Sejarah membuktikan bahwa perkembangan
filsafat di dunia Islam terinspirasi dari pemikiran para filosof Yunani yang
telah mendominasi ranah intelektual manusia jauh sebelum agama Islam
diturunkan. Secara umum, pemikiran para filosof muslim (baca : filsafat Islam)
merupakan sintesa sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme, dan
Neo-Platonisme baik yang berkembang di Athena maupun di Alexandria (Nashr,
1964:411). Sintesa yang dilakukan pada dasarnya bertujuan untuk
mengharmoniskan hubungan antara filsafat dengan ajaran Islam.
Upaya untuk
mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh al-Kindî.
Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowlwdge of truth) dan agama juga diwahyukan
untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena filsafat dan agama menjadikan
kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya tidak mungkin bertentangan antara satu
dengan lainnya. Lebih jauh dari itu, al-Kindî juga menyatakan bahwa orang yang
menolak filsafat adalah orang yang menolak kebenaran sehingga dapat juga
dikategorikan sebagai orang yang mengingkari agama. Dalam pandangan Islam,
orang yang menolak agama disebut dengan orang kafir (Ridah, 1950:103-104).
Dalam aspek
metafisika, pemikiran al-Kindî dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Aristoteles.
Sebagaimana halnya dengan Aristoteles, ia juga menjuluki metafisikanya dengan
nama filsafat pertama. Dalam salah satu pokok pemikirannya dinyatakan bahwa
filsafat yang termulia adalah filsafat pertama yaitu ilmu tentang Yang Benar
Pertama yang menjadi sebab bagi segala yang benar. Dalam bahasa al-Kindî, yang
dimaksud dengan Yang Benar Pertama adalah al-haqq
(Tuhan). Konsep al-haqq
yang dikemukakan al-Kindî tersebut merupakan gagasan orisinil aristoteles
tentang penggerak pertama yang tidak digerakkan (Atiyeh, 1983:17).
Harmonisasi
antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh al-Farâbî dan Ibn Sînâ.
Lain halnya dengan al-Kindî, kedua filosof tersebut tidak mempergunakan
pemikiran Aristoteles sebagai pondasi dalam bangunan filsafatnya. Keduanya
cenderung mengikuti aliran Neo-Platonisme yang banyak diminati pada waktu itu.
Pemikiran Neo-Platonisme yang mewarnai pemikiran kedua filosof ini adalah
mengenai teori emanasi. Teori emanasi yang mereka kemukakan pada dasarnya
mencoba menjelaskan proses terjadinya alam materi dari “Yang Maha Satu”.
Sebagaimana halnya dalam Neo-Platonisme, mereka juga menyatakan bahwa sumber
dari alam materi ini adalah dari pancaran “Yang Maha Satu” (Tuhan). Tuhan
sebagai wujud pertama berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran tersebut
muncul wujud kedua yang mempunyai substansi yang disebut dengan akal pertama.
Wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini muncul wujud
ketiga yang disebut akal kedua. Proses ini berlanjut hingga mencapai akal kesepuluh di
mana pada tahap tersebut muncullah alam syahâdat
(alam materi) sebagaimana yang dapat disaksikan oleh manusia (Nasution,
1995:27-28).
Filsafat emanasi yang dikembangkan
oleh kedua filosof muslim tersebut memberikan dampak yang cukup luas di
kalangan filosof muslim yang muncul kemudian. Sebagai bentuk
sintesis terhadap pemikiran ini, sebagian filosof muslim mencoba memperkenalkan
wacana teosofi (gabungan filsafat dan tasawuf). Wacana teosofi klasik dalam dunia Islam pertama
sekali diperkenalkan oleh Abû Yazîd al-Busthâmî. Nuansa filsafat yang mewarnai
pemikiran sufistiknya terlihat dari gagasannya mengenai konsep ittihâd (penyatuan).
Menurutnya, sufi akan sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui fanâ’ al-nafs (“penghancuran
diri”) dan baqâ’
(hidup terus menerus) yaitu kesadaran diri terhadap hilangnya wujud jasmani,
namun tetap disadari kekalnya wujud ruhani (al-Taftazânî, 1983:106).
Wacana teosofi
berikutnya diperkenalkan oleh Husein ibn Manshûr al-Hallâj dengan konsep hulûl-nya. Hulûl adalah paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
lenyap. Munculnya paham ini didasarkan atas pemikiran yang menyatakan bahwa
dalam diri manusia terdapat sifat ke-Tuhan-an (lahût), dan dalam diri Tuhan terdapat sifat
kemanusiaan (nasût).
Dengan demikian, penyatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi dalam bentuk hulûl. Untuk dapat
memperoleh penyatuan tersebut, manusia terlebih dahulu menghilangkan
sifat-sifat kemanusiannya dan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam
dirinya. Ketika penyatuan terjadi, ruh Tuhan dengan ruh manusia bersatu dalam
tubuh manusia (Mahmûd, 1966:69).
Kosep hulûl yang diprakarsai oleh
al-Hallâj kemudian disistematisasikan oleh Ibn ‘Arabî dengan kosep wahdat al-wujûd
(unity of existence).
Dalam terminologi Ibn ‘Arabi, nasût
diubah menjadi al-khalq
(makhluk) dan lahût
menjadi al-haqq
(Tuhan). Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan ingin
melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam. Di
kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka ia melihat alam karena tiap-tiap makhluk
hidup yang ada di alam terdapat sifat ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan
cermin bagi Tuhan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi
sebenarnya hanya satu. Di sinilah muncul paham kesatuan (Ali, 1997:50).
Usaha untuk
mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn
‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para
filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara
para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang
bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan
agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa
yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat
(kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat
al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini
adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di
antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani
sampai masa Aristoteles (al-Taftazânî, 1983:195).
Sikap
kompromistik Suhrawardî terhadap agama-agama lain menimbulkan kritik keras di
kalangan pemikir muslim. Bahkan sebagian di antaranya menuduh bahwa Suhrawardî
anti Islam. Penilaian semacam ini tentu saja salah kaprah. Di mata
Suhrawardî, agama-agama lain bukanlah musuh yang harus dijauhi atau dilawan,
tetapi adalah teman yang harus didekati untuk diajak berdialog. Agama-agama
lain itu tidak merusak dan menyimpangkan Islam. Tetapi sebaliknya, agama-agama
lain itu dapat memperkaya pemahaman tentang Islam. Di sinilah terletak universalitas
Islam karena Islam sangat luas dan mencakup agama-agama lain dalam pengertian
ajaran-ajaran esoteriknya. Kebijaksanaan perenial dalam agama-agama lain
adalah kebijaksanaan perenial dalam Islam. Oleh karena itu, Islam dapat
melakukan dialog yang sejati dengan agama-agama lain tanpa kehilangan identitas
dirinya.
Di samping
berhasil melakukan dialog dengan berbagai agama, Suhrawardî pun berhasil
mengadakan dialog dengan berbagai pemikiran filsafat, khususnya filsafat
peripatetik yang banyak diikuti oleh para filosof muslim. Model
dialog yang dirancang Suhrawardî adalah berupa kritik sistemik terhadap
sejumlah pemikiran filsafat peripatetik (Nashr, 1968:329).
Sejalan dengan
proses pemikiran Suhrawardî menuju kematangannya, ia pada mulanya menulis
karya-karyanya yang masih bercorak peripatetis yang bertumpu kuat pada metode
diskursif. Suhrawardî menegaskan bahwa karya yang bercorak peripatetis mesti
dikuasai lebih dahulu sebelum mempelajari teosofinya (Suhrawardî, 1372:10).
Dengan instruksi semacam itu, Suhrawardî seakan merentangkan jalan tahap demi
tahap bagi pembaca karya-karyanya untuk sampai pada puncak karyanya Hikmat al-Isyrâq (The Wisdom of Illumination).
Melihat struktur
pemikiran yang tertuang dalam tulisan-tulisannya, Suhrawardî sebenarnya sudah
memiliki bangunan pemikiran filosofis yang direncanakan secara matang. Ia
menempatkan Hikmat al-Isyrâq sebagai
magnum opus-nya
karena hampir semua karya sebelumnya ditujukan untuk mendukung substansi Hikmat al-Isyrâq.
Sehingga peminat Suhrawardî dapat dengan mudah merujuk pada karya-karya
sebelumnya bila ingin mengetahui pemikirannya secara mendetail. Artinya, dengan
mengkaji Hikmat al-Isyrâq
seseorang dapat mengetahui pemikiran menyeluruh mazhab Suhrawardî (Rayyan,
1966:66-67).
Secara umum,
sistematika Hikmat al-Isyrâq terbagi
ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama mengulas sejumlah kritik terhadap
pemikiran peripatetis terutama terhadap konsep epistemologi. Bagian kedua
membahas konsep cahaya dengan berbagai dimensinya.
Pada bagian
pertama, sejalan dengan arah kritik yang dilancarkan, maka kritik epistemologi
berkisar antara logika dan sumber ilmu pengetahuan. Dalam kajian tentang sumber
ilmu pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke dalam pengetahuan hushûlî dan hudhûrî. Pengetahuan hushûlî terbagi ke dalam
dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan memaksimalkan
fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia
mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan
justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua
diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya
rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spritual (ma’qûlat) secara
silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal
yang belum diketahui (Yazdî, 1994:9).
Sedangkan pengetahuan hudhûrî adalah pengetahuan
dengan kehadiran (observasi ruhani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung
dari pemberi pengetahuan tertinggi berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir) dan
iluminasi. Konsep ilmu hudhûrî ini dikembangkan
Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujâhadat, riyâdhat dan ‘ibâdat daripada
memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata lain ilmu hudhûrî lebih menekankan
olah dzikir dari
pada olah pikir (Ziai,
1990: 17).
Bagian kedua dari Hikmat al-Isyrâq
mengungkapkan pemikiran teosofi Suhrawardî yang memuat konsep
metafisikanya. Pada bagian ini, Suhrawardî menjelaskan konsep teosofi
yang berpusat pada kajian cahaya (al-isyrâq)
sebagai media simbolik. Suhrawardî mengelaborasi cahaya untuk mengungkapkan
kesatuan pemikirannya baik pada tataran epistimologi, teologi, dan
ontologi. Pembahasan utama pada bagian ini meliputi hakikat cahaya,
susunan wujud (being),
aktivitas cahaya, cahaya dominan, pembagian barzâkh
(alam kubur), persoalan alam akhirat, kenabian, dan nasib perjalanan manusia
menuju purifikasi jiwa.
Dengan konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî
menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas
cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya berakhir pada kegelapan. Semua kajian
dalam bagian kedua membentuk bangunan teosofi berupa perpaduan antara filsafat
dan tasawuf. Oleh karena itu, Suhrawardî dianggap sebagai pencetus
dan pelopor konsep kesatuan iluminasi (wahdat
al-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî untuk
mengoptimalkan proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan wujud
(wahdat
al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî (Netton, 1994:258).
Gagasan mengenai kesatuan iluminasi
yang diajarkan oleh Suhrawardî merangsang munculnya sikap protes dan anti pati
dari kalangan ahli fiqh (islamic
jurisprudence). Karena dianggap sesat dan mendatangkan keresahan
dalam masyarakat, para ahli fiqh itu kemudian mengadili Suhrawardî serta
menjatuhkan hukuman mati (hukuman gantung) kepadanya. Meskipun dengan berat
hati, Suhrawardî menerima keputusan itu demi mempertahankan pemikiran yang
diyakininya sebagai kebenaran paling hakiki (Ziai, 1990:22).
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada
Suhrawardî mengingatkan kita pada perjalanan sejarah pemikiran manusia dimana
Socrates juga harus meminum racun demi membela idealismenya. Namun sejarah juga
membuktikan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan terhadap tokoh yang
memperjuangkan kebenaran ternyata tidak efektif untuk menghentikan alur
pemikiran mereka. Karir intelektual Suhrawardî boleh saja dihentikan, tetapi
warisan yang ditinggalkan tetap hidup bahkan mampu mempengaruhi generasi-generasi
sesudahnya. Pengaruh teosofi Suhrawardî dapat ditelusuri melalui karya-karya
yang muncul belakangan atau aliran-aliran pemikiran yang terpengaruh olehnya.
Uraian yang dipaparkan di atas
menunjukkan beberapa kelebihan Suhrawardî dibandingkan dengan para filosof
teosofi muslim lainnya. Harmonisasi filsafat lintas agama dan lintas aliran
pemikiran yang dipeloporinya menunjukkan sikap objektif dan bebas nilai yang
patut dicontoh oleh setiap pemikir. Meskipun sarat dengan kritikan dan hujatan,
pemikiran Suhrawardî tetap perlu untuk dikontekstualisasikan terutama untuk
menyejukkan suasana keberagamaan manusia di alam modern saat ini. Di samping
itu, rekonstruksi terhadap pemikiran Suhrawardî dapat dijadikan sebagai sarana
untuk memperkuat bangunan pemikiran metafisika filsafat Barat yang dinilai
sedang mengalami krisis spritualitas.
CATATAN:
Teori emanasi
Plotinus diawali dengan pemikiran yang menyatakan bahwa semua makhluk yang ada,
bersama-sama merupakan keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki
terdapat “Yang Satu” (to hen) yaitu Allah. Dari “Yang Satu”
dikeluarkan akal budi (nus). Akal budi merupakan suatu intelek yang
memikirkan dirinya sendiri. Jadi, akal budi tidak satu lagi karena di sini
terdapat dualitas yaitu pemikiran dan yang dipikirkan. Dari akal budi itu
kemudian muncul jiwa dunia (psykhe). Akhirnya, dari jiwa dunia
dikeluarkan materi (hyle) yang bersama dengan jiwa dunia merupakan
jagat raya (Bertens, 1983:19).
Teosofi adalah modifikasi antara latihan intelektual teoritis melalui
filsafat dan pemurnian hati melalui sufisme (Morewedge, 1992:73).
Istilah filsafat peripatetik berasal dari bahasa Yunani peripatein
yang berarti berjalan dengan berkeliling. Kata tersebut juga merujuk kepada
kata peripatos yang berarti serambi gedung olah raga di Athena, tempat
Aristoteles mengajar sambil berjalan-jalan (Ziyâdat, 1988:1274) . Dalam tradisi
filsafat Islam, istilah itu dikenal dengan masysyâ’iyyat yang
berarti melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Penggunaan istilah
peripatetik (masysyâ’iyyat) mengacu kepada metode mengajar
Aristoteles yang menggembleng siswanya dengan cara berjalan-jalan. Oleh karena
itu, istilah peripatetik mengacu pada seluruh bangunan filsafat Aristoteles
(Ma’luf, 1997:764).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar