Selasa, 28 April 2015

ARISTOTELES (384 - 322 SM)


“setiap orang menghasrati pengetahuan” (Aristhothilis)

a.      Manaqib (Biografi)
Sayyid Aristoteles menguasai banyak ilmu katuranggan karena memang lahir di kalangan ilmuwan. Dari ayahnya (yang ahli fisika), Aristoteles memperoleh dorongan minat di bidang biologi dan pengetahuan praktis. Di bawah asuhan Plato dia menanamkan minat dalam hal spekulasi filosofis. Ia lahir—15 tahun setelah kematian Sokrates—di Stageira, Makedonia (Yunani utara) pada 384 SM dan tinggal di istana raja Makedonia, Amyntas II sampai usia 17 tahun dan lantas berguru pada ustadz Plato. Meski ia belajar di Akademi Plato selama 20 tahun, tapi dalam hampir semua karyanya ia justru bertentangan dengan gurunya. Namun demikian Aristoteles tidak menghilangkan tradisi dialog yang sudah dirintis oleh ustadz Sokrates dan Plato. Dengan banyak mengkritisi para filsuf sebelumnya, Aristoteles menjadi filsuf terbesar yang karyanya mencakup banyak aspek keilmuan, seperti logika, metafisika, ilmu bumi, politik, retorika, ekonomi dan lain-lain.
Pada tahun 342 SM Aristoteles pulang kembali ke Makedonia, menjadi guru seorang anak raja umur 13 tahun yang kemudian dalam sejarah terkenal dengan Alexander yang agung. Aristoteles mendidik si Alex muda dalam beberapa tahun. Di tahun 335 SM, sesudah Alexander naik takhta kerajaan, Aristo kembali ke Athena dan di situ dibukanya sekolahnya sendiri, Lyceum. Dia berada di Athena dua belas tahun, satu masa yang berbarengan dengan karier penaklukan militer Alexander. Alexander tidak minta nasehat kepada bekas gurunya, tetapi dia berbaik hati menyediakan dana buat Aristoteles untuk melakukan berbagai riset ilmiah. Mungkin ini merupakan contoh pertama dalam sejarah seorang ilmuwan menerima jumlah dana besar dari pemerintah untuk maksud-maksud penyelidikan dan sekaligus merupakan yang terakhir dalam abad-abad berikutnya.
Pelan tapi pasti hubungannya dengan Alexander mengandung pelbagai konflik. Aristoteles menolak secara tegas cara kediktatoran Alexander dan terutama ketika Alexander menghukum mati sepupu Aristoteles dengan tuduhan sebagai penghianat. Karena pengaruh Aristo yang begitu luas Alexander punya pikiran pula membunuh Aristoteles. Belum lagi generasi-generasi Makedonia yang selalu puas menjadi pelancong dan kaum gipsi. Di satu pihak Aristoteles kelewat demokratis di mata Alexander, dia juga punya hubungan erat dengan Alexander dan dipercaya oleh orang-orang Athena. Tatkala Alexander mati tahun 323 SM golongan anti-Makedonia memegang tampuk kekuasaan di Athena dan Aristoteles pun didakwa kurang ajar kepada dewa. Aristo, teringat nasib yang menimpa Socrates 76 tahun sebelumnya, lari meninggalkan kota sambil berkata dia tidak akan diberi kesempatan kedua kali kepada orang-orang Athena berbuat dosa terhadap para filosof. Aristoteles meninggal di pembuangan beberapa bulan kemudian di tahun 322 SM pada umur 62 tahun.

b.      Nata’ij al-Fikr (Prisma Pemikirannya)
Filsafat Aristoteles dibagi dalam tiga periode. Pertama ketika ia masih di Akademia, ia sangat mengagumi Plato, kedua sewaktu berada di Assos dan istana Pella, ia berbaik menyerang gurunya dan ketiga, sewaktu mengajar di sekolah Lykeion di Athena, Aristoteles lebih tertarik pada filsafat spekulatif dan penelitian empiris. Dalam karyanya yang berjudul Metaphysica, terutama pada bab XIII dan XIV, Aristoteles dengan gencar mengkritik dan menyangkal ajaran Plato tentang ide. Bagi Aristoteles, Plato terlalu sibuk dengan ide (bentuk) dari segala realitas. Ajaran Plato bahwa ide (bentuk) realitas seluruhnya bersifat umum tidak benar, sebab ide bersifat individual dan tidak universal. Contoh, kalau ”bentuk” manusia A dan B memang berdiri sendiri, maka bentuk ini merupakan individu, artinya baik A maupun B sama-sama individu. Jika demikian, nantinya akan ada individu ketiga (tritos antropos) yang bisa saja menyamai individu A dan B maupun yang lain. Begitulah seterusnya, D seperti C, E seperti D, Y seperti X, sampai tak terbatas.
Aristoteles perpendirian bahwa setiap ide tertuju pada materi, tidak mungkin bisa dilepaskan. Sebab ide adalah esensi suatu benda atau realitas, apapun itu. Sehingga esensi tidak bisa berdiri sendiri, dan yang ada dalam kenyataan adalah benda-benda konkret saja. Proses ini disebut abstraksi. Contoh, ketika petani mengatakan, ”saya mau mencangkul”, itu bukan berarti cangkul ada dalam pikiran petani, tidak. Yang ada dalam pikirannya hanyalah gambaran tentang cangkul dan rencana mencangkul. Nah, karena adanya proses abstraksi inilah ilmu pengetahuan dimungkinkan, tanpa mengandaikan ide-ide gaya Plato. Selanjutnya Aristoteles membagi ilmu pengetahuan dalam tiga golongan, yakni pengetahuan praktis, produktif dan teoritis. Namun ironisnya, logika, bagi Aristoteles tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, di bidang logika inilah Aristoteles menjangkarkan konsep besarnya mengenai deduksi, induksi dan silogisme.

b.1. Skema Filsafatnya
Aristo menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai organon (alat) untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan  Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing. Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia “sesudah” melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea terdapat dalam benda-benda.

b.2. Logika
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita “pikirkan” dengan akal kita (idealisme), sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita “lihat” dengan indera-mata kita (realisme). Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan. Akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif.  Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan pondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika berarti sesuatu yang diutarakan, pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan bahasa.
Pemikiran sayyid Aristo merupakan harta karun umat manusia yang berbudaya.  Pengaruhnya terasa sampai kini,—itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi argumentasi falsafinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data.  Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut di atas. Selanjutnya, sayyid Aristoteles mengelompokkan 10 macam logika, yakni: (1) substansi (contoh: mahasiswa STF Al-Farabi adalah perokok), (2) kuantitas (contoh: dua orang penghancur rokok saling berebut rokok), (3) kualitas (cara merokok yang baik adalah dengan tidak merepotkan teman), (4) relasi (setengah bungkus rokok), (5) tempat (di STF), (6) waktu (sekarang sedang merokok), (7) keadaan (berdiri sambil meminjam korek dan rokok), (8) posesi / mempunyai (bersepatu dan ber-djarum super), (9) aksi / berbuat (membakar rokok teman), dan (10) pasivitas / menderita (terbakar jari-jari karena tak ada rokok).
Terkait persoalan gerak (motion) dan perubahan (change) Aristoteles mengelompokkan manjadi: (1) yang ada, (2) yang tidak ada, (3) di antara yang ada dan tidak ada. Sedangkan cirri khas logika Aristoteles adalah:
-  premis mayor (contoh: semua manusia ingin jadi raja)
-  premis minor (contoh: Ken Arok adalah manusia)
-  kesimpulan (contoh: Ken Arok ingin jadi raja)

c.       Atsar at-Tafkir (Pengaruh Filsafatnya)
Banyak ide-ide Aristoteles kini sudah ketinggalan zaman alias tidak muqtadlayat al-hal. Tetapi yang paling penting dari apa yang pernah dilakukan Aristoteles adalah pendekatan rasional yang senantiasa melandasi karyanya, setiap segi kehidupan manusia atau masyarakat selalu terbuka untuk obyek pemikiran dan analisa. Pendapat Aristoteles, alam semesta tidaklah dikendalikan oleh serba kebetulan, oleh magi, oleh keinginan dan kehendak dewa yang terduga, melainkan tingkah laku alam semesta itu tunduk pada hukum-hukum rasional. Kepercayaan ini menurut Aristoteles diperlukan bagi manusia untuk mempertanyakan tiap aspek dunia alamiah secara sistematis, memanfaatkan pengamatan empiris dan alasan yang logis sebelum mengambil keputusan. Rangkaian sikap-sikap ini—yang bertolak belakang dengan tradisi, takhayul, klenik dan mistik—telah mempengaruhi secara mendalam peradaban Eropa.
Titik pangkal pandangan filosofis Aristoteles adalah manusia sebagai subjek pengetahuan. Ia mengembangkan juga apa yang dinamakan “hylemorfisme“. Artinya, ia beranggapan bahwa apa saja yang kita jumpai di bumi kita ini secara terpadu merupakan pengejawantahan material (hyle) sana-sini dari bentuk-bentuk (morphe) yang sama. Umpamanya, pohon cemara, sapi, manusia. Dengan demikian pertentangan-pertentangan klasik dari masa pra-Sokrates dipecahkan Aristoteles dengan membedakan maupun menegaskan kesatuan unsur materi dan bentuk dalam setiap makhluk (sekaligus materialized form dan formed matter). Dengan demikian ia berusaha menerangkan banyaknya individu yang berbeda-beda, dalam satu jenis (spesies).
Bentuk (morphe, form) dianggapnya sebagai yang memberi aktualitas pada individu yang bersangkutan. Sedangkan materi (hyle, matter) seakan-akan menyediakan kemungkinan (Yunani: dynamis, Latin: potentia) untuk pengejawantahan bentuk dalam setiap individu dengan cara yang berbeda-beda. Bentuk dalam hal makhluk hidup diberi nama jiwa (Yunani: psyche, Latin: anima, yang berlaku sama saja untuk tetumbuhan, hewan dan manusia. Hanya jiwa manusia yang mempunyai kedudukan istimewa, karena manusia tidak hanya sanggup mengamati dunia di sekitar secara inderawi, tetapi sanggup juga mengerti dunia maupun dirinya. Di samping itu adalah karena jiwa manusia dilengkapi nous (Latin: ratio atau intellectus) yang menerima dan mengucapkan logos (sabda, pengertian) yang pada gilirannya menjelma dalam sabda-sabda jasmani yang diberi nama bahasa.

Nous merupakan bagian paling mulia dalam diri manusia. Tak mengherankan kalau sesuai dengan keyakinan itu, unsur-unsur filsafat ketuhanan yang kita temukan dalam karya Arsitoteles, bertitik pangkal pada uraian kemampuan akal budi itu. Namun, berbeda dari kontemplasi terhadap idea-idea gaya Plato, Aristoteles mencari dasar uraiannya dalam pengamatan inderawi di dunia yang berubah-ubah ini. Umpamanya pengamatan mengenai gejala adanya gerak-gerak fisik. Secara spontan kisanak mencari penggeraknya, yang pada giliranya tidak bebas dari gerak (dan perubahan) juga. Mungkin kisanak bisa maju sampai sederetan besar gerak dan penggerak. Hampir-hampir tanpa ada habisnya (deretan tak berhingga). Menurut Aristo, nous pada lapisan atau tahapnya yang tertinggi memahami bahwa kemampuannya untuk menatap deretan itu sebagai deretan, yang mengandung kemampuannya untuk menegaskan adanya “yang menggerakan tanpa digerakkan sendiri” (motor immobilis). Keyakinan itu dihasilkan nous bukan sebagai nous pathetikos (intellectus passivus atau possibilis) yang terutama dipengaruhi oleh kesan-kesan inderawi, melainkan sebagai nous poietikos (intellectus agens) yang ikut menentukan isi pemahamannya secara aktif, karena suatu “daya pencipta” yang ternyatalah termuat di dalamnya. Jalan pikiran Aristoteles itu diterapkan Thomas Aquinas dalam “Panca Marga”-nya (Quinque Viae) guna menyatakan adanya Tuhan berdasarkan pengalaman dan penalaran filosofis.
Pandangan etika Aristoteles—ma’mum pada Sokrates—bertitik pangkal pada kenyataan bahwa manusia hendak mengejar kebahagiaan (eudaimonia). Sarana-sarana dan upaya-upaya yang dipilih manusia, dinilai berdasarkan tujuan tersebut. Kebahagiaan itu menyangkut manusia jiwa-raga sebagai anggota masyarakat, karena manusia ialah makhluk yang hidup ber-polis. Manusia ialah zoon politikon. Ciri manusia sebagai makhluk hidup adalah hidup dalam polis, maka Aristoteles sangat menekankan sosialitas manusia. Masyarakat dalam bentuk negara itu dilihat Aristoteles sebagai suatu lembaga kodrati (natural institution), yaitu bukan berdasarkan persetujuan (convention) saja seperti diajar oleh para sofis dan skeptikus pada masa itu. Dengan demikian semua warga negara wajib takluk pada negara, kepada para pemimpin dan kepada undang-undang. Aristoteles punya kecenderungan ke arah suatu totalitarisme negara. Negara itu di atas keluarga dan negara pun menyelenggarakan pendidikan. Pemimpin negara dapat dibentuk menurut beberapa pola berdasarkan pengamatan dan data-data yang diperoleh Aristoteles, antara lain melalui para muridnya. Monarki ialah cara pemerintahan di bawah satu (monos) orang saja, yang dapat merosot menjadi tirani. Aristokrasi merupakan cara pemerintahan di bawah sekelompok orang yang dinilai sebaik yang terbaik (aristoi), dan dapat merosot menjadi oligarki (dikuasai oleh “segerombolan” orang yang bersekongkol). Demokrasi yang diberi juga nama politeia berada di bawah kuasa rakyat (demos), yang dapat merosot menjadi anarki (tanpa arkhe atau asas). Aristoteles tidak memilih salah satu dari ketiga bentuk dasar itu. Ia juga tidak suka memakai perbandingan dengan susunan manusia seperti Plato.
***

Kepanjen (kumpulan para gipsi), 24 Jumadil Ula 1432 H


Daftar Maraji’
ü  Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. 1992
ü  Hatta, Muhammad. Alam Pikiran Yunani, Jakarta:Penerbit Tintamas. 1980.
ü  Michael H. Hart, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah 1982
ü  Tjahjadi,Simon Petrus L., Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius.2004.
ü  Verhaak, "Plato: Menggapai Dunia Idea", dalam Sutrisno F.X Mudji dan F. Budi Hardiman, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 1994

ü  Russell, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar