“...Setiap wadah (tempat) akan menjadi sempit
jika diisi sesuatu, kecuali wadahnya ilmu (akal).
Akal justru bertambah luas sebanyak apapun diisi
ilmu...”
Ali
bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M)
I. Asal Kata
dan Istilah
Istilah ”filsafat” itu berasal dari kata ”philosophia”.
Menurut Ibnu Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (±
100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM)[1], yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah
oleh salah seorang aktivis Bayt al-Hikmah, Yahya bin al-Baitriq (w. 200
H/815 M), penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy
(Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut. Hanya saja,
bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut ditemukan dalam Kitab
al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi‘iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi[2]. Philosophia itu sendiri berasal
dari bahasa Yunani Kuno, yaitu philo artinya cinta; atau philia
berarti persahabatan dan sophia berarti hikmah (wisdom),
kebaikan, pengetahuan dan intelegensia.
Menurut asy-Syahristani (w. 548 H/1153 M), philosophia
berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf)
disebut muhibb al-hikmah (orang yang cinta kebijaksanaan)[3]. Secara
khusus, hikmah ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah (intelektual)
dan ‘amaliyyah (praktis). Itulah kenapa kebahagiaan (happiness)
yang dikehendaki oleh filosof adalah substansi atau hakikatnya. Sebagaimana dikatakan oleh ustadz Aristoteles: virtuous activity
is identical with happiness (melakukan kebaikan adalah identik dengan
kebahagiaan). Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih melalui kebijaksanaan baik dengan mengetahui
kebenaran maupun melaksanakan kebaikan. Bahkan puncak manusia paripurna (insan kamil) adalah manusia yang
bijaksana. Menurut Al-Kindi filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu
sesuai dengan kemampuan manusia. Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan
tentang eksistensi[4]. Dengan
demikian filsafat bukan merupakan pengetahuan an sich, tetapi juga
merupakan ”pisau analisa” dan cara pandang yang luas (weltanschauung) tentang
berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Filsafat adalah
intisari kearifan dari semua aspek kehidupan. Secara teoretis, filsafat
menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq) dan secara praktis, filsafat
menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr). Dari dua spektrum
inilah kemudian filsafat meluas dan berkembang ke berbagai wilayah kehidupan
manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutif dari berbagai
problematika hidup sampai dewasa ini.
II. Filsafat
versus Kitab Suci
Filsafat sejatinya tidak pernah bertentangan
dengan Kitab Suci. Agar lebih mudah, marilah obrolan ini kita asosiasikan dalam
simbol. Filsafat kita simbolkan dengan ”akal” atau nalar dan kitab suci kita
simbolkan dengan ”wahyu”. Dengan demikian, tidak mungkin wahyu bertentangan
dengan akal budi manusia, sebab Al-Qur’an sendiri sangat logis dan relevan
dengan segala kondisi zaman. Pandangan sementara orang bahwa agama (Islam) melarang
umatnya mempelajari filsafat didasarkan pada pandangan yang sempit dan sinisme
yang tidak beralasan. Islam sejatinya sangat luas, hanya saja pemahaman dan
tafsir manusia sendirilah yang membuatnya sempit, eksklusif, dogmatis dan terkesan
membelenggu.
Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang multi-interpretatif. Dengan kata lain, semakin beragam tafsir
yang dikembangkan manusia, semakin luaslah makna dan nilai-nilai Al-Qur’an. Maka,
filsafat dan segala bentuk hasil pemikiran akal budi manusia tidak mungkin
bertentangan dengan agama. Iman dan akidah pun harus dirasionalisasi, dari
proses rasionalisasi yang benar itulah akan lahir keimanan yang utuh dan berkualitas.
Dengan demikian, filsafat dalam ajaran semua agama monoteis[5] tidak
dilarang. Nah, bagaimana dengan pandangan, paham atau aliran yang menyesatkan
semacam materialisme, ateisme, kapitalisme dan isme-isme sesat lainnya?
Kata filsafat tidak satupun ditemukan dalam
Al-Qur’an, karena filsafat itu sendiri—sebagaimana disebutkan di atas—bukan bahasa
Arab, melainkan kata Yunani yang diarabkan. Filsafat akan kita dapati dalam
Al-Qur’an dengan kata ”al-hikmah” (kebijaksanaan, wisdom). Kata hikmah
ini sesunggunya lebih pas sebagai padanan kata philosophia (philosophy: Inggris). Kata hikmah atau
filsafat dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak (+) 39 kali, misalnya dalam
surat: an-Nahl:125, al-Qahsas:14, Shad:20, al-An’am:38, Ali Imran: 48,58,79,164,
Yusuf: 22, Yunus: 1&5, Al-An’am: 84, Yasin: 2, Az-Zukhruf: 4, An-Nisa’: 54,113,
asy-Syu’ara’:83 dll. Kita ambil dua ayat saja: Yasin ayat 2 menyatakan bahwa
Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang penuh falsafah (kebijaksanaan), bahkan dalam
surat an-Nahl ayat 125 disebutkan bahwa prinsip dan strategi dakwah yang paling
utama adalah filsafat, dan masih puluhan contoh lagi dalam Al-Qur’an. Jelaslah
bahwa filsafat dan Kitab Suci (agama) tidak bertentangan, sebab keduanya
menawarkan kebenaran (al-haq) dan kebaikan (al-khayr). Ini
seperti pandangan Ibnu Rusyd (1126-1217 M). Logika sederhananya, orang (Islam)
yang tidak mau berfilsafat atau bahkan mengharamkan filsafat adalah orang yang
tidak pernah mengkaji Kitab Suci sampai tuntas.
III. Ilmu
Kritis
Pendapat sementara orang, belajar filsafat hanya
akan menjebak manusia pada kemalasan dan ketidakwarasan moral. Artinya semakin
jauh belajar filsafat, manusia semakin tenggelam dalam jurang prasangka dan
asyik berfilsafat dengan diri dan egonya sendiri. Ini jelas bukan pendapat
orang kritis, melainkan hanya isapan jempol tukang gosip yang sedang cemburu.
Sebab kritis itu prinsipnya mencari kebenaran, bukan pembenaran subyektif dengan
cara menyalahkan orang/pihak lain. Perlu Anda ketahui bahwa isi kepala
seseorang yang iri cuma dua, yakni: gosip (ghibah) dan justifikasi yang
salah (fitnah).
Kritis adalah sikap mental dan emosi yang tidak
gampang percaya, cenderung memberikan pertimbangan dan berusaha menganalisa
tentang baik-buruknya sesuatu[6]. Orang
yang kritis tidak serampangan menyalahkan dan membenarkan sesuatu, semua
diselidiki dan diteliti terlebih dahulu. Sikap kritis ini pula yang menjadi
”senjata pamungkas” bagi semua ilmuwan dalam proses kreatif dan akademisnya,
tak terkecuali para filsuf. Filsafat itu sendiri—yang konon induk segala
ilmu—adalah ilmu kritis. Ini didasarkan pada penemuan para filsuf dan karya-karya
mereka yang sangat kritis menganalisa dan mengembangkan satu pemikiran, baik di
bidang sains, sosial, ekonomi, hukum, sastra, sejarah dan tata negara. Pada
masa keemasan Islam (dinasti Abbasiyah) misalnya, setelah jatuhnya Romawi,
pusat pendidikan berpindah ke Asia, yakni melalui lembaga panelitian dan
penerjermahan Bayt al-Hikmah di Baghdad. Dari lembaga ini khazanah pengetahuan
Yunani diterjemahkan, dikritisi dan dianalisa, dikomentari untuk kemudian
dikembangkan dan pada akhirnya dilampaui[7]. Pendek
kata, modal utama dalam berfilsafat adalah kritis, titik. Berikutnya sikap
kritis itu dikawinkan dengan penguasaan bahasa dan logika yang baik dan
sistematis. Dari sikap kritis inilah segala bentuk pengetahuan dimungkinkan
berkembang seluas-luasnya. Selebihnya sikap kritis ini akan membawa manusia
tidak cepat puas dan takjub, sikap kritis adalah cambuk bagi kemalasan, sebab
dari sikap kritis inilah semangat lahir dan berkobar.
Sejarah mereportase dan membuktikan bahwa tidak
ada satu penemuan dan pencapaian pun yang tidak diberangkatkan dari sikap
kritis, apalagi filsafat. Jelaslah, bahwa filsafat adalah embrio segala ilmu. Jika
demikian, apabila Anda kritis terhadap segala hal, berarti Anda telah menjadi
seorang filsuf. Selamat! Allahu yuwaffiquna ila sabilil anbiya’
wal-mursalin.
***
STF-A, 11 Dzul
Qa’dah 1432 H
[2] ibid,
hlm. 415
[3] Asy-Syahrastani,
al-Milal wa al-Nihal, hlm. 364; bdk. Aristoteles, Nicomachean Ethics,
Book I, Part 6 http://www. books.mirror.org/gb.aristotle.html
[4] Al-Farabi,
al-Jam‘ Bayn Ra’yay al-Hakîmayn, ed. Albert Nashri Nader, Beirut:
Mathba‘ah al-Kathulikah, 1969, hlm. 81.
[5] Agama yang mentauhidkan hanya satu Tuhan saja—menganut paham
ketuhanan Yang Maha Esa (YME)
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, hlm. 820
[7] Stewart
Gordon, When Asia was The World (terj. Asia Menguasai Dunia) Jakarta:
Ufuk Press, 2008 hlm. 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar