Selasa, 28 April 2015

FILSAFAT BARAT ZAMAN MODERN


            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. Nicolaus Copernicus
            b. Johannes Kepler
            c. Galileo Galilei
            d. Francis Bacon (1561-1626)

Rasionalisme
            Hampir semua ahli pikir yang muncul pada zaman ini merupakan ahli matematika seperti Descartes, Spinoza dan Leibniz. Mereka mencoba menyusun suatu sistem filsafat dengan menggunakan matematika (logika kepastian). Pelopor aliran ini adalah Rene Descartes yang dikenal sebagai bapak filsafat modern. Ia membangun filsafatnya diatas asas logis abstrak dan asas pertama suatu dalil yang eksistensial. Demikian juga dengan Spinoza dan Leibniz yang memakai metode deduktif matematis ala Descartes, akan tetapi mereka lebih memusatkan perhatiannya pada persoalan metafisika.

            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. Rene Descartes (1596-1650)
            b. Baruch Spinoza (1632-1677)
            c. G.W. Leibnitz (1646-1710)
            d. Blaise Pascal 
            

Empirisme

Berasal dari kata empiria, empeiros (yunani), yang berati berpengalaman dalam, berkenalan dengan, terampil untuk. Dalam bahasa latin “experiential” (pengalaman).[ ] epistemologis-empiris hobbes mengajarkan bahwa pengenalan atau pengetahuan didapat karena pengalaman dan pengalaman merupakan awal segala pengetahuan. Segala jenis pengetahuan diturunkan dari pengalaman dan hanya pengalaman yang dapat memberi jaminan akan sebuah kepastian. Sementara itu menurut John Locke semua jenis pengetahuan lahir dari pengalaman. Ia menerima keraguan sebagaimana diajarkan Descartes tetapi ia menolak metode intuisi dan metode deduktif ala Descartes. Hal ini menghapus kesan filsafat Plato tentang ide. Tokoh lain David hume seorang empiris yang konsisten. Sepertinya halnya Locke ia berpendapat bahwa keseluruhan isi dari pikiran berasal dari pengalaman. Ia berbeda terminolog dengan pendahulunya, ia membedakan dalam dua persepsi, yakni kesan dan ide.         
Tokoh-Tokoh Penting:
            a. Thomas Hobbes (1588-1679)
            b. John Locke (1632-1704)
            c. David Hume (1711-1776)

Kritisisme
Immanuel Kant dengan gigih berupaya mendamaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme, ia berpendapat bahwa pengetahuan adalah hasil kerjasama dua unsur, yakni “pengalaman” dan “kearifan budi”. Pengalaman inderawi datang kemudian sedangkan akal budi merupakan unsur priori (yang datang terlebih dahulu)
            Tokoh Penting:
            Immanuel Kant (1724-1804)

Idealisme
Filsafat Fichte adalah filsafat pengetahuan (wissenchaftslehre) yang sekarang dikenal dengan sebuatan epistemologi. Ia membedakan pengetahuan menjadi dua, yakni teoritis (metafisika) dan praktis (etika)
            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. George Berkeley (1684-1753)
            b. J.G. Fichte (1762 - 1814)
            c. F.W.J. Schelling (1775 - 1854)
            d. G.W.F. Hegel (1770 - 1831) 
            e. Voltaire
            f. Jean Jacques Rousseau (1712-1788)

Positivisme
Pelopor utama positivisme adalah Auguste Comte. Seorang filsuf prancis yang besar pengaruhnya terhadap teknologi modern dan perkembangan sains. Comte mengajukan tesis tentang manusia, yang mengatakan bahwa manusia berkembang dalam tiga tahap, yakni tahap teologi, tahap metafisika 

            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. Auguste Comte (1798 - 1857)
            b. John Stuart Mill (1806 - 1873)
            c. Herbert Spencer (1820 - 1903)

Materialisme
            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. Ludwig Feuerbach (1804 - 1872)
            b. Karl Marx (1818 - 1883)
            c. Friedrich Engels (1820 – 1895)

▓ Pragmatisme
            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. William James (1842 -1910)
            b. John Dewey (1859 - 1952)

▓ Vitalisme
            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. Henri Bergson (1859 - 1941)

▓ Fenomenologi
            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. Edmund Husserl (1859 - 1938)
            b. Max Scheler (1874 - 1928)






Eksistensialisme
            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. Martin Heidegger (1883 - 1976)
            b. Jean Paul Satre (19051980)
            c. Karl Jaspers (1883 - 1969)
            d. Gabriel Marcel (1889 - 1973)
            e. Soren Kierkegaard (1813 - 1855)
            f. Friedrich Nietzsche (1844 - 1900)
            g. Nicolas Alexandrovitch Berdyaev (1874 - 1948)

Analitis
            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. Bertrand Russel
            b. Ludwig Wittgenstein (1889 - 1951)
            c. Gilbert Ryle
            d. John Langshaw Austin

Strukturalisme
            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. Levi Strauss 
            b. Jacques Lacan 
            c. Michel Foucoult

Postmodernisme
            Tokoh-Tokoh Penting:
            a. Francois Lyotard 
            b. Jacques Derrida 
            c. Richard Rorty 
            d. Michel Foucoult


1. Renaissance di Eropa dan Perkembangan Filsafat
            Tahap awal munculnya renaissance tidaklah membuat filsafat lansung bangkit dan berkembang, sebab harus berkonfrontasi dengan pemikiran keagamaan. Setelah dua zaman baru terlihat benih-benih perkembangan dibidang filsafat yang dilandasi kesadaran kuat akan eksistensi kehidupan. Diantaranya muncul tokoh seperti R. Descartes, B. Spinoza dan Leibniz. Mereka mencoba menyusun suatu sistem filsafat dengan menggunakan matematika (logika kepastian), yang kemudian membentuk diri menjadi sebuah paradigma berpikir rasional.

Munculnya Galilieo memberi arah yang tepat bagi perkembangan ilmu alam. Leonardo Davincie memperkenalkan dasar pengalaman bagi dasar ilmu alam dan matematika, serta mencoba menghindari diri sedapat mungkin dari filsafat spekulatif. Demikian juga Copernicus yang dengan pendapatnya mengenai bumi mengelilingi matahari berhasil menggulingkan filsafat Aristoteles. Kemunculan para ilmuan inilah menjadikan zaman Renaissance melangkah pada masa pendewasaannya yang dikenal dengan Aufklarung (pencerahan atau zaman budi). 


2. Aufklarung
            Zaman ini dikenal dengan “zaman pencerahan” atau “zaman fajar budi”, Aufklarung merupakan lanjutan dari Renaissance, kalau Renaissance dipandang sebagai peremajaan pikiran maka Aufklarung menjadi masa pendewasaannya. Dalam masa ini juga banyak muncul tokoh-tokoh filsuf, seperti di Inggris: J. Locke, G. Berkeley dan D. Hume, Di Prancis: JJ. Russeau (1712-1788). 
Utamanya tokoh-tokoh ini mendasarkan pengetahuannya pada pengalaman nyata, sehingga mengarah kepada realisme yang naif, yang mengakui kebenaran objektif atas dasar pengalaman yang tanpa penelitian lebih lanjut. Tetapi kenyataan ini berubah ketika filsuf jerman Immanuel kant muncul yang mencoba menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme sehingga ia dianggap sebagai filsuf terpenting zaman modern.
Keberagaman pemikiran yang berkembang melahirkan berbagai pemahaman dan kepercayaan, masing-masing mulai membentuknya menjadi paradigma yang diakui dan diterima oleh sebuah kelompok. Paradigma yang diakui inilah kemudian muncul dan menjadi semacam sekte atau aliran-aliran dalam perkembangan filsafat. Dibawah ini akan disebutkan tokoh-tokohnya sesuai dengan tugas makalah penyusun. 


▓ Renaissance 

Munculnya Galilieo memberi arah yang tepat bagi perkembangan ilmu alam. Leonardo Davincie memperkenalkan dasar pengalaman bagi dasar ilmu alam dan matematika, serta mencoba menghindari diri sedapat mungkin dari filsafat spekulatif. Demikian juga Copernicus yang dengan pendapatnya mengenai bumi mengelilingi matahari berhasil menggulingkan filsafat Aristoteles.




Sejarah Filsafat Modern

Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini  pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.

Aliran Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku  Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.

Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan  terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.

Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. 

Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. 

Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan). Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.

Aliran Empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.

Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas  kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)”.

Kausalitas

Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau “sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.

Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.

Dengan Kritisisme Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. 

Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (das ding an sich), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Akan tetapi, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang 
tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.



PROBLEM FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN:
KELAHIRAN FILSAFAT MODERN



Filsafat dan ilmu pengetahuan adalah hamba teologi
Thomas Aquinas

Keywords: teosentris, metafisis, dogmatis, patristik, skolastik, renaissans, antroposentris, rasionalis, empirisme

Boleh jadi, kata-kata Thomas Aquinas, salah seorang tokoh filsafat abad pertengahan masa skolastik, di atas adalah gambaran seutuhnya peta pemikiran filsafat pada abad pertengahan. Abad pertengahan seringkali dituduh sebagai masa suram (abad gelap) dunia filsafat, dengan dalih kuatnya dominasi dan otoritas agama dalam pemikiran filsafat masa itu. Filsafat dianggap seolah-olah tidak lebih sebagai instrumen dalam upaya menjustifikasi teologi agama.
Wilayah kekuasan Romawi baik di timur maupun barat, dikuasai hampir seluruhnya oleh ’dinasti’ Kristen (Katolik). Kolaborasi antara penguasa dengan gereja menjadi satu kekuatan superpower dalam struktur masyarakat. Dalam dunia Kristen inilah filsafat abad pertengahan bertumbuh kembang, dan ini yang meniscayakan adanya corak filsafat yang berasas teologis. 
Di dunia lainnya seperti di India, Tiongkok, dan Arab (Islam), pun memiliki keserupaan corak dan model filsafat yang sama dengan yang di dunia Kristen. Filsafat India berkembang dan menjadi satu dengan agama sehingga pemikiran filsafatnya bersifat religius dan tujuan akhirnya mencari keselamatan akhirat. Filsafat India terbagi menjadi tiga masa: Zaman Weda pemikiran filsafat berupa mantera-mantera dan pujian keagamaan, Zaman Wira Carita pemikiran filsafat berupa tulisan-tlisan tentang kepahlawanan dan tentang hubungan manusia dengan dewa. Zaman Sastra Sutra diisi oleh semakin banyaknya bahan-bahan pemikiran filsafat (sutra), dengan ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh seperti Sankara, Ramanuja, Madhwa, dan lainnya. Zaman Kemunduran diisi oleh pemikiran filsafat yang mandul, karena para ahli pikir hanya menirukan pemikiran filsafat yang lampau saja. Zaman Pembaharuan diisi oleh kebangkitan pemikiran filsafat India,yang dipelopori oleh Ram Mohan Ray, seorang pembaharu yang mendapatkan pendidikan di Barat.
Filsafat Tiongkok dapat dikatakan hidup dalam kebudayaan Tiongkok. Hal ini disebabkan karena pemikiran filsafat selalu diberikan dalam setiap jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Menurut rakyat Tiongkok fungsi filsafat dalam kehidupan manusia adalah untuk mempertinggi tingkat rohani. Di Tiongkok ada dua aliran yang mendominasi pemikiran rakyat yaitu Confusianisme dan Taoisme. 
Di dunia Arab (Islam), filsafat yang berkembang adalah upaya sintesa agama dengan pemikiran filsafat platonian dan aristotelian sekaligus. Filsafat Islam dibagi dalam beberapa periode (a). Periode Mu’tazilah yaitu periode yang mendahulukan pemakaian akal pikiran kemudian diselaraskan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Menurut mereka , Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak mungkin bertentangan dengan akal pikiran.(b). Periode Filsafat Pertama upaya pendahuluannya adalah diadakan pengumpulan naskah-naskah filsafat Yunani, kemudian diterjemahkan. (c). Periode kalam Asy’ari adalah periode memperkokoh akidah Islam.(d) Periode filsafat kedua merupakan prestasi besar dan sebagai mata rantai hubungan Islam dari Timur ke Eropa, yang belakangan dianggap sebagai masa-masa peranan Islam terhadap Eropa dalam memberikan spirit kebebasan berpikir. 
Filsafat abad pertengahan di Barat (dunia Kristen), antara abad 1 s.d awal abad 16 M, seringkali dibagi dalam dua masa, yakni masa patristik dan masa skolastik, yang berpusat di Athena, Alexandria dan Byzantium. Kedua masa itu corak filsafatnya tetap dicirikan oleh kuatnya kredo iman (dogma agama) yang lebih bernuansa metafisis ketimbang rasionalitas/nalariah. Bangunan epistemologinya bersumber dari filsafat platonian dan stoisisme, Santo Anselmus sampai-sampai membuat adagium credo ut intelligam (aku percaya agar aku mengerti) yang seolah menegaskan corak pemikiran filsafat saat itu. Filsafat ini jelas berbeda dengan sifat filsafat rasional yang mendahulukan pemahaman terlebih dulu daripada iman.
Puncak kejayaan masa skolastik dicapai melalui pemikiran Thomas Aquinas. Ia mendapat gelar "The Angelic Doctor", karena banyak pikirannya, terutama dalam "Summa Theologia" menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gereja. Menurutnya, pengetahuan berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui indera dan diolah akal. Namun, akal tidak mampu mencapai realitas tertinggi yang ada pada daerah adikodrati. Ini merupakan masalah keagamaan yang harus diselesaikan dengan kepercayaan. Dalil-dalil akal atau filsafat harus dikembangkan dalam upaya memperkuat dalil-dali agama dan mengabdi kepada Tuhan.
Belakangan, menghadapi abad XII, Eropa membuka kembali kebebasan berpikir yang dipelopori oleh Peter Abelardus. Ia menginginkan kebebasan berpikir dengan membalik diktum Augustinus-Anselmus credo ut intelligam dan merumuskan pandangannya sendiri menjadi intelligo ut credom (saya paham supaya saya percaya). Peter Abelardus memberikan status yang lebih tinggi kepada penalaran dari pada iman.
Pada tahap akhir masa skolastik terdapat filosof yang berbeda pandangan dengan Thomas Aquinas, yaitu William Occam. Tulisan-tulisannya menyerang kekuasaan gereja dan teologi Kristen. Karenanya, ia tidak begitu disukai dan kemudian dipenjarakan oleh Paus. Namun, ia berhasil meloloskan diri dan meminta suaka politik kepada Kaisar Louis IV, sehingga ia terlibat konflik berkepanjangan dengan gereja dan negara. William Occam merasa membela agama dengan menceraikan ilmu dari teologi. Tuhan harus diterima atas dasar keimanan, bukan dengan pembuktian, karena kepercayaan teologis tidak dapat didemonstrasikan.
Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapi harus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama. Filsafat pada masa itu mencurahkan perhatian terhadap masalah metafisik. Saat itu sulit membedakan mana filsafat dan mana teologi gereja. Sedangkan periode sejarah yang umumnya disebut modern memiliki sudut pandang mental yang berbeda dalam banyak hal, terutama kewibawaan gereja semakin memudar, sementara itu otoritas ilmu pengetahuan semakin kuat. 
Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial. Filosof masa renaissance antara lain Francis Bacon. Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. 
Puncak masa renaissance muncul pada era Rene Descartes yang sering dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Semboyan lantangnya yang berbunyi “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada) sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran. 
Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes dan John Locke. Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna. Di tengah gegap gempitanya pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad XVIII M.
Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari kungkungan gereja, sehingga Voltaire menyebutnya sebagai the age of reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya mendorong berkembangnya filsafat dan sains. Meskipun demikian, di antara pemikir zaman aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama, seperti David Hume. Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears (harapan dan penderitaan manusia). Agama berkembang melalui proses dari yang asli, yang bersifat politeis, kepada agama yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques Rousseau berjuang melawan dominasi abad pencerahan yang materialistis dan atheis. Ia menentang rasionalisme yang membuat kehidupan menjadi gersang. Ia dikenal dengan semboyannya retournous a la nature (kembali ke keadaan asal), yakni kembali menjalin keakraban dengan alam.
Tokoh lainnya adalah Imanuel Kant. Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas rasio. Ia memposisikan akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari gangguan skeptisisme.
Tokoh idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel. Filsafatnya dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat monistik, yaitu seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yakni akal yang absolut (absolut mind). Ia memandang agama Kristen yang dipahaminya secara panteistik sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala agama.
Sementara itu, Jeremy Benthem di Inggris mengawali tumbuhnya aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris berarti kegunaan dan manfaat. Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran Utilitarianisme. Tokoh lain aliran ini adalah John Stuart Mill dan Henry Sidgwick. Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik dari berbagai kemungkinan tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang paling banyak memberikan kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan sebagai terwujudnya rasa senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan was-was. Hal ini bukan saja menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga menjadi tujuan individu, masyarakat, dan negara.
Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Tokoh aliran Materialisme adalah Feurbach. Ia menyatakan bahwa kepercayaan manusia kepada Allah sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang merasa tidak bahagia. Lalu, manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan harapan yaitu Tuhan, sehingga Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan antropologi. Tokoh lain aliran Materialisme adalah Karl Marx yang menentang segala bentuk spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels membangun pemikiran komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl Marx memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang transendental. Kehidupan manusia ditentukan oleh materi. Agama sebagai proyeksi kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib.
Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi oleh gereja.[]

Diajukan untuk presentasi dalam Kuliah Filsafat Modern, AF/UY/UIN Suka/13092007
Oleh Basyarat Asgor Ali, 05510012

Pustaka;
Asmoro Asmadi, Filsafat Umum, Raja Grafindo Persada, tt.
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, 2004
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, 1998
Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern, Dari Descartes sampai Wittgenstein, PT Pantja Simpati, 1986






Tidak ada komentar:

Posting Komentar