a. Manaqib
Paman Descartes, Pakde Baruch Spinoza, Leibniz
dan Blaise Pascall yang harus cium tangan pada kiai Ar-Razi. Ia
adalah Bapak Rasionalisme (bukan Descartes), dan dokter pertama yang
memperkenalkan teori bedah, sirkulasi darah serta orang pertama yang dapat
mengobati penyakit khisbah (cacar). Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin
Zakaria bin Yahya Ar-Razi. Di Barat ia dikenal dengan nama Razhes (patungnya
ada di depan fakultas kedokteran Universitas Sorbonne, Prancis). Ia lahir di
Ray dekat Teheran, Iran dan hidup pada masa Dinasti Saman (204-395 H), ia hafal
Al-Qur’an sejak kecil dan mulai serius belajar filsafat pada Al-Balkhi pada
usia 17 tahun, belajar kedokteran pada Ali al-Thabari. Kiai kampung yang satu
ini menguasai filsafat, teologi, kedokteran, astronomi, sastra dan kimia.
Pak Kiai ini juga menjadi direktur Rumah Sakit
(RS) selama enam tahun, di antaranya RS Ray dan RS Baghdad. Selama itu ia
menulis buku kedokteran berjudul al-Thibb al-Manshuri sebagai hadiah
untuk khalifah Al-Manshur. Dalam menentukan lokasi pendirian RS ia
meletakkan potongan-potongan daging di berbagai tempat, kemudian memilih tempat
yang paling minim pembusukan dagingnya. Ia memberikan pengobatan gratis pada
orang miskin. Ia adalah filsuf dan dokter terbesar dan orisinal dari seluruh
dokter, juga penulis paling produktif[1].
Proses kreatif Ar-Razi dituangkan dalam lebih dari 200 karya, yang terkenal
adalah: Sirah al-Falsafiyah (sejarah filsafat) Kitab al-Asrar (kimia),
Al-Hawi (ensiklopedi kedokteran terpopuler di Eropa sampai abad XVI,
tahun 1279 diterjemahkan ke bahasa Latin dengan judul Continens), Thibb
al-Mansuri 10 jilid (Latin: el-Mansori Liber el-Mansoris) dan
lain-lain.
b. Nata’ij al-Fikr
Kiai Ar-Razi adalah seorang rasionalis murni, ini
terbukti dalam muqaddimah salah satu magnumopusnya, ia
mengatakan: ”Segala puji bagi Tuhan yang telah memberi kita akal yang dengan
itu kita. Inilah anugerah terbaik Tuhan bagi kita. Dengan akal kita bisa
melihat segala yang berguna dan merubah hidup menjadi lebih baik, dari
potensial menjadi aktual. Jika begitu penting dan mulia, maka kita tidak boleh
melecehkan akal. Kita tidak bisa menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau
mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia
adalah pemerintah, tetapi kita harus merujuk dan bertendensi kepada akal itu
sendiri.”[2]
Inti filsafat Ar-Razi bertumpu pada rasionalitas
murni, menurutnya, manusia tak dapat menentukan, mengendalikan dan
memerintah akalnya, sebab akal adalah penentu, pengendali dan pemerintah
manusia. Eropa harus menunggu 6 abad untuk menerapkan ajaran Ar-Razi ini. Rasionalitas
bagi Ar-Razi adalah pemungkin utama untuk mendekati Tuhan, alam, manusia,
moral dan bahkan jiwa. Sedangkan lapangan metafisika Ar-Razi berkisar pada
pandangan tentang Lima Kekal, yakni: Tuhan (al-Bari Ta’ala), Jiwa
Universal (al-Nafs al-Kulli), Materi Pertama (al-Hayuli al-Ula), Ruang
Absolut (al-Makan al-Muthlaq) dan Waktu Absolut (al-Zaman
al-Muthlaq). Kiai Ar-Razi juga berpendapat bahwa alam diciptakan bukan dari
ketiadaan (creatio exnihilo/al-ijad min al-’adam) tetapi dari sesuatu
atau unsur-unsur yang telah ada (al-ijad min al-syay’).
Selanjutnya—dengan bekal rasionalitas—ia banyak menjangkarkan pandangan
kritisnya terhadap moral, kenabian dan sains. Inilah yang menginspirasi para faylasuf
(Islam) dan filsuf (Barat) yang datang kemudian.
c. Atsar at-Tafkir
I. Metafisika
Metafisika Ar-Razi dikenal
dengan ”Lima Kekal”, yakni: (1) Al-Bari Ta’ala, (1) An-Nafsu al-Kulliyah, (3) Al-Hayuli
al-Ula, (4) al-Makan al-Muthlaq, dan (5) Az-Zaman al-Muthlaq. Menurut Ar-Razi,
dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan Jiwa universal. Sedangkan
Materi Pertama tidak hidup dan pasif. Sementara dua lainnya tidak hidup, tidak
aktif dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa[3].
Ar-Razi dalam karyanya As-Sirah
al-Falsafah menyebutkan bahwa akal adalah limpahan dari Tuhan yang paling
fenomenal. Tujuan penciptaannya adalah untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam
jasad manusia. Jasad ini bukan tempat sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan
tempat abadi. Kebahagiaan sejati adalah melepaskan diri dari materi-materi
dengan berfilsafat[4].
Logika pendeknya adalah, jiwa yang tidak dapat menyucikan dirinya dengan
filsafat akan tetap tinggal di alam materi dan terjerumus di dalamnya.
Argumen yang dipergunakan Ar-Razi untuk membuktikan ketidak terbatasan atau kekekalan ruang
ialah sebagai berikut:
Wujud yang memerlukan ruang (al-mutamakkin) tidak
dapat berwujud tanpa adanya ruang, ruang dapat terwujud tanpa adanya mutamakkin.
Ruang taka lain adalah tempat bagi mutamakkin. Setiap mutamakkin terbatas
dengan sendirinya dan berada dalam ruang. Jika demikian, ruang mestilah tidak
terbatas. Yang tidak terbatas itu kekal. Jadi ruang mestilah kekal[5].
II. Moral
Pndangan moral Ar-Razi yang
paling memukau adalah bahwa tingkah laku pun harus berdasarkan rasio. Hawa
nafsu harus berada di bawah kendali akal dan agama. Ar-Razi mengingatkan bahaya
minuman keras terhadap fungsi dan independensi akal. Oleh karena itu penting
bagi manusia mengetahui kekurangan dan kenistaannya. Nah, bagaimana kalau yang
bersangkutan tidak tahu, kiai? Bukankah tidak bijak jika harus memaksa semua
manusia menjadi filsuf? Di sinilah Ar-Razi seakan mengisyaratkan bahwa filsuf
berperan ganda sebagai dokter, psikiater dan tentu saja teman bagi semua orang.
Berkaitan dengan jiwa
Ar-Razi mengharuskan bahwa seorang dokter harus mengetahui kedokteran jiwa (at-Thib
ar-Ruhani) dan kedokteran jasmani (at-Thib al-Jasmani) secara
bersama-sama, karena manusia memerlukan itu secara bersama-sama dan sinergi. Kebutuhan
pada kedokteran tubuh sudah lazim, sedangkan kebutuhan pada kedokteran jiwa adalah
untuk menjaga keseimbangan jiwa dalam segala aktivitasny6a, agar tidak minus ataupun
over. Karena itu, faktor jiwa menjadi salah satu dasar pengobatan bagi
Ar-Razi. Menurutnya, terdapat hubungan yang erat antara tubuh dan jiwa. Emosi
jiwa yang berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh, sehingga timbul
keragu-raguan dan melankolik. Demikian pula sifat hasut atau dengki akan dapat
mendatangkan marabahaya bagi manusia secara psikis dan biologis; pun juga
kekhawatiran yang berlebihan juga dapat menyebabkan terjadinya halusinasi dan
melankolik atau kelayuan diri.
Sedangkan kebahagiaan,
menurut Ar-Razi, adalah kembalinya apa yang telah tersingkir, karena sesuatu
yang berbahaya. Misalnya orang meninggalkan tempat yang teduh menuju tempat
yang panas, akan senang ketika kembali ke tempat yang teduh lagi. Ia mengutuk
cinta sebagai sesuatu yang berlebihan dan ketundukan pada hawa nafsu. Kiai ini
juga mengutuk kepongahan dan kelengahan, karena hal itu menghalangi orang dari
belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. Iri hati merupakan perpaduan dari
kikir dan tamak. Sementara dusta adalah bad habit yang dibedakan menjadi
dua, untuk kebaikan yang sifatnya terpuji dan untuk kejahatan yang sifatnya
tercela. Jadi, nilai dusta terletak pada otentisitas niat.
III. Kenabian
Kiai Ar-Razi menyanggah bahwa untuk keteraturan
kehidupan, manusia memerlukan Nabi. Pendapat yang kontroversial ini harus
dipahami bahwa ia seorang rasionalis murni. Akal menurutnya adalah karunia
Tuhan yang terbesar untuk menusia, sedangkan akal manusia dapat memperoleh semaksimal
mungkin positivitas, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan.
Pandangan Ar-Razi yang mengkultuskan kekuatan akal
tersebut menjadikan ia tidak percaya kepada wahyu dan adanya Nabi sebagaimana
diutarakannya dalam bukunya Naqd al-Adyan aw fi An-Nubuwwah (Kritik
terhadap Kenabian). Menurutnya, para Nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai
orang yang memiliki keistimewaan khusus, baik pikiran maupun rohani, karena semua
orang adalah sama dan keadilan Tuhan serta hikmahNya mengharuskan tidak
membedakannya antara seseorang dengan yang lainnya[6].
Perbedaan antara manusai timbul karena berlainan pendidikan dan berbedanya
suasana perkembangannya. Lebih lanjut, dikatakannya, tidaklah masuk akal bahwa
Tuhan mengutus para Nabi padahal mereka tidak luput dari kekeliruan. Setiap
bangsa hanya percaya kepada Nabinya sendiri dan tidak mengakui Nabi bangsa
lain, Akibatnya, terjadi banyak peperangan keagamaan dan kebencian antar
bangsa-bangsa, karena fanatisme kepada agama dan Nabi masing-masing[7].
Adapun pemikiran Ar-Razi tentang “Lima Kekal”, tidak
otomatis ia menjadi zindiq, apalagi bila dinilai dengan Al-Qur’an, tidak
satu ayatpun yang secara qath’i yang bertentangan dengan pemikiran
tersebut. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa pemikiran kiai nyentrik
ini adalah benar dan fakta. Bagaimanapun, apa yang telah dirintis oleh Ar-Razi
adalah gerbang bagi kemajuan filsafat dan sains bagi generasi berikutnya, sebab
dialah yang mula-mula berani secara lantang mengeksplorasi akal budi, bukan
mentuhankannya.
***
CFM (Cangkru’an
Filsuf Muda), 17 Jumadil Akhir 1432 H
[1] Philip K. Hitti, History of the Arab, (London:
Macmillan, 1974) h. 365-366
[2] Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam, h. 62
[3] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme,
h. 18
[4] Al-Razi, Rasa’il al-Falsafiyyah, (Beirut:
Dar Afaq al-Jadidah, 1982), h.284 bdk. Opcit, h. 27
[5] Ar-Razi, Rasa’il, h. 293 sebagaimana dikutip oleh Hasyimsyah
Nasutian dalam Filsafat Islam, h. 28
[6] Madkur fi Falsafah I, h. 88 bdk. Filsafat
Islam, h. 31
[7] Badawi, h. 446
Tidak ada komentar:
Posting Komentar