tidak malu belajar di usia tua?”. Dia
menjawab,” Aku merasa lebih malu menjadi orang yang bodoh di usia tua”.
Peninggalan pemikiran Socrates yang paling penting ada pada cara dia
berfilsafat dengan mengejar satu definisi absolut atas satu permasalahan
melalui satu dialektika.
Pengejaran pengetahuan hakiki melalui penalaran dialektis menjadi pembuka jalan
bagi para filsuf
selanjutnya. Perubahan fokus filsafat dari memikirkan alam menjadi manusia juga
dikatakan sebagai jasa dari Sokrates. Manusia menjadi objek
filsafat yang penting setelah sebelumnya dilupakan oleh para pemikir hakikat alam semesta. Pemikiran
tentang manusia ini menjadi landasan bagi perkembangan filsafat etika dan
epistemologis di kemudian hari.
Bagi Socrates, filsafat bukanlah isi, bukan hasil, dan bukan
juga ajaran yang berdasarkan dogma yang tidak bisa dibantah, melainkan fungsi
yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan, melainkan
membantu mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Oleh karena itu,
metodenya disebut maieutik; menguraikan. Dalam mencari kebenaran, Socrates
menggunakan hobinya, yakni selalu bertanya. Dia bertanya sana-sini, kemudian
dipahaminya dengan baik apa yang telah dia pertanyakan. Maka jalan yang
ditempuhnya dengan metode induksi dan definisi. Induksi menjadi dasar
definisi. Induksi yang dimaksud Socrates adalah dengan membandingkan secara
kritis. Tentu yang dibandingkan adalah hasil dari pertanyaan-pertanyaan yang
telah dia kumpulkan.
Menurut Socrates, orang yang berpengetahuan dengan sendirinya
berbudi baik. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar,
maka jahatnya dari orang yang tidak mengetahui karena tidak mempunyai
pertimbangan atau penglihatan yang benar. Namun jika kita melihat pada era
sekarang, ternyata tidak hanya yang tidak tahu saja yang jahat, yang tahu pun
bisa lebih jahat dari yang tidak tahu karena mereka bisa memanipulasi dan
mencari-cari celah dari apa yang telah ia ketahui. Justru kejahatan dari
orang-orang yang berpengetahuan inilah yang lebih berbahaya. Rupanya, hal ini yang
belum sempat dipikirkan ustadz Socrates.
Ia juga berbicara tentang keadilan, menurutnya keadilan adalah
melaksanakan apa yang menjadi fungsi sebaik-baiknya tanpa mencampuri
fungsi/pekerjaan orang lain (the practice of minding one’s own business).
Keadilan akan terwujud jika melakukannya secara baik, apapun sesuai dengan
kempampuan dengan cara teamwork dan serasi di bawah pengarahan yang
paling bijaksana (filsuf). Fungsi tiap pihak dalam masyarakat adalah dapat
melakukan sendiri, sesuatu yang dapat dilaksanakan secara lebih baik dari pada
mengerjakan hal lain. Dan tiap hal yang dikerjakan mengandung kebajikan (virtue).
Berdasar asumsi Socrates tentang adanya kesejajaran antara cara
hidup atau tipe manusia dan tipe masyarakat, Socrates membedakan tipe manusia
(jiwa manusia dan cara hidup) menjadi tiga, yakni: 1. Akal budi (reason),
2. Semangat (spirit), dan 3. Nafsu (desire). Ketiga
tipe itu akan mencapai puncaknya di bawah pengarahan akal budi dan kemudian
keadilan dalam masyarakat akan terwujud apabila masyarakat melakukan secara
baik apa saja yang sesuai kemampuan dengan arahan dari yang paling bijaksana
(akal budi/filsuf). Pada episentrum ini, Socrates terlihat sedikit sok. Jangan
lupa pak Crates, filsuf juga manusia, bukan orang suci. Jika di atas adalah
tipe manusia, maka dari 3 tipe tersebut Socrates membagi masyarakat menjadi
tiga kelas, yakni: 1. Pedagang yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya
(nafsu), 2. Prajurit yang bekerja memelihara tata masyarakat (semangat), 3. filsuf
yang berfungsi sebagai penguasa (akal budi).
Berdasar asumsi adanya kesejajaran antara cara hidup manusia dan
tata masyarakat itu pula, Socrates membedakan rezim menjadi lima tipe. Pertama,
Aristokrasi. Dikatakan rezim terbaik karena diperintah oleh raja yang
bijaksana (filsuf). Rezim ini dijiwai dengan akal budi. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, bahwa hanya yang bijaksana (filsuf) yang mampu mengarahkan masyarakat
dengan baik dan optimal. Kedua, Timokrasi. Merupakan rezim
terbaik kedua, karena dipimpin oleh mereka yang menyukai kehormatan dan
kebanggaan, yakni prajurit (militer). Rezim ini dijiwai dengan semangat
(spirit). Ketiga, Oligarki. Dipimpin oleh kelompok kecil yang
memiliki kekuatan melimpah seperti pengusaha/pedagang/saudagar. Rezim ini dijiwai
dengan keinginan yang perlu (necessary desire). Keempat, Demokrasi.
Dikategorikan sebagai rezim yang dipimpin oleh banyak orang yang hanya
mengandalkan kebebasan atau keinginan yang tak perlu (unnecessary desire).
Kelima, Tirani. Sebagai rezim terburuk yang pernah ada, karena
dipimpin oleh seorang tiran yang memerintah sekehandak nafsunya (unlawful
desire). Seorang tidak tidak memiliki kontrol atas dirinya, tidak ada
keadilan dalam rezim ini. Di sinilah, ustadz Socrates mendemonstrasikan
kesaktiannya.
c. Pengaruh Filsafatnya
Sumbangsih Socrates yang terpenting bagi pemikiran Barat adalah
metode penyelidikannya, yang dikenal sebagai metode elenchos, yang banyak
diterapkan untuk menguji konsep moral yang pokok. Karena itu, Socrates dikenal
sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral, dan juga filsafat secara
umum. Ingatan kita dulu adalah tentang seorang tua gempal dan sedikit kumuh di
Yunani sana yang hidupnya hanya beredar di pasar-pasar bak gelandangan,
menggetok pikiran dan mendebat anak-anak muda tentang banyak hal yang lalu
diadili dan mati diteguk racun oleh penguasa. Gadfly of Athena,
julukannya, Lalat Pengganggu Athena. Dan ia memang bak lalat: hinggap,
menggelitik, lalu terbang, hampir tanpa jejak. Maka sampai kini pun, tak pernah
orang menemukan bahkan sebaris pun tulisan-tulisan Socrates. Kisahnya yang
ajaib, tentu, masih dapat kita simak lewat karya-karya Plato yang banyak
merekam gurunya yang aneh ini. Nah, kita bisa membaca Apologia
karya Plato. Apologia adalah rekaman dari sesi pembelaan Socrates di pengadilan
sebelum ia dihukum mati.
Socrates diadili karena tiga dakwaan: meracuni pikiran kaum muda,
tidak mempercayai dewa-dewa, dan membuat paradigma baru. Kita tahu Yunani,
negeri di mana Socrates hidup, adalah negeri para dewa: Zeus, Hera, Apollo,
Poseidon, Tempos dan Bayamos. Memang dalam terjemahan Apologia ini, si
penerjemah Benjamin Jowett menggunakan kata “gods” ketika merujuk pada apa yang
dipercayai warga Athena. Tapi ketika itu berkaitan dengan ketuhanan pribadi Socrates
sendiri, kata “God” (tanpa “s”, dan “G” huruf besar) lah yang dipakai. Menarik.
Socrates kita kenal sebagai filsuf—tapi membaca Apologia ini, kita akan
bertemu dengan sosok yang sangat religius! He has a whole life and
conduct that seems to be completely driven by what he believes in.
Apologia agak panjang, tapi berikut sedikit cuplikannya:
“…Aku harus mengulang kata-kataku ini kepada siapapun yang kutemui,
baik tua ataupun muda, warga di sini atau orang asing, tapi terutama kepada
para warga karena merekalah saudara-saudara terdekatku. Bahwa ini adalah
perintah Tuhan, dan aku yakin tak ada kebaikan yang lebih baik pada negeri
ini selain pengabdianku kepada Tuhan. Yang kulakukan hanyalah mengajak kalian
semua, para pemuda dan orang tua, untuk tak hanya memikirkan orang-orangmu atau
harta milikmu, namun yang pertama dan paling utama: perhatikanlah nasib jiwamu!
Kukatakan kepadamu bahwa kebajikan bukanlah dengan menerima uang dan harta,
tapi bahwa dari kebajikan itulah—harta dan segala hal yang baik dari diri
manusia akan muncul, baik di sisi publik maupun individu. Inilah yang aku
ajarkan. Warga Athena, bila kalian membunuhku, kalian tak kan mudah menemukan
pengganggu sepertiku yang Tuhan telah anugerahkan kepada negeri ini.
Negeri ini bak kuda ningrat yang besar, yang berjalan demikian lamban lantaran
ukuran tubuhnya. Ia haruslah diusik agar hidup kembali. Dan akulah pengganggu
itu yang Tuhan telah tempatkan di negeri ini. Dan di sepanjang waktu, di
mana-mana, aku akan selalu mendekatimu, membangunkanmu, membujuk dan mengusikmu…”
“…Ketika kukatakan bahwa aku dianugrahkan Tuhan kepadamu, bukti dari
misi dan tugasku adalah sebagai berikut: jika aku seperti kebanyakan
orang, aku pastilah tak akan menolak kepentinganku sendiri. Demi kepentinganmu,
aku datang kepadamu sebagai bapak atau saudara tua, mengajakmu kepada kebajikan
yang mulia. Jika aku memperoleh sesuatu dari situ, atau jika aku dibayar karena
ajakanku ini, tentu hal itu akan menjadi alasan yang masuk akal atas tindakanku
ini. Namun, seperti yang kalian lihat, tak satu pun penuntutku mampu menunjukkan
bahwa aku mengutip bayaran apapun, mereka tak punya bukti. Dan aku memiliki
bukti yang cukup atas kebenaran dari apa yang kukatakan, yakni kemiskinanku…” Menyikapi argument
tersebut, ada baiknya kita hubungkan dengan QS: Yasin: 21.
“…Orang barangkali bertanya-tanya mengapa aku diam-diam sibuk
mengurusi orang lain tapi tak pernah maju ke depan publik dan memberi nasihat
kepada negara. Akan kuceritakan kenapa. Kalian telah sering mendengar di banyak
tempat tentang sosok atau tanda yang senantiasa datang kepadaku, tanda
ilahiah yang Melitus (jaksa penuntut) telah mencemoohnya dalam tuduhannya.
Tanda ini, yang berwujud seperti suara-suara, pertama kali
menghampiriku ketika aku masih kanak-kanak. Suara-suara ini melarangku
berbuat sesuatu, namun tak pernah menyuruhku untuk melakukan hal-hal.
Inilah yang menahanku dari menjadi seorang politikus.
Socrates memilih mati, walau rekan-rekannya memaksa untuk menyetujui
tawaran keluar dari Athena. Di akhir pembelaannya, dia berucap: “The hour
of departure has arrived, and we go our ways — I to die, and you to live. Which
is better, only God knows.” Siapakah Socrates sebenarnya, filsuf, nabi
atau…?!
***
Majlis Filsuf
Indonesia, 6 Jumadil Ula 1432 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar