Selasa, 28 April 2015

يعقوب بن اسحاق الكندي

AL-KINDI (KUFAH 801 – BAGHDAD 873 M)


a.      Manaqib
Kepada kiai Kindi inilah pakde Kant, Jacques Rousseau, Fichte dan paman Hegel harus cium tangan dan berterima kasih. Sebab Al-Kindi adalah bapak kritisisme dan sinkretisme (talfiq) dalam prisma pemikiran falsafi. Bahkan dari dialah Barat paham tentang humaniora, imajinasi (takhayyul), perincian materi (maddah) dan silogisme (al-qiyas) Aristoteles, Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Shabbah bin Imran bin Muhammad bin Asy’asy bin Qais al-Kindi. Ia lahir di Kufah pada 185 H (801 M). Ia hidup pada masa kejayaan Daulah Abbasyiyah, yakni pada masa khalifah al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tashim (833-842 M) dan Al-Mutawakkil (847-861 M). Ia adalah penerjemah paling masyhur di Bayt al-Hikmah. Karya kiai Kindi tidak kurang dari 270 buah dalam berbagai disiplin ilmu, yang paling terkenal adalah: Kitab al-Falsafah al-Ula (pengantar filsafat), Falsafah al-Dakhilah wa al-Masa’il al-Manthiqiyah (logika dan metafisika), Kitab fi Qashd Aristhathilis fi al-Maqulat, Jawami’ al-Fikriyah (Idealisme Komprehensif), Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah, dan lain-lain.
Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy’ath ibn Qais al-Kindi. Tahun kelahiran dan kematian al-Kindi tidak diketahui secara jelas. Yang dapat dipastikan tentang hal ini adalah bahwa ia hidup pada masa kekhalifahan al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tasim (833-842), al-Watsiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861).
Al-Kindi hidup pada masa penerjemahan besar-besaan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan memang, sejak didirikannya Bayt al-Hikmah oleh al-Ma’mun, al-Kindi sendiri turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini. Di samping menerjemah, al-Kindi juga memperbaiki terjemahan-terjemahan sebelumnya. Karena keahlian dan keluasan pandangannya, ia diangkat sebagai ahli di istana dan menjadi guru putra Khalifah al-Mu’tasim, Ahmad. Ia adalah filosof berbangsa Arab dan dipandang sebagai filosof Muslim pertama. Memang, secara etnis, al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah, salah satu suku besar daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan al-Kindi adalah menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ia pernah tinggal di Basrah dan belajar di Baghdad. Ia juga dianggap sebagai keturunan raja sehingga mempermudahnya untuk bekerja di istana Baghdad. Ia dikenal sebagai orang yang cerdas dan berpengetahuan luas. Karena kecerdasannya ia memperoleh kedudukan yang terhormat oleh penguasa. Bahkan ia diangkat sebagai guru istana oleh khalifah al-Mu’tasim dan menjadi guru pribadi bagi anaknya Ahmad bin Mu’tasim.
Al-Kindi belajar sesuai dengan kurikulum yang ada pada masanya, ia belajar al-Qur’an, memaca, menulis, dan berhitung. Ia sangat mahir dalam berbagai macam ilmu, seperti kedokteran, filsafat, ilmu hitung, logika (mantiq), geometri, astronomi. Salah satu kelebihannya ialah, ia menguasai bahasa Suryani, sehingga buku-buku Yunani yang diterjemahkan kedalam bahasa Suryani, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab olehnya. Karir intelektual Al-Kindi menanjak setelah ia diangkat untuk bekerja sebagai guru di istana kekhalifaan sebagaimana yang dijelaskan diatas, juga karena kesesuaian pahamnya dengan penguasa—khalifah Al-Mu’tasim—yang menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara.
Karena kesesuaian pemahaman tersebut membuat Al-Mu’tasim mengajak Al-Kindi untuk bergabung dengan para cendekiawan dalam kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani. Al-Kindi juga menulis risalah tentang keadilan, kemahaesaan Tuhan, dan perbuatan Tuhan, bahkan ia juga ikut membantah paham-paham yang bertentangan dengan maszhab Negara berdasarkan pemikirannya. Meskipun Al-Kindi mendapatkan kedudukan yang terhormat dalam istana karena kecerdasan yang dimilikinya, ia juga tak lepas dari pengalaman pahit yang umumnya menimpa para pemikir Islam terdahulu. Ketika khalifah Al-Mutawakkil berkuasa dan menggantikan mazhab Negara dari Mu’tazilah ke Ahlusunnah wal-Jama’ah, kondisi isi dipolitisasi oleh kelompok tertentu yang berpegang secara ketat oleh doktrin tersebut untuk memojokkan Al-Kindi. Atas hasutan Muhammad dan Ahmad—mereka mengatakan bahwa orang yang berfilsafat menjadi kurang hormat pada agama—Al-Mutawakkil memerintahkan untuk mendera Al-Kindi, dan perpustakaan Al-Kindiyah disita, meskipun pada akhirya dikembalikan lagi kepadanya.
Karena penguasaannya terhadap berbagai disiplin ilmu tersebut (sebagaimana disebutkan diatas), sehingga sangat wajar kalau Al-Kindi ditempatkan sebagai orang Islam pertama yang berkembangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka. Karena itu pulalah, maka Al-Kindi dinilai pantas menyandang gelar filosof berkebangsaan Arab (Failasuf al-‘Arab) pertama. Al-Kindi telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Tetapi, di antara sekian banyak ilmu, ia sangat menghargai matematika. Hal ini disebabkan karena matematika, bagi al-Kindi, adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukaddimah ini begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika. Matematika di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri dan astronomi.
Yang paling utama dari seluruh cakupan matematika di sini adalah ilmu bilangan atau aritmatika karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun. Di sini kita bisa melihat samar-samar pengaruh filsafat Pitagoras. Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rasional). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio, kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia oleh Tuhan.

b.      Nata’ij al-Fikr
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia[1]. Dengan demikian, filsafat bukan hanya milik para filsuf, tapi bagi siapa saja, karena filsafat malampaui batas-batas agama, budaya dan geografis. Filsafat al-Kindi berkisar pada ranah sinkretisame, metafisika (ketuhanan), jiwa dan moral. Ia berusaha menyatukan (talfiq) agama dan filsafat, sebab filsafat adalah pengetahuan yang benar (bahts ’an al-haq), oleh sebab itu al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan filsafat.  Dalam pandangan Al-Kindi, teologi adalah bagian dari filsafat, sementara orang Islam wajib mempelajari teologi, maka filsafatpun wajib dipelajari. Sehingga bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kabaikan menjadi tujuan dari keduanya. Dengan demikian, pengingkaran pada filsafat berarti menginkari kebenaran (al-haq), dan vonisnya adalah kafir[2]. Pengingkaran terhadap hasil kerja filsafat yang barangkali bertentangan dengan satu-dua ayat Al-Qur’an menurut al-Kindi tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, sebab hal itu dapat dilakukan takwil, tafsir dan studi hermeneutik (historisitas-normativitas) untuk mencari relevansi dengan situasi dan segala kemungkinan—ja’a al-haq wa zahaq al-bathil.
 Al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani itu. Unsur-unsur yang terdapat dalam pemikiran filsafat Al-Kindi ialah:
  1. Aliran Pythagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
  2. Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qadimnya alam.
  3. Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
  4. Pikiran-pikiran Plato dan Aristo bersam-sama dalam soal etika.
  5. Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan Sifat-sifatNya.
  6. Pikiran-pikiran aliran Mu'tazilah dalam penghargaan kekuatan akal dan dalam mena'wilkan ayat-ayat Qur'an.
Oleh karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani. Tetapi bila pemkirannya dipelajari dengan seksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapat pengaruh pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya Ia mempunyai kepribadian sendiri.
Dari beberapa pemikiran filsafat yang ditekuni, akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa metafisika atau filsafat ketuhananlah yang mendapat derajat atau kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya. Ia memandang pembahasan mengenai Tuhan adalah sebagai bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya. Selain itu, banyak pengamat mengatakan, bahwa yang mempengaruhi pemikiran Al-Kindi bukan hanya filsafat Yunani, akan tetapi juga Aliran Mu'tazilah yang sangat berpegang teguh terhadap Al-Qur'an dan kekuatan akal, terutama di dalam mengemukakan pendapatnya yang berhubungan dengan masalah Ketuhanan.

c .       Atsar at-Tafkir
1. Rekonsilasi Agama dengan Filsafat

Masalah hubungan filsafat dan agama merupakan diskursus yang sangat ramai diperbincangkan pada zaman Al-Kindi. Ulama-ulama ortodoks umumnya menolak keabsahan taori-teori filsafat, karena produk pemikiran filsafat melahirkan pertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Dalam kondisi inilah Al-Kindi muncul dan memposisikan diri sebagai pembela filsafat dari serangan pihak yang tidak setuju. Ia muncul dengan gagasan kesamaan kebenaran antara filsafat dengan agama, sehingga menurutnya tidak perlu dipertentangkan, karena pada keduanya membawa kebenaran yang sama.
Ilmu filsafat – kata Al-Kindi - adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu yang dipelajari orang menurut kadar kemampuannya, yang mencakup ilmu ke-Tuhan-an (rububiyyah), ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), dan semua ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dari pembagian tersebut yang paling penting dan tinggi derajatnya adalah ilmu ke-Tuhan-an yag disebutnya sebagai filsafat pertama (al-falsafah al-‘ula), karena filsafat pertama merupakan ilmu yang membahas tentang kebenaran pertama (ilmu ‘l-haqqi’ l-awwal) yang merupakan sebab bagi semua kebenaran. Dalam pandangan itulah Al-Kindi mengatakan bahwa mempelajari ilmu rububiyyah akan membuat seorang filosof lebih sempurna, karena pengetahuan seseorang tentang “sebab” jauh lebih mulia daripada pengetahuan tentang akibat.
Demikianlah penekanan Al-Kindi tentang ilmu filsafat. Sebagaimana dimaklumi bahwa dasar pemikiran filsafat terletak pada pemanfaatan akal secara maksimal, dan agama bukanlah sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh akal, meskipun dasar pijakan berfikirnya berbeda. Menyangkut hal ini Al-Kindi memberikan pemikirannya sebagai berikut: Sesungguhnya sabda orang yang benar, Muhammad (shalawat Allah terlimpah atasnya) dan apa yang disampaikannya dari Allah Yang Maha Agung lagi perkasa dapat diketahui semuanya dengan (memakai) analogi akali (al-maqayis al-‘aqliyyah). Hanya orang-orang yang tidak memiliki citra akal serta telah meletakan diri pada kejahilan yang menolak ilmu falsafah. Dari ungkapan ini, dapat dilihat konsistensi Al-Kindi dalam menempatkan filsafat dan penekanannya pada fungsi akal sebagai hal penting dari usaha memahami ajaran agama secara kaffah.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang hubungan agama dan filsafat, kita harus menegaskan kembali—sebagaimana telah dibahas pada awal-awal bab ini—bahwa lahirnya filsafat dalam Islam tak lepas dari warisan kebudayaan non-Islam terutama unsur-unsur Helenisme. Artinya bahwa tradisi berfilsafat Al-Kindi pun merupakan bawaan dari kebudayaan dimaksud.
Al-Kindi memang merupakan representasi pertama dan terakhir dari seorang murid Aristoteles di dunia timur. Corak berfikir Al-Kindi bersifat ekletisisme, sehingga dalam corak berfikir filsafatnya terdapat unsur-unsur pikiran Aristoeles dan juga Plato. Unsur Aristoteles yaitu pembagian filsafat kepada teori dan amalan, sedangkan unsur Plato adalah defenisinya. Namun, sebagaimana konsistensi Al-Kindi dalam proyek rekonsiliasi antara agama (Islam) dengan filsafat, dalam teori-teori filsafat yang jauh lebih praktis, Al-Kindi tidak secara instan menerima dan mengikuti pemikiran para filosof Yunani, malainkan menganalisis lebih dalam dan menyesuaikannya dengan doktrin agama. Dalam membicarakan masalah kejadian alam, misalnya; Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam itu abadi. Ia tetap berkeyakinan bahwa alam adalah ciptaan Allah, yang diciptakan dari tiada dan akan berakhir menjadi tiada, yang dikenal dengan slogan creation ex nihilio.[33] Artinya bahwa, sebagai seorang filosof Muslim Al-Kindi tidak kehilangan kepribadiannya berhadapan dengan pendapat filosof yang dianutnya.

2. Filsafat Ketuhanan
           
Diantara dalil-dalil penting yang dikemukakan Al-Kindi tentang adanya Allah adalah; baharunya alam, keanekaragaman dalam wujud, dan ketertauran alam. Untuk jalan pertama, Al-Kindi beranjak dari sebuah pertanyaan sederhana, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi dirinya sendiri. Menurutnya hal ini tidak mungkin, karena alam ini terbatas dan ia baru karena ada permulaan waktunya. Karena itu mesti ada yang menjadi penyebab alam ini terjadi. Menyangkut hal ini, Al-Kindi mengatakan:
Tida mungkin ada suatu entitas (jisim) yang abadi (senantiasa); jadi jisim dengan sendirinya diciptakan. Dan yang diciptakan itu adalah ciptaan pencipta. Sebab pencipta dan yang diciptakan termasuk perangkaian. Maka semuanya itu dengan sendirinya ada penciptanya dari tiada. Untuk argumen yang kedua, ia mengatakan bahwa dalam alam, baik alam materi ataupun yang lain, tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman, ataupun sebaliknya. Terjadinya keseragaman dan keanekaragaman itu bukan secara kebetulan, melainkan karena ada sesuatu yang menjadi penyebabnya. “Sebab” ini bukanlah alam itu sendiri, sebab kalau alam sendiri yang menjadi penyebabnya maka tidak ada habis-habisnya, sedang sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, maka yang menjadi sebab itu harus diluar alam yang lebih mulia dan lebih dahulu adanya, yakni Tuhan. Untuk dalil ketiga, ia mengatakan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengaturnya. Pegaturnya tentu dari luar alam itu sendiri., yakni suatu zat yang maha tinggi yaitu Tuhan. Zat itu tidak terlihat tetapi dapat diketahui dengan melihat fenomena yang terdapat di alam ini.
Menyangkut dengan hakikat Allah, Al-Kindi mengungkapkan bahwa Allah adalah wujud yang hak (al-iniyyah al-haqqah) “yang tidak ada ketiadaan selama-lamanya, yang akan selalu demikian wujudnya secara abadi. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karenanya Tuhan adalah wujud yang sempurna. Bagi Al-Kindi, Tuhan adalah unik, ia hanya satu, dan tidak ada yang serata dengan-Nya. Dialah Yang Benar Pertama (al-haqq al-awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-haqq al-wahid). Selain dari-Nya mengandung arti banyak.
Dalam masalah sifat Tuhan yang ramai diperdebatkan dikalangan mutakallimun zaman itu, Al-Kindi nampaknya lebih cenderung pada mazhab Mu’tazilah yang lebih menonjolkan ke-esa-an sebagai satu-satunya sifat Tuhan. Al-Kindi memandang keesaan itu sebagai suatu sifat Allah yang khas. menurutnya, Allah itu esa dalam bilangan dan esa dalam zat. Esensis-Nya tidak mengandung kejamakan, tidak ada sesuatu yang dapat menandingi dan menyerupai-Nya, karena Alla tidak mempunyai materi, tidak mempunyai citra, tidak mempunyai kualitas dan kuantitas, tidak mempunyai rangkaian, tidak mempunyai jenis dan macam, Allah itu azali yang tidak boleh tidak ada. Allah tidak bergerak, karena dalam gerak itu artinya ada pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang sempurna, karena zat yang azali itu tidak bergerak, maka zaman tidak berlaku kepadaya, sebab zaman itu adalah bilangan gerak. Zat itu mempunyai pekerjaan khusus yang disebut “Ibdah”, artinya menjadikan sesuatu dari tiada.

3. Filsafat Jiwa
Masalah jiwa merupakan agenda yang penting dalam Islam, karena jiwa merupakan unsur utama dari manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari manusia dari apa yang diistilahkan al-Qur’an dengan al-ruh. Filosof Muslim menggunakan kata jiwa (an-nafs). Pemikiran Al-Kindi tentang jiwa tidak terlepas dari pemikiran Aristoteles. Ia mengungkapkan dua defenisi jiwa yang telah dikemukakan Aristoteles. Menurutnya jiwa adalah “kesempurnaan pertama dari jisim alami yang memilik kehidupan secara potensial”. Al-Kindi juga memberikan defenisi jiwa sebagai “kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima kehidupan”. Namun ia menolak pendapat Aristotoles yang mengatakan bahwa jiwa manusia tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk.
Menurut Al-Kindi, jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Allah. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad. Jiwa bersifat rohani dan Ilahi. Jiwa menentang keinginan hawa nafsu, apabila nafsu mendorong manusia melakukan kejahatan, maka jiwalah yang menentangnya. Artinya bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu berbeda dengan nafsu yang dilarang.
Argumen Al-Kindi tentang hubungan jasad (badan) dengan jiwa adalah kesatuan acciden, artinya bahwa binasanya badan tidak membawa kebinasaan pada jiwa. Meskipun jiwa bersatu dengan badan, namun jiwa tetap terpisah dan berbeda dengan badan, sehingga ia kekal setelah mengalami kematian, ia mengatakan; Dan bahwa kita tidak datang di alam ini bagaikan titian atau jembatan yang dilalui oleh para penyeberang, tidak mempunyai tempat yang lama. Tampat tetap yang kita harapkan adalah alam tinggi yang luhur ke mana jiwa kita akan berpindah setelah mati”.
Dari argumen ini terlihat jelas bahwa Al-Kindi mengakui kebadian jiwa, namun keabadiaan jiwa itu jelas berbeda dengan keabadian Tuhan, karena keabadian jiwa bukan dari dirinya sendiri melainkan keabadiannya karena Allah. Harus diakui bahwa Al-Kindi belum memiliki filsafat yang lengkap. Dalam pemikirannya ia telah mempertemukan pemikiran filsafat dengan agama atau antara akal dan wahyu, dan lebih dalam lagi ia telah mengislamkan ide-ide yang terdapat dalam filsafat Yunani. Pemikirannya merupakan pemikiran awal yang merintis jalan bagi filosof Muslim yang lahir sesudahnya.

KESIMPULAN
Lahir dan berkembangnya pemikiran filosofis dalam Islam merupakan sebuah realitas historis yang niscaya karena adanya interaksi yang terbangun antar bangsa Arab Muslim dengan daerah-daerah yang ditaklukan (bangsa non-Muslim), yakni bangsa Persia, India dan terutama sekali adalah bangsa Yunani, sehingga filsafat Islam dikatakan banyak mengandung unsur helenisme. Hasil dari proses interaksi itulah kemudian melahirkan semangat intelektual untuk melakukan penerjemahan terhadap berbagai karya-karya; baik Yunani, Persia, maupun India ke dalam bahasa Arab. Gerakan penerjemahan berkembang pesat karena mendapat dukungan penguasa (khalifah). Dari hasil penerjemahan tersebut, lahirlah pemikiran-pemikiran filosofis dalam Islam. Dalam pengembangan selanjutnya pemikiran-pemikiran para filosof non-Muslim itu dikembangkan sesuai dengan akidah dan ajaran-ajaran Islam, agar tidak bertentangan.
Orang Islam pertama yang muncul dengan gagasan-gagasan filsafat dan dianggap sebagai representasi awal dari sederatan filosof Muslim adalah Al-Kindi sendiri. Ia juga diberi gelar sebagai filosof berkebangsaan Arab (Failasuf al-Arab) pertama. Al-Kindi muncul dengan ide tentang adanya kesamaan kebenaran antara Agama dengan filsafat, sehingga menurutnya tidak perlu ada petentangan antara keduanya. Dalam membuktikan adanya Tuhan dengan jalan filsafat, Al-Kindi memberikan argumen tentang baharunya alam, keanekaragaman dalam wujud, dan ketertauran alam. Sedangkan gagasannya tentang keberadaan jiwa, Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa merupakan jauhar basith, yang mempunyai wujud tersendiri yang terpisah dari badan, serta substansinya adalah berasal dari substansi Allah.
***


PFM (Perserikatan Filsuf Muda), 17 Jumadil Akhir 1432 H



[1]   Al-Kindi, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. Abu Ridah, Kairo, 1950, Juz I, hlm. 97.
[2]   Abu Ridah Muhammad (ed), Rasail al-Kindi al-Falsafiyah, (Kairo: Dar al-Fikr, 1950) h. 103-104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar