“setiap
orang menghasrati pengetahuan” (Aristhothilis)
a.
Manaqib
(Biografi)
Sayyid
Aristoteles menguasai banyak ilmu katuranggan karena memang lahir di
kalangan ilmuwan. Dari ayahnya (yang ahli fisika), Aristoteles memperoleh
dorongan minat di bidang biologi dan pengetahuan praktis. Di bawah asuhan Plato
dia menanamkan minat dalam hal spekulasi filosofis. Ia lahir—15 tahun setelah kematian Sokrates—di
Stageira, Makedonia (Yunani utara) pada 384 SM dan tinggal di istana raja
Makedonia, Amyntas II sampai usia 17 tahun dan lantas berguru pada ustadz Plato.
Meski ia belajar di Akademi Plato selama 20 tahun, tapi dalam hampir semua
karyanya ia justru bertentangan dengan gurunya. Namun demikian Aristoteles
tidak menghilangkan tradisi dialog yang sudah dirintis oleh ustadz Sokrates dan
Plato. Dengan banyak mengkritisi para filsuf sebelumnya, Aristoteles menjadi
filsuf terbesar yang karyanya mencakup banyak aspek keilmuan, seperti logika,
metafisika, ilmu bumi, politik, retorika, ekonomi dan lain-lain.
Pada
tahun 342 SM Aristoteles pulang kembali ke Makedonia, menjadi guru seorang anak
raja umur 13 tahun yang kemudian dalam sejarah terkenal dengan Alexander yang
agung. Aristoteles mendidik si Alex muda dalam beberapa tahun. Di tahun 335 SM,
sesudah Alexander naik takhta kerajaan, Aristo kembali ke Athena dan di situ
dibukanya sekolahnya sendiri, Lyceum. Dia berada di Athena dua belas tahun,
satu masa yang berbarengan dengan karier penaklukan militer Alexander.
Alexander tidak minta nasehat kepada bekas gurunya, tetapi dia berbaik hati
menyediakan dana buat Aristoteles untuk melakukan berbagai riset ilmiah.
Mungkin ini merupakan contoh pertama dalam sejarah seorang ilmuwan menerima
jumlah dana besar dari pemerintah untuk maksud-maksud penyelidikan dan
sekaligus merupakan yang terakhir dalam abad-abad berikutnya.
Pelan
tapi pasti hubungannya dengan Alexander mengandung pelbagai konflik.
Aristoteles menolak secara tegas cara kediktatoran Alexander dan terutama
ketika Alexander menghukum mati sepupu Aristoteles dengan tuduhan sebagai penghianat.
Karena pengaruh Aristo yang begitu luas Alexander punya pikiran pula membunuh
Aristoteles. Belum lagi generasi-generasi Makedonia yang selalu puas menjadi
pelancong dan kaum gipsi. Di satu pihak Aristoteles kelewat demokratis di mata
Alexander, dia juga punya hubungan erat dengan Alexander dan dipercaya oleh
orang-orang Athena. Tatkala Alexander mati tahun 323 SM golongan anti-Makedonia
memegang tampuk kekuasaan di Athena dan Aristoteles pun didakwa kurang ajar
kepada dewa. Aristo, teringat nasib yang menimpa Socrates 76 tahun sebelumnya,
lari meninggalkan kota sambil berkata dia tidak akan diberi kesempatan kedua
kali kepada orang-orang Athena berbuat dosa terhadap para filosof. Aristoteles
meninggal di pembuangan beberapa bulan kemudian di tahun 322 SM pada umur 62
tahun.
b.
Nata’ij
al-Fikr (Prisma Pemikirannya)
Filsafat Aristoteles dibagi dalam tiga periode. Pertama
ketika ia masih di Akademia, ia sangat mengagumi Plato, kedua sewaktu
berada di Assos dan istana Pella, ia berbaik menyerang gurunya dan ketiga, sewaktu
mengajar di sekolah Lykeion di Athena, Aristoteles lebih tertarik pada filsafat
spekulatif dan penelitian empiris. Dalam karyanya yang berjudul Metaphysica,
terutama pada bab XIII dan XIV, Aristoteles dengan gencar mengkritik dan
menyangkal ajaran Plato tentang ide. Bagi Aristoteles, Plato terlalu
sibuk dengan ide (bentuk) dari segala realitas. Ajaran Plato bahwa ide (bentuk)
realitas seluruhnya bersifat umum tidak benar, sebab ide bersifat individual
dan tidak universal. Contoh, kalau ”bentuk” manusia A dan B memang berdiri
sendiri, maka bentuk ini merupakan individu, artinya baik A maupun B sama-sama
individu. Jika demikian, nantinya akan ada individu ketiga (tritos antropos)
yang bisa saja menyamai individu A dan B maupun yang lain. Begitulah
seterusnya, D seperti C, E seperti D, Y seperti X, sampai tak terbatas.
Aristoteles perpendirian bahwa setiap ide tertuju
pada materi, tidak mungkin bisa dilepaskan. Sebab ide adalah esensi suatu benda
atau realitas, apapun itu. Sehingga esensi tidak bisa berdiri sendiri, dan yang
ada dalam kenyataan adalah benda-benda konkret saja. Proses ini disebut abstraksi.
Contoh, ketika petani mengatakan, ”saya mau mencangkul”, itu bukan berarti
cangkul ada dalam pikiran petani, tidak. Yang ada dalam pikirannya hanyalah
gambaran tentang cangkul dan rencana mencangkul. Nah, karena adanya proses
abstraksi inilah ilmu pengetahuan dimungkinkan, tanpa mengandaikan ide-ide
gaya Plato. Selanjutnya Aristoteles membagi ilmu pengetahuan dalam tiga
golongan, yakni pengetahuan praktis, produktif dan teoritis. Namun ironisnya,
logika, bagi Aristoteles tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, di bidang
logika inilah Aristoteles menjangkarkan konsep besarnya mengenai deduksi,
induksi dan silogisme.
b.1. Skema Filsafatnya
Aristo menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk
mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang
penalaran, berperan sebagai organon (alat) untuk sampai kepada
pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria
yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau
sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu
empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada
benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang
ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments
on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology
(ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran
Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi
dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing. Aristoteles menganggap
Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya
bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya),
dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk
nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk
manusia “sesudah” melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak
memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada
sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea terdapat dalam benda-benda.
b.2. Logika
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal.
Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita “pikirkan” dengan
akal kita (idealisme), sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi
adalah yang kita “lihat” dengan indera-mata kita (realisme). Aristoteles
tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan. Akal
itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk
lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena
itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan
kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif
dan metode empiris-induktif.
Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan
yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang
mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang
merupakan pondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara
khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika berarti sesuatu yang diutarakan,
pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan bahasa.
Pemikiran sayyid Aristo merupakan harta karun umat manusia yang
berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai
kini,—itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi falsafinya, dan
cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang
menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan
rasional-deduktif tersebut di atas. Selanjutnya, sayyid Aristoteles
mengelompokkan 10 macam logika, yakni: (1) substansi (contoh: mahasiswa
STF Al-Farabi adalah perokok), (2) kuantitas (contoh: dua orang penghancur
rokok saling berebut rokok), (3) kualitas (cara merokok yang baik adalah dengan
tidak merepotkan teman), (4) relasi (setengah bungkus rokok), (5) tempat (di STF),
(6) waktu (sekarang sedang merokok), (7) keadaan (berdiri sambil meminjam korek
dan rokok), (8) posesi / mempunyai (bersepatu dan ber-djarum super), (9) aksi /
berbuat (membakar rokok teman), dan (10) pasivitas / menderita (terbakar
jari-jari karena tak ada rokok).
Terkait persoalan gerak (motion) dan perubahan (change)
Aristoteles mengelompokkan manjadi: (1) yang ada, (2) yang tidak ada, (3) di
antara yang ada dan tidak ada. Sedangkan cirri khas logika Aristoteles adalah:
- premis mayor (contoh: semua manusia ingin jadi
raja)
- premis minor (contoh: Ken Arok adalah manusia)
- kesimpulan (contoh: Ken Arok ingin jadi raja)
c.
Atsar
at-Tafkir (Pengaruh Filsafatnya)
Banyak
ide-ide Aristoteles kini sudah ketinggalan zaman alias tidak muqtadlayat
al-hal. Tetapi yang paling penting dari apa yang pernah dilakukan
Aristoteles adalah pendekatan rasional yang senantiasa melandasi karyanya, setiap
segi kehidupan manusia atau masyarakat selalu terbuka untuk obyek pemikiran dan
analisa. Pendapat Aristoteles, alam semesta tidaklah dikendalikan oleh
serba kebetulan, oleh magi, oleh keinginan dan kehendak dewa yang terduga,
melainkan tingkah laku alam semesta itu tunduk pada hukum-hukum rasional.
Kepercayaan ini menurut Aristoteles diperlukan bagi manusia untuk
mempertanyakan tiap aspek dunia alamiah secara sistematis, memanfaatkan pengamatan
empiris dan alasan yang logis sebelum mengambil keputusan. Rangkaian
sikap-sikap ini—yang bertolak belakang dengan tradisi, takhayul, klenik dan
mistik—telah mempengaruhi secara mendalam peradaban Eropa.
Titik
pangkal pandangan filosofis Aristoteles adalah manusia sebagai subjek
pengetahuan. Ia mengembangkan juga apa yang dinamakan “hylemorfisme“.
Artinya, ia beranggapan bahwa apa saja yang kita jumpai di bumi kita ini secara
terpadu merupakan pengejawantahan material (hyle) sana-sini dari
bentuk-bentuk (morphe) yang sama. Umpamanya, pohon cemara, sapi,
manusia. Dengan demikian pertentangan-pertentangan klasik dari masa
pra-Sokrates dipecahkan Aristoteles dengan membedakan maupun menegaskan
kesatuan unsur materi dan bentuk dalam setiap makhluk (sekaligus materialized
form dan formed matter). Dengan demikian ia berusaha menerangkan
banyaknya individu yang berbeda-beda, dalam satu jenis (spesies).
Bentuk (morphe,
form) dianggapnya sebagai yang memberi aktualitas pada individu yang
bersangkutan. Sedangkan materi (hyle, matter) seakan-akan menyediakan
kemungkinan (Yunani: dynamis, Latin: potentia) untuk
pengejawantahan bentuk dalam setiap individu dengan cara yang berbeda-beda.
Bentuk dalam hal makhluk hidup diberi nama jiwa (Yunani: psyche, Latin: anima,
yang berlaku sama saja untuk tetumbuhan, hewan dan manusia. Hanya jiwa manusia
yang mempunyai kedudukan istimewa, karena manusia tidak hanya sanggup mengamati
dunia di sekitar secara inderawi, tetapi sanggup juga mengerti dunia maupun
dirinya. Di samping itu adalah karena jiwa manusia dilengkapi nous
(Latin: ratio atau intellectus) yang menerima dan mengucapkan logos
(sabda, pengertian) yang pada gilirannya menjelma dalam sabda-sabda jasmani
yang diberi nama bahasa.
Nous merupakan bagian paling mulia dalam diri manusia. Tak mengherankan
kalau sesuai dengan keyakinan itu, unsur-unsur filsafat ketuhanan yang kita
temukan dalam karya Arsitoteles, bertitik pangkal pada uraian kemampuan akal
budi itu. Namun, berbeda dari kontemplasi terhadap idea-idea gaya Plato,
Aristoteles mencari dasar uraiannya dalam pengamatan inderawi di dunia yang
berubah-ubah ini. Umpamanya pengamatan mengenai gejala adanya gerak-gerak
fisik. Secara spontan kisanak mencari penggeraknya, yang pada giliranya tidak
bebas dari gerak (dan perubahan) juga. Mungkin kisanak bisa maju sampai
sederetan besar gerak dan penggerak. Hampir-hampir tanpa ada habisnya (deretan
tak berhingga). Menurut Aristo, nous pada lapisan atau tahapnya yang
tertinggi memahami bahwa kemampuannya untuk menatap deretan itu sebagai
deretan, yang mengandung kemampuannya untuk menegaskan adanya “yang menggerakan
tanpa digerakkan sendiri” (motor immobilis). Keyakinan itu dihasilkan nous
bukan sebagai nous pathetikos (intellectus passivus atau possibilis)
yang terutama dipengaruhi oleh kesan-kesan inderawi, melainkan sebagai nous
poietikos (intellectus agens) yang ikut menentukan isi pemahamannya
secara aktif, karena suatu “daya pencipta” yang ternyatalah termuat di
dalamnya. Jalan pikiran Aristoteles itu diterapkan Thomas Aquinas dalam “Panca Marga”-nya
(Quinque Viae) guna menyatakan adanya Tuhan berdasarkan pengalaman dan
penalaran filosofis.
Pandangan
etika Aristoteles—ma’mum pada Sokrates—bertitik pangkal pada kenyataan bahwa
manusia hendak mengejar kebahagiaan (eudaimonia). Sarana-sarana dan
upaya-upaya yang dipilih manusia, dinilai berdasarkan tujuan tersebut.
Kebahagiaan itu menyangkut manusia jiwa-raga sebagai anggota masyarakat, karena
manusia ialah makhluk yang hidup ber-polis. Manusia ialah zoon politikon.
Ciri manusia sebagai makhluk hidup adalah hidup dalam polis, maka Aristoteles
sangat menekankan sosialitas manusia. Masyarakat dalam bentuk negara itu
dilihat Aristoteles sebagai suatu lembaga kodrati (natural institution),
yaitu bukan berdasarkan persetujuan (convention) saja seperti diajar
oleh para sofis dan skeptikus pada masa itu. Dengan demikian semua warga negara
wajib takluk pada negara, kepada para pemimpin dan kepada undang-undang. Aristoteles
punya kecenderungan ke arah suatu totalitarisme negara. Negara itu di atas
keluarga dan negara pun menyelenggarakan pendidikan. Pemimpin negara dapat
dibentuk menurut beberapa pola berdasarkan pengamatan dan data-data yang
diperoleh Aristoteles, antara lain melalui para muridnya. Monarki ialah cara
pemerintahan di bawah satu (monos) orang saja, yang dapat merosot
menjadi tirani. Aristokrasi merupakan cara pemerintahan di bawah sekelompok
orang yang dinilai sebaik yang terbaik (aristoi), dan dapat merosot
menjadi oligarki (dikuasai oleh “segerombolan” orang yang bersekongkol).
Demokrasi yang diberi juga nama politeia berada di bawah kuasa rakyat (demos),
yang dapat merosot menjadi anarki (tanpa arkhe atau asas). Aristoteles
tidak memilih salah satu dari ketiga bentuk dasar itu. Ia juga tidak suka
memakai perbandingan dengan susunan manusia seperti Plato.
***
Kepanjen (kumpulan para gipsi), 24
Jumadil Ula 1432 H
Daftar Maraji’
ü Bertens, K. Ringkasan
Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. 1992
ü Hatta,
Muhammad. Alam Pikiran Yunani, Jakarta:Penerbit Tintamas. 1980.
ü Michael H. Hart, Seratus
Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah 1982
ü Tjahjadi,Simon Petrus
L., Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius.2004.
ü Verhaak, "Plato:
Menggapai Dunia Idea", dalam Sutrisno F.X Mudji dan F. Budi Hardiman, Para
Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 1994
ü Russell,
Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar