AL-KINDI (KUFAH 801 – BAGHDAD 873 M)
a. Manaqib
Kepada kiai Kindi inilah pakde Kant, Jacques Rousseau, Fichte dan paman Hegel harus
cium tangan dan berterima kasih. Sebab Al-Kindi adalah bapak kritisisme dan
sinkretisme (talfiq) dalam prisma pemikiran falsafi. Bahkan dari dialah
Barat paham tentang humaniora, imajinasi (takhayyul), perincian materi (maddah)
dan silogisme (al-qiyas) Aristoteles, Nama lengkapnya Abu
Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Shabbah bin Imran bin Muhammad bin Asy’asy bin Qais
al-Kindi. Ia lahir di Kufah pada 185 H (801 M). Ia hidup pada masa kejayaan
Daulah Abbasyiyah, yakni pada masa khalifah al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tashim
(833-842 M) dan Al-Mutawakkil (847-861 M). Ia adalah penerjemah paling masyhur di
Bayt al-Hikmah. Karya kiai Kindi tidak kurang dari 270 buah dalam berbagai
disiplin ilmu, yang paling terkenal adalah: Kitab al-Falsafah al-Ula (pengantar
filsafat), Falsafah al-Dakhilah wa al-Masa’il al-Manthiqiyah (logika dan
metafisika), Kitab fi Qashd Aristhathilis fi al-Maqulat, Jawami’ al-Fikriyah
(Idealisme Komprehensif), Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah, dan
lain-lain.
Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn
Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy’ath ibn Qais
al-Kindi. Tahun kelahiran dan kematian al-Kindi tidak
diketahui secara jelas. Yang dapat dipastikan tentang hal ini adalah bahwa ia
hidup pada masa kekhalifahan al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833),
al-Mu’tasim (833-842), al-Watsiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861).
Al-Kindi hidup pada masa penerjemahan besar-besaan karya-karya
Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan memang, sejak didirikannya Bayt al-Hikmah oleh
al-Ma’mun, al-Kindi sendiri turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini. Di
samping menerjemah, al-Kindi juga memperbaiki terjemahan-terjemahan sebelumnya.
Karena keahlian dan keluasan pandangannya, ia diangkat sebagai ahli di istana
dan menjadi guru putra Khalifah al-Mu’tasim, Ahmad. Ia adalah filosof berbangsa
Arab dan dipandang sebagai filosof Muslim pertama. Memang, secara etnis,
al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah, salah
satu suku besar daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan al-Kindi
adalah menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah terlebih
dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ia pernah
tinggal di Basrah dan belajar di Baghdad. Ia juga dianggap sebagai keturunan
raja sehingga mempermudahnya untuk bekerja di istana Baghdad. Ia dikenal
sebagai orang yang cerdas dan berpengetahuan luas. Karena kecerdasannya ia
memperoleh kedudukan yang terhormat oleh penguasa. Bahkan ia diangkat sebagai
guru istana oleh khalifah al-Mu’tasim dan menjadi guru pribadi bagi anaknya
Ahmad bin Mu’tasim.
Al-Kindi belajar sesuai dengan kurikulum yang
ada pada masanya, ia belajar al-Qur’an, memaca, menulis, dan berhitung. Ia
sangat mahir dalam berbagai macam ilmu, seperti kedokteran, filsafat, ilmu
hitung, logika (mantiq), geometri, astronomi. Salah satu kelebihannya ialah, ia
menguasai bahasa Suryani, sehingga buku-buku Yunani yang diterjemahkan kedalam
bahasa Suryani, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab olehnya. Karir
intelektual Al-Kindi menanjak setelah ia diangkat untuk bekerja sebagai guru di
istana kekhalifaan sebagaimana yang dijelaskan diatas, juga karena kesesuaian
pahamnya dengan penguasa—khalifah Al-Mu’tasim—yang menjadikan Mu’tazilah
sebagai mazhab resmi Negara.
Karena kesesuaian pemahaman tersebut membuat
Al-Mu’tasim mengajak Al-Kindi untuk bergabung dengan para cendekiawan dalam
kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani. Al-Kindi juga menulis risalah tentang
keadilan, kemahaesaan Tuhan, dan perbuatan Tuhan, bahkan ia juga ikut membantah
paham-paham yang bertentangan dengan maszhab Negara berdasarkan pemikirannya. Meskipun Al-Kindi mendapatkan kedudukan yang
terhormat dalam istana karena kecerdasan yang dimilikinya, ia juga tak lepas
dari pengalaman pahit yang umumnya menimpa para pemikir Islam terdahulu.
Ketika khalifah Al-Mutawakkil berkuasa dan menggantikan
mazhab Negara dari Mu’tazilah ke Ahlusunnah wal-Jama’ah, kondisi isi
dipolitisasi oleh kelompok tertentu yang berpegang secara ketat oleh doktrin
tersebut untuk memojokkan Al-Kindi. Atas hasutan Muhammad dan Ahmad—mereka
mengatakan bahwa orang yang berfilsafat menjadi kurang hormat pada
agama—Al-Mutawakkil memerintahkan untuk mendera Al-Kindi, dan perpustakaan
Al-Kindiyah disita, meskipun pada akhirya dikembalikan lagi kepadanya.
Karena penguasaannya terhadap berbagai disiplin
ilmu tersebut (sebagaimana disebutkan diatas), sehingga sangat wajar kalau
Al-Kindi ditempatkan sebagai orang Islam pertama yang berkembangsaan Arab dalam
jajaran para filosof terkemuka. Karena itu pulalah, maka Al-Kindi dinilai
pantas menyandang gelar filosof berkebangsaan Arab (Failasuf al-‘Arab)
pertama. Al-Kindi telah menulis hampir seluruh
ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Tetapi, di antara sekian banyak
ilmu, ia sangat menghargai matematika. Hal ini disebabkan karena matematika,
bagi al-Kindi, adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari
filsafat. Mukaddimah ini begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang
untuk mencapai keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai
matematika. Matematika di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni,
geometri dan astronomi.
Yang paling utama dari seluruh cakupan matematika di sini adalah
ilmu bilangan atau aritmatika karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan
ada sesuatu apapun. Di sini kita bisa melihat samar-samar pengaruh filsafat
Pitagoras. Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive),
daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rasional).
Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan
mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya
(pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika
akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat
dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh
dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing
dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka
diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat
kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut
persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan
sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai
penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang
segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi
dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak
dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan kehidupan akhirat.
Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio,
kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran
dunia oleh Tuhan.
b. Nata’ij al-Fikr
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan tentang
hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia[1]. Dengan demikian, filsafat
bukan hanya milik para filsuf, tapi bagi siapa saja, karena filsafat malampaui
batas-batas agama, budaya dan geografis. Filsafat al-Kindi berkisar pada ranah
sinkretisame, metafisika (ketuhanan), jiwa dan moral. Ia berusaha menyatukan (talfiq)
agama dan filsafat, sebab filsafat adalah pengetahuan yang benar (bahts
’an al-haq), oleh sebab itu al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan
filsafat. Dalam pandangan Al-Kindi, teologi adalah
bagian dari filsafat, sementara orang Islam wajib mempelajari teologi, maka
filsafatpun wajib dipelajari. Sehingga bertemunya agama dan filsafat dalam
kebenaran dan kabaikan menjadi tujuan dari keduanya. Dengan demikian,
pengingkaran pada filsafat berarti menginkari kebenaran (al-haq), dan
vonisnya adalah kafir[2]. Pengingkaran terhadap
hasil kerja filsafat yang barangkali bertentangan dengan satu-dua ayat
Al-Qur’an menurut al-Kindi tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat,
sebab hal itu dapat dilakukan takwil, tafsir dan studi hermeneutik
(historisitas-normativitas) untuk mencari relevansi dengan situasi dan segala
kemungkinan—ja’a al-haq wa zahaq al-bathil.
Al-Kindi banyak mempelajari
filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan unsur-unsur filsafat
Yunani itu. Unsur-unsur yang terdapat dalam pemikiran filsafat Al-Kindi ialah:
- Aliran Pythagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
- Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qadimnya alam.
- Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
- Pikiran-pikiran Plato dan Aristo bersam-sama dalam soal etika.
- Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan Sifat-sifatNya.
- Pikiran-pikiran aliran Mu'tazilah dalam penghargaan kekuatan akal dan dalam mena'wilkan ayat-ayat Qur'an.
Oleh karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapat pengaruh filsafat
Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa al-Kindi mengambil alih seluruh
filsafat Yunani. Tetapi bila pemkirannya dipelajari dengan seksama, tampak
bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapat pengaruh pikiran filsafat Yunani, tetapi
akhirnya Ia mempunyai kepribadian sendiri.
Dari beberapa pemikiran filsafat yang ditekuni, akhirnya Al-Kindi
berkesimpulan bahwa metafisika atau filsafat ketuhananlah yang mendapat derajat
atau kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya. Ia memandang
pembahasan mengenai Tuhan adalah sebagai bagian filsafat yang paling tinggi
kedudukannya. Selain itu, banyak pengamat mengatakan, bahwa yang mempengaruhi
pemikiran Al-Kindi bukan hanya filsafat Yunani, akan tetapi juga Aliran
Mu'tazilah yang sangat berpegang teguh terhadap Al-Qur'an dan kekuatan akal,
terutama di dalam mengemukakan pendapatnya yang berhubungan dengan masalah
Ketuhanan.
c . Atsar at-Tafkir
1. Rekonsilasi
Agama dengan Filsafat
Masalah hubungan filsafat dan agama merupakan
diskursus yang sangat ramai diperbincangkan pada zaman Al-Kindi. Ulama-ulama
ortodoks umumnya menolak keabsahan taori-teori filsafat, karena produk
pemikiran filsafat melahirkan pertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Dalam
kondisi inilah Al-Kindi muncul dan memposisikan diri sebagai pembela filsafat
dari serangan pihak yang tidak setuju. Ia muncul dengan gagasan kesamaan
kebenaran antara filsafat dengan agama, sehingga menurutnya tidak perlu
dipertentangkan, karena pada keduanya membawa kebenaran yang sama.
Ilmu filsafat – kata Al-Kindi - adalah ilmu
tentang hakikat segala sesuatu yang dipelajari orang menurut kadar
kemampuannya, yang mencakup ilmu ke-Tuhan-an (rububiyyah), ilmu keesaan (wahdaniyyah),
ilmu keutamaan (fadhilah), dan semua ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dari
pembagian tersebut yang paling penting dan tinggi derajatnya adalah ilmu
ke-Tuhan-an yag disebutnya sebagai filsafat pertama (al-falsafah al-‘ula),
karena filsafat pertama merupakan ilmu yang membahas tentang kebenaran pertama (ilmu
‘l-haqqi’ l-awwal) yang merupakan sebab bagi semua kebenaran. Dalam
pandangan itulah Al-Kindi mengatakan bahwa mempelajari ilmu rububiyyah akan
membuat seorang filosof lebih sempurna, karena pengetahuan seseorang tentang
“sebab” jauh lebih mulia daripada pengetahuan tentang akibat.
Demikianlah penekanan Al-Kindi tentang ilmu
filsafat. Sebagaimana
dimaklumi bahwa dasar pemikiran filsafat terletak pada pemanfaatan akal secara
maksimal, dan agama bukanlah sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh akal,
meskipun dasar pijakan berfikirnya berbeda. Menyangkut hal ini Al-Kindi
memberikan pemikirannya sebagai berikut: Sesungguhnya
sabda orang yang benar, Muhammad (shalawat Allah terlimpah atasnya) dan apa
yang disampaikannya dari Allah Yang Maha Agung lagi perkasa dapat diketahui
semuanya dengan (memakai) analogi akali (al-maqayis al-‘aqliyyah). Hanya
orang-orang yang tidak memiliki citra akal serta telah meletakan diri pada
kejahilan yang menolak ilmu falsafah. Dari ungkapan ini, dapat dilihat konsistensi
Al-Kindi dalam menempatkan filsafat dan penekanannya pada fungsi akal sebagai
hal penting dari usaha memahami ajaran agama secara kaffah.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang hubungan
agama dan filsafat, kita harus menegaskan kembali—sebagaimana telah dibahas
pada awal-awal bab ini—bahwa lahirnya filsafat dalam Islam tak lepas dari
warisan kebudayaan non-Islam terutama unsur-unsur Helenisme. Artinya bahwa
tradisi berfilsafat Al-Kindi pun merupakan bawaan dari kebudayaan dimaksud.
Al-Kindi memang merupakan representasi pertama
dan terakhir dari seorang murid Aristoteles di dunia timur. Corak berfikir Al-Kindi
bersifat ekletisisme, sehingga dalam corak berfikir filsafatnya terdapat
unsur-unsur pikiran Aristoeles dan juga Plato. Unsur Aristoteles yaitu
pembagian filsafat kepada teori dan amalan, sedangkan unsur Plato adalah
defenisinya. Namun,
sebagaimana konsistensi Al-Kindi dalam proyek rekonsiliasi antara agama (Islam)
dengan filsafat, dalam teori-teori filsafat yang jauh lebih praktis, Al-Kindi
tidak secara instan menerima dan mengikuti pemikiran para filosof Yunani,
malainkan menganalisis lebih dalam dan menyesuaikannya dengan doktrin agama.
Dalam membicarakan masalah kejadian alam, misalnya;
Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam itu
abadi. Ia tetap berkeyakinan bahwa alam adalah ciptaan Allah, yang diciptakan
dari tiada dan akan berakhir menjadi tiada, yang dikenal dengan slogan creation
ex nihilio.[33] Artinya bahwa, sebagai seorang filosof Muslim Al-Kindi tidak kehilangan
kepribadiannya berhadapan dengan pendapat filosof yang dianutnya.
2. Filsafat
Ketuhanan
Diantara dalil-dalil penting yang dikemukakan
Al-Kindi tentang adanya Allah adalah; baharunya alam, keanekaragaman dalam
wujud, dan ketertauran alam. Untuk jalan pertama, Al-Kindi beranjak dari sebuah pertanyaan
sederhana, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi dirinya sendiri.
Menurutnya hal ini tidak mungkin, karena alam ini terbatas dan ia baru karena
ada permulaan waktunya. Karena itu mesti ada yang menjadi penyebab alam ini
terjadi. Menyangkut hal ini, Al-Kindi mengatakan:
Tida mungkin ada suatu entitas (jisim)
yang abadi (senantiasa); jadi jisim dengan sendirinya diciptakan. Dan yang
diciptakan itu adalah ciptaan pencipta. Sebab pencipta dan yang diciptakan
termasuk perangkaian. Maka semuanya itu dengan sendirinya ada penciptanya dari
tiada. Untuk argumen yang kedua,
ia mengatakan bahwa dalam alam, baik alam materi ataupun yang lain, tidak
mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman, ataupun sebaliknya. Terjadinya
keseragaman dan keanekaragaman itu bukan secara kebetulan, melainkan karena ada
sesuatu yang menjadi penyebabnya. “Sebab” ini bukanlah alam itu sendiri, sebab
kalau alam sendiri yang menjadi penyebabnya maka tidak ada habis-habisnya,
sedang sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, maka
yang menjadi sebab itu harus diluar alam yang lebih mulia dan lebih dahulu
adanya, yakni Tuhan. Untuk dalil ketiga, ia
mengatakan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu
saja tanpa ada yang mengaturnya. Pegaturnya tentu dari luar alam itu sendiri.,
yakni suatu zat yang maha tinggi yaitu Tuhan. Zat itu tidak terlihat tetapi
dapat diketahui dengan melihat fenomena yang terdapat di alam ini.
Menyangkut dengan hakikat Allah, Al-Kindi
mengungkapkan bahwa Allah adalah wujud yang hak (al-iniyyah al-haqqah) “yang
tidak ada ketiadaan selama-lamanya, yang akan selalu demikian wujudnya secara
abadi. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh
karenanya Tuhan adalah wujud yang sempurna. Bagi Al-Kindi, Tuhan adalah unik,
ia hanya satu, dan tidak ada yang serata dengan-Nya. Dialah Yang Benar Pertama (al-haqq
al-awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-haqq al-wahid). Selain dari-Nya
mengandung arti banyak.
Dalam masalah sifat Tuhan yang ramai
diperdebatkan dikalangan mutakallimun zaman itu, Al-Kindi nampaknya lebih cenderung
pada mazhab Mu’tazilah yang lebih menonjolkan ke-esa-an sebagai satu-satunya
sifat Tuhan. Al-Kindi
memandang keesaan itu sebagai suatu sifat Allah yang khas. menurutnya, Allah
itu esa dalam bilangan dan esa dalam zat. Esensis-Nya tidak mengandung kejamakan,
tidak ada sesuatu yang dapat menandingi dan menyerupai-Nya, karena Alla tidak
mempunyai materi, tidak mempunyai citra, tidak mempunyai kualitas dan
kuantitas, tidak mempunyai rangkaian, tidak mempunyai jenis dan macam, Allah
itu azali yang tidak boleh tidak ada. Allah tidak
bergerak, karena dalam gerak itu artinya ada pertukaran yang tidak sesuai
dengan wujud Tuhan yang sempurna, karena zat yang azali itu tidak bergerak,
maka zaman tidak berlaku kepadaya, sebab zaman itu adalah bilangan gerak. Zat
itu mempunyai pekerjaan khusus yang disebut “Ibdah”, artinya menjadikan sesuatu
dari tiada.
3. Filsafat Jiwa
Masalah jiwa merupakan agenda yang penting
dalam Islam, karena jiwa merupakan unsur utama dari manusia, bahkan ada yang
mengatakan sebagai intisari manusia dari apa yang diistilahkan al-Qur’an dengan
al-ruh. Filosof Muslim menggunakan kata jiwa (an-nafs). Pemikiran Al-Kindi tentang jiwa tidak terlepas
dari pemikiran Aristoteles. Ia mengungkapkan dua defenisi jiwa yang telah
dikemukakan Aristoteles. Menurutnya jiwa adalah “kesempurnaan pertama dari
jisim alami yang memilik kehidupan secara potensial”. Al-Kindi juga memberikan
defenisi jiwa sebagai “kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima
kehidupan”. Namun ia menolak pendapat Aristotoles yang mengatakan bahwa jiwa
manusia tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk.
Menurut Al-Kindi, jiwa adalah jauhar basith
(tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai arti
penting dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Allah. Jiwa mempunyai
wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad. Jiwa bersifat rohani dan
Ilahi. Jiwa menentang keinginan hawa nafsu, apabila nafsu mendorong manusia
melakukan kejahatan, maka jiwalah yang menentangnya. Artinya bahwa jiwa sebagai
yang melarang tentu berbeda dengan nafsu yang dilarang.
Argumen Al-Kindi tentang hubungan jasad (badan)
dengan jiwa adalah kesatuan acciden, artinya bahwa binasanya badan tidak
membawa kebinasaan pada jiwa. Meskipun jiwa bersatu dengan badan, namun jiwa
tetap terpisah dan berbeda dengan badan, sehingga ia kekal setelah mengalami
kematian, ia mengatakan; “Dan bahwa kita tidak datang di alam ini bagaikan titian atau
jembatan yang dilalui oleh para penyeberang, tidak mempunyai tempat yang lama.
Tampat tetap yang kita harapkan adalah alam tinggi yang luhur ke mana jiwa kita
akan berpindah setelah mati”.
Dari argumen ini terlihat jelas bahwa Al-Kindi
mengakui kebadian jiwa, namun keabadiaan jiwa itu jelas berbeda dengan
keabadian Tuhan, karena keabadian jiwa bukan dari dirinya sendiri melainkan
keabadiannya karena Allah. Harus
diakui bahwa Al-Kindi belum memiliki filsafat yang lengkap. Dalam
pemikirannya ia telah mempertemukan pemikiran filsafat dengan agama atau antara
akal dan wahyu, dan lebih dalam lagi ia telah mengislamkan ide-ide yang
terdapat dalam filsafat Yunani. Pemikirannya merupakan pemikiran awal yang merintis
jalan bagi filosof Muslim yang lahir sesudahnya.
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Lahir dan berkembangnya pemikiran filosofis
dalam Islam merupakan sebuah realitas historis yang niscaya karena adanya
interaksi yang terbangun antar bangsa Arab Muslim dengan daerah-daerah yang
ditaklukan (bangsa non-Muslim), yakni bangsa Persia, India dan terutama sekali
adalah bangsa Yunani, sehingga filsafat Islam dikatakan banyak mengandung unsur
helenisme. Hasil dari proses interaksi itulah kemudian melahirkan semangat
intelektual untuk melakukan penerjemahan terhadap berbagai karya-karya; baik
Yunani, Persia, maupun India ke dalam bahasa Arab. Gerakan penerjemahan
berkembang pesat karena mendapat dukungan penguasa (khalifah). Dari hasil
penerjemahan tersebut, lahirlah pemikiran-pemikiran filosofis dalam Islam.
Dalam pengembangan selanjutnya pemikiran-pemikiran para filosof non-Muslim itu
dikembangkan sesuai dengan akidah dan ajaran-ajaran Islam, agar tidak
bertentangan.
Orang Islam pertama yang muncul dengan
gagasan-gagasan filsafat dan dianggap sebagai representasi awal dari sederatan
filosof Muslim adalah Al-Kindi sendiri. Ia juga diberi gelar sebagai filosof
berkebangsaan Arab (Failasuf al-Arab) pertama. Al-Kindi muncul dengan
ide tentang adanya kesamaan kebenaran antara Agama dengan filsafat, sehingga
menurutnya tidak perlu ada petentangan antara keduanya. Dalam membuktikan
adanya Tuhan dengan jalan filsafat, Al-Kindi memberikan argumen tentang
baharunya alam, keanekaragaman dalam wujud, dan ketertauran alam. Sedangkan
gagasannya tentang keberadaan jiwa, Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa merupakan
jauhar basith, yang mempunyai wujud tersendiri yang terpisah dari badan, serta
substansinya adalah berasal dari substansi Allah.
***
PFM
(Perserikatan Filsuf Muda), 17 Jumadil Akhir 1432 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar